Salah satu akulturasi budaya di Indonesia adalah soal kontes burung berkicau. Dalam sejarahnya, kontes burung ini melekat di budaya Jawa yang dalam perkembangannya digemari di banyak daerah Indonesia. Informasi yang sepi dari publikasi, membuat kontes ini jarang mengupas dampak perburuan jenis-jenis burung berkicau di habitat alaminya.
“Populasi burung memang sulit dipantau. Tetapi, para penjerat burung yang paling mengetahui,” kata Radius Welly, Program Manager Wildlife Trafficking and Outreach Planet Indonesia. Harganya makin tinggi di pasaran karena sulit didapat. Makin tinggi lagi, jika kemudian menang kontes. Perputaran uang di dalam kontes burung pun bisa mencapai ratusan juta Rupiah.
Padahal, burung-burung itu juga terdesak ruang hidupnya karena habitatnya beralih fungsi. Hutan berganti perkebunan kelapa sawit, tanaman industri, atau pertambangan. Ditambah lagi perburuan. Planet Indonesia telah melakukan riset di toko-toko burung di Kalimantan tiga kali, sepanjang 2015 hingga Februari 2017. Hasilnya, spesies burung tertentu sulit dijumpai di alam.
“Tim memetakan pasar burung di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah,” kata Adam Miller, Direktur Eksekutif Planet Indonesia. Di setiap pasar, dilakukan identifikasi setiap spesies. Jika memungkinkan, tim juga mencatat harga, jumlah, dan asal tempatnya sesuai keterangan pemilik toko.
Baca: Diburu, Burung Berkicau Itu Terancam di Habitat Aslinya
Di Kalimantan Barat, tercatat 86 toko pada survei pertama tahun 2015. Pada 2016 terdapat 118 toko dan 112 toko di survei ketiga. Pada tahun 2017, Planet Indonesia mengamati rata-rata 201 toko di lima provinsi. Selama survei, tercatat 25.317 burung dari 151 spesies yang diperdagangkan.
Sedikitnya, empat jenis burung yang sering ditemui di toko, yaitu : Serinus canaria (kenari) sebanyak 2.311 individu, Love Bird Spp (love bird) sebanyak 937 individu, Melopsittacus undulates (parkit) sebanyak 903 individu, dan Pigeon Spp (merpati) sebanyak 896 individu.
Spesies yang ditangkap dari alam, jumlahnya juga cukup banyak. Zosterops palpebrosus (kacamata biasa) sebanyak 4.519 individu, Copsychus soularis (kacer) sebanyak 2.708 individu, Copsychus malabaricus (murai batu) sebanyak 1.665 individu, Acridotheres javanicus (jalak kerbau) sebanyak 1.432 individu, dan Chloropsis sonnerati (cica-daun besar) sebanyak 1.184 individu.
Lima spesies yang paling mahal di Kalimantan adalah Leucopsar rothschildi (jalak bali), Pycnonotus zeylanicus (cucak rowo), Philemon buceroides (cucak timor), Copsychus pyrrupygus (murai ekor kuning) dan Pycnonotus plumosus (merbah belukar). “Rata-rata lebih dari 16.000 individu burung yang dijual di Kalimantan merupakan hasil tangkapan liar di alam,” kata Adam.
Penangkap bunung biasanya bukan warga lokal. “Kebanyakan penangkap, yang bukan orang setempat, memiliki pengetahuan mengenai harga burung yang laku di pasaran. Namun, bukan berarti harga jual langsung tinggi. Penangkap biasanya mendapatkan harga, kurang dari separuh harga yang dijual di toko burung,” tambah Radius.
Toko burung membeli hasil tangkapan dengan harga bervariasi. Harga tergantung kerusakan bulu burung dan tingkat stres. Kematian akibat stress ditangkap cukup tinggi, sehingga harga cenderung rendah. Pihak toko akan menyesuaikan harga jual denga biaya yang dikeluarkan selama dipelihara, ditambah waktu berlatih dan keahlian si burung berkicau. “Pemilik toko juga membutuhkan waktu untuk mengalihkan pola makan alami si burung ke makanan jadi atau pur,” ujarnya.
Adam berharap, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menindaklanjuti temuan ini. “Yang mendesak adalah mengubah status konservasi jenis-jenis burung yang sudah mulai terancam keberadaannya. Mengubah status konservasi adalah langkah awal, karena burung-burung yang status konservasinya mengkhawatirkan ini, tidak dilindungi,” katanya.
BirdLife Internasional sedang berproses mengeluarkan Uplist 16 Spesies Songbird terancam punah akibat perdagangan burung liar. Di Indonesia, aturan yang berhubungan dengan hobi pemeliharaan dan penangkaran burung digolongkan sebagai burung yang berasal dari alam, burung impor, dan burung yang sudah didomestifikasi. Aturan ini terdapat di PP No 8 tahun 1990. Sedangkan peraturan hukum yang mengatur penangkaran burung dari alam, secara spesifik ada di Permenhut No.P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Menjerat di Negeri Jiran
Planet Indonesia juga telah melakukan workshop, untuk para penjerat burung di Kalimantan Barat. Workshop yang digelar pertengahan tahun kemarin ini, bermaksud memberikan pemahaman kepada para penjerat, mengenai populasi jenis burung tertentu yang makin sedikit di alam. Termasuk memberikan penyadartahuan undang-undang terkait spesies burung tertentu.
Dari hasil workshop, didapati para penjerat kebanyakan menangkap burung di daerah-daerah yang tutupan hutannya masih baik. Daerah itu antara lain, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Sintang, dan Putusibau. Namun, belakangan ini pun sudah sulit dicari, karena habitatnya berganti perkebunan sawit.
Para penjerat pun mencari burung dengan keluar-masuk kampung di wilayah Malaysia. Sebagai daerah yang berbatasan darat dengan Malaysia, tentunya hal ini tidak sulit dilakukan. Biasanya, burung jenis murai batu atau kucica kampung yang didapat. “Biasanya mereka bawa dengan truk, melewati perbatasan. Tidak menggunakan jalur dan prosedur resmi, melalui badan karantina hewan dan tumbuhan,” kata Radius.
Biasanya, yang melakukan modus operandi ini adalah pengepul yang mendapatkan pasokan dari puluhan penjerat burung. “Bisa jadi, salah satu penyebab masih banyaknya populasi burung di wilayah Malaysia adalah karena terjaganya kawasan tutupan hutan sebagai habitat burung. Atau, bisa juga karena kontes burung tidak begitu membudaya di sana,” tandasnya.