Pulau Lombok Jadi Kawasan Percontohan Penerapan Ekonomi Biru, Seperti Apa Itu?

 

Pulau Lombok di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi pulau percontohan untuk melaksanakan konsep pembangunan berbasis ekonomi biru (blue economy). Konsep tersebut mulai diterapkan pada 2015 dengan fokus pada pengembangan komoditas rumput laut yang menjadi komoditas andalan di NTB.

Penerapan ekonomi biru di Lombok, menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep ekonomi tersebut bisa membangun sektor kelautan dan perikanan dengan mengedepankan prinsip–prinsip keberlanjutan, ramah lingkungan dan bebas limbah.

Slamet mengatakan, ekonomi biru memiliki prinsip-prinsip inovatif dan kreatif, efisien dalam pemanfaatan sumber daya, memiliki nilai tambah, dan nihil limbah (zero waste). Konsep tesebut menjadi sangat ramah lingkungan dan mampu menciptakan lapangan kerja dan kesempatan wirausaha secara berkeadilan.

“Kegiatan ekonomi berbasis blue economy untuk provinsi NTB khususnya pulau Lombok pada tahap awal ini akan difokuskan kepada komoditas rumput laut. Komoditas ini dipilih karena NTB merupakan salah satu provinsi yang menjadikan rumput laut sebagai basis usaha bagi sebagian masyarakat pembudidaya ikan di berbagai pulau di NTB,” ujar dia.

Di NTB, Slamet menyebut, pembudidaya tidak hanya mengekspor bahan baku rumput laut atau raw material saja, tetapi juga lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan industri khususnya di dalam negeri. Dia mencontohkan, limbahnya yang dihasilkan nantinya akan digunakan untuk pupuk, pakan ikan, atau pakan ternak.

“Inilah yang dinamakan blue economy dimana seluruhnya termanfaatkan sehingga tidak ada limbah yang mencemari,” jelas dia.

 

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

 

Sekretaris Daerah Provinsi NTB Rosiadi Husaen Sayuti mengungkapkan, penerapan ekonomi biru di wilayahnya menjadi salah satu terobosan dalam pembangunan berkelanjutan. Adapun, pemilihan komoditas rumput laut sebagai komoditas yang dikembangkan dengan konsep tersebut, selaras dengan program kerja dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJPMD) Provinsi NTB Tahun 2013-2018.

“Rumput laut dipilih sebagai salah satu komoditas unggulan mengingat rumput laut merupakan salah satu komoditas yang memiliki peran dalam peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, mengurangi angka kemiskinan serta berkontribusi terhadap ekonomi daerah,” tutur dia.

Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi dan Sosial Budaya Eko Djalmo Asmadi menyampaikan, dengan adanya pengembangan ekonomi biru dengan komoditas rumput laut, Pemerintah terus mendorong segera diterbitkannya regulasi tentang industri rumput laut. Hal itu, untuk untuk memperkuat investasi di bidang industri rumput laut dari hulu hingga hilir termasuk di Provinsi NTB.

“Atas dorongan tersebut, Eko menjelaskan, saat ini KKP bersama-sama dengan sektor terkait sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Industri Rumput Laut,” ucap dia.

 

Peran Lembaga Pangan Dunia

Agar pengembangan ekonomi biru berjalan lancar, sejak 2015 Pemerintah Indonesia menggaet Lembaga Pangan Dunia PBB (FAO) untuk ikut berperan dalam proyek percontohan tersebut. Sejak dua tahun lalu, KKP dan FAO melakukan kajian mendalam yang meliputi kajian detail zonasi, carrying capacity, value chain, dan rencana bisnis pengembangan zona ekonomi terintegrasi.

“Rencana bisnis tersebut untuk memperkuat pembangunan perikanan budidaya berbasis ekonomi biru di pulau Lombok provinsi NTB dengan komoditas utama rumput laut dan kerapu. Hasil kajian ini telah dikonsultasikan secara intensif dengan stakeholder melalui serangkaian workshop dan telah berhasil disusun satu dokumen sebagai pedoman implementasi yang komprehensif,” ungkap Slamet Soebjakto.

 

Para petani sibuk memasang bibit rumput laut. Foto: Eko Rusdianto

 

Perwakilan FAO untuk Indonesia Mark Smulders pada kesempatan terpisah, menjelaskan bahwa kajian pengembangan kegiatan budidaya rumput laut berbasis ekonomi biru di Lombok menjadi sangat penting. Hal itu, karena kajian yang dimulai dari zonasi hingga rencana bisnis tersebut bisa menjadi implementasi sumber daya berkelanjutan.

“Kita apresiasi upaya Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Indonesia merupakan produsen rumput laut terbesar kedua setelah Tiongkok,” ungkap dia.

Sementara, Eko Djalmo Asmadi menjelaskan, upaya Indonesia untuk menerapkan ekonomi biru dalam pembanguan berkelanjutan, sudah bisa diterima oleh dunia. Menurut dia, langkah tersebut menjadi bagian dari program pengembangan Blue Growth.

Eko menyebut, Indonesia sudah beberapa kali memperkenalkan konsep ekonomi biru pada pertemuan tingkat internasional seperti FAO, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), dan Indian Ocean Rim Association (IORA). Dari upaya tersebut, respon baik dari berbagai negara sudah mulai terlihat.

“Penerapan blue economy di NTB ini semoga dapat berjalan dengan sukses dan dapat digunakan sebagai percontohan secara nasional, regional dan internasional,” harap dia.

Eko menambahkan, penerapan ekonomi biru bagi NTB juga disikapi sangat serius. Hal itu bisa dilihat dari masuknya kajian zonasi ekonomi biru ke dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) provinsi NTB. Hal itu, menjadi sinergi dari Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dimana RZWP-3K menjadi kewenangan pemerintah Provinsi.

 

Komoditas Rumput Laut

Sebagai komoditas pertama dan satu-satunya yang dikembangkan Pemerintah Indonesia dalam penerapan ekonomi biru, rumput laut dinilai memiliki keunggulan oleh KKP dan menjadi komoditas utama untuk sektor perikanan budidaya. Dalam setahun, KKP merilis data, produksi rumput laut Indonesia rerata bisa meningkat hingga 22,25 persen dengan nilai produksi rerata naik 11,80 persen.

Slamet Soebjakto memaparkan, pada 2013 produksi rumput laut mencapai 9,31 juta ton dengan nilai Rp11,59 triliun, dan naik lagi produksinya pada 2014 menjadi 10,07 juta ton dengan nilai Rp21,71 triliun. Sementara, pada periode 2015-2016, produksi rumput laut naik 11,27 juta ton dan 11,69 juta ton.

Tak hanya itu, Slamet menyebut, ekspor rumput laut dari Indonesia juga sudah berhasil menyasar berbagai negara. Di level internasional, produk rumput laut Indonesia bersaing ketat dengan produksi dari importir besar seperti Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, Denmark, Jerman, Filipina dan Vietnam.

 

Zona budidaya rumput laut di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida, Bali. Foto : Luh De Suriyani

 

Untuk volume ekspor rumput laut, Slamet memaparkan, pada 2015 Indonesia mencapai 211,871 ribu ton senilai USD205,32 juta dan pada 2016 mencapai 188,298 ribu ton dengan nilai USD161,801 juta. Meskipun turun, kata dia, namun volume dan nilai ekspor rumput laut masih menduduki urutan kedua komoditas hasil perikanan budidaya setelah udang.

“KKP terus mendorong pembudidaya menggunakan bibit rumput laut yang berkualitas seperti hasil kultur jaringan. Dengan demikian kegiatan usaha budidaya rumput laut di berbagai daerah semakin baik, dengan begitu target 13,39 juta ton tahun 2017 ini dapat terwujud,” ujar dia.

Slamet menjelaskan, dengan upaya yang dilakukan sekarang, baik melalui teknologi kultur jaringan atau ekonomi biru, produksi rumput laut secara nasional diyakini akan naik dan bisa mencapai target pada 2019 mendatang. Selain itu, dengan upaya-upaya tersebut, volume ekspor dipastikan akan meningkat di masa mendatang.

Koordinator Asosiasi Pembudidaya Rumput Laut Indonesia (ATLI) wilayah Bali, NTB, dan NTT Sunardi Harjo mengatakan, dengan diterapkan ekonomi biru, target produksi rumput laut nasional pada 2019 optimis bisa tercapai. Namun, kata dia, harus didorong zonasi kawasan secepat mungkin diterapkan di NTB dan seluruh Indonesia.

“Selain itu, untuk mendorong meningkatnya produksi harus diperbaiki juga pengolahan dan tata niaganya,” tandas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,