Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Laut, meminta segala aktivitas penambangan pasir di perairan Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan dihentikan, karena sarat masalah dan meresahkan masyarakat.
“Perlu dilakukan langkah-langkah untuk menghentikan kegiatan penambangan pasir laut di perairan sekitar Kabupaten Takalar karena telah menimbulkan keresahan di masyarakat dan mengkaji alokasi ruangnya secara komprehensif agar sesuai dengan kriteria ketentuan yang ada serta berdasarkan hasil kesepakatan dengan stakeholders terkait untuk kawasan konservasi, ruang penghidupan dan akses kepada nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudidaya ikan kecil, dan petambak garam kecil, wisata bahari berlelanjutan dan atau infrastruktur publik,” isi surat tertanggal 25 Agustus 2017, Nomor B.890/DJPRL/PRL.120/VIII/2017, ditujukan kepada Gubernur Sulsel, yang ditandatangani oleh Dirjen Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi.
Surat ini juga menekankan perlunya kehati-hatian dalam menentukan alokasi ruang untuk zona pertambangan dan zona peruntukannya yang membutuhkan aktivitas reklamasi pantai mengingat banyaknya resistensi masyarakat dan dampak fisik yang dapat ditimbulkan oleh kedua kegiatan tersebut.
“Pengalokasian ruang untuk kegiatan yang memiliki dampak, penting dan cakupan luas tersebut harus didasarkan pada data, informasi, kriteria serta perlu dilengkapi dengan modeling terhadap kondisi sebelum dan sesudah terjadinya perubahan.”
(baca : Tak Setop Tambang Pasir Laut Galesong, Koalisi Ancam Gugat Hukum Pemerintah dan Perusahaan)
Surat ini juga menyoroti alokasi ruang dalam RZWP3K Sulsel, yang kini banyak soroti masyarakat. Dalam surat ini dikatakan bahwa alokasi ruang tersebut harus merupakan hasil kesepakatan antara masyarakat, pemerintah daerah dan stakeholders terkait.
KKP di akhir surat menyatakan bahwa dokumen final RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil) Sulsel harus diperbaiki sebagaimana yang tertuang dalam Berita Acara dan hasil perbaikannya disampaikan kembali kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.
Menanggapi surat tersebut, tanggapan Pemprov Sulsel beragam. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, Sulkaf S. Latief, menyatakan tidak akan menghentikan penambangan pasir tersebut karena tidak ada alasan yang kuat untuk menghentikannya.
“Penambangan pasir di Kabupaten Takalar telah sesuai dengan koridor atau aturan penambangan yang berlaku,” ujar Sulkaf sebagaimana dikutip dari CELEBESonline.com, Kamis (14/9/2017).
(baca : Tolak Tambang Pasir Laut, Warga Takalar Ramai-ramai Bakar Pantai)
Sementara Sekretaris Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulsel, Syamsul Bachri malah melimpahkan kepada DPRD untuk mengkaji lebih dalam jika memang ada permasalahan yang ditemukan dalam penambangan pasir tersebut.
“Pemprov tidak bisa serta merta hentikan tambang pasir tersebut makanya kemarin ada pertemuan antara DPRD komisi D, Dinas ESDM dan Kementerian ESDN. Saya tawarkan solusi dari tiga komplain mari kita uji supaya tidak debat tanpa akhir,” ujarnya kepada rakyatku.com.
Seakan mengabaikan surat KKP tersebut Dinas ESDM Sulsel, pada 12 September 2017, bahkan memberikan rekomendasi perizinan baru pada perusahaan lain yang akan melakukan penambangan pasir di perairan Takalar, yaitu PT Alefu Karya Makmur.
Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo sendiri menyatakan siap menutup tambang tersebut jika memang diminta oleh kementerian. Menurutnya, tambang pasir di Kabupaten Takalar tersebut sebenarnya lebih banyak menyuplai pasir ke Proyek Makassar New Port (MNP) dibanding proyel CPI, karena MNP tersebut merupakan tol laut yang dipusatkan di Sulsel.
“Jangan terkontaminasi kemana-mana karena lebih banyak pasir dari Takalar ke MNP di banding dengan Proyek CPI,” ungkapnya.
(baca : Penambangan Pasir di Perairan Galesong Terus Berlanjut, Warga Ultimatum Pemprov Sulsel)
Terkait pernyataan pihak Pemprov tersebut, Asmar Exwar, Direktur WALHI Sulsel, meminta Pemprov Sulsel menghormati surat dari KKP tersebut, karena keberadaan tambang pasir tersebut memang mengancam bahkan merusak ruang hidup nelayan tradisional maupun pembudidaya.
“Di sisi lain, regulasi rencana zonasi yang seharusnya jadi payung hukum pengelolaan pesisir dan pulau kecil masih dalam tahap penyusunan. Jadi jelas bahwa Pempov harus menghormati aturan dan menghentikan segala aktivitas penambangan dan reklamasi,” ujar Asmar.
Asmar berharap agar upaya moratorium yang disarankan KKP tersebut disusul dengan upaya penegakan hukum dengan melibatkan kementerian atau lembaga negara terkait.
“Kementerian juga seharusnya ikut mengawal zonasi wilayah pesisir dan pulau kecil serta memastikan keterlibatan masyarakat yang aktif dalam pembahasan zonasi. Surat ini tidak akan berdampak apa-apa jika aktivitas reklamasi dan tambang pasir masih tetap jalan,” tegasnya.
(baca : Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris)
Menurut Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forests, surat dari KKP tersebut menunjukkan bahwa penetapan zona tambang pasir laut di tiga blok dalam draft RZWP3K tidak melalui pengkajian yang mendalam.
“Benar bahwa prinsip kehati-hatian dalam menetapkan ruang kelola sumberdaya yang memiliki dampak besar dan cakupan area yang luas perlu untuk dikedepankan. Prinsip ini yang tidak mewarnai alokasi ruang tambang pasir laut di draft RZWP3K,” katanya.
Ketiga blok yang dimaksudkan adalah Blok Spermonde di perairan sebelah barat Takalar, Blok Flores di perairan sisi selatan Sulawesi dan Blok Palopo di sekitar perairan Malangke dan Malangke Barat Luwu Utara.
Menurutnya, setidaknya ada tiga aspek penting yang menjadi landasan utama penetapan pesisir dan laut terutama bagi kegiatan dengan cakupan luas dan berdampak penting.
Pertama, analisis kesesuaian atau kelayakan dimana KKP diketahui telah mengeluarkan panduan faktor-faktor apa yang perlu diperhitungkan untuk menilai kelayakan tambang pasir laut.
Dicontohkan pada jumlah estimasi potensi deposit pasir laut yang dimiliki kawasan, bagaimana pola hidrodinamika perairan laut dan keterkaitannya dengan kawasan sekitarnya.
“Apakah perubahan geomorfologi berdampak pada perubahan pola hidrodinamika yang mengganggu sistem sekitar. Jarak dari kawasan konservasi atau daerah perlindungan laut termasuk dengan kawasan penangkapan ikan tradisional, keberadaan kawasan perlindungan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Termasuk juga ada tidaknya instalasi kabel dan pipa bawah laut serta alur pelayaran.”
(baca : Ternyata Banyak Masalah Dalam Raperda Zonasi Pesisir di Sulsel. Apa Saja?)
Kedua, analisa kebijakan, yang dinilai penting untuk memastikan ruang kelola yang diplot untuk pasir laut tidak bertentangan dengan alokasi ruang lainnya. Termasuk agar mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang ada.
Saat ini terdapat dua kebijakan dasar yang mengarahkan ini secara prosedural maupun politis, yaitu Kepmen KKP No.Kep.33/MEN/2002 tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Pengusahaan Pasir Laut dan dan Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil No.Kep.01/P3K/HK.156/X/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Pengusahaan Pasir laut.
“Mari mencermati plot di RZ sudah mengikuti ini atau tidak,” tantang Yusran.
Yusran menilai adanya dualisme kebijakan dan kewenangan pengaturan yang ada antara ESDM dan DKP. Mestinya kedua kebijakan yang ada di dua institusi ini dipaduserasikan, proses perizinan jalan terus di ESDM padahal bingkai kebijakan dan pondasi penetapan area tambang pasir laut yang ada di DKP belum tuntas dalam bentuk RZWP3K ini.
“Inilah pentingnya surat KKP ini mengingatkan Pemprov untuk menghentikan sementara dan memastikan RZ mengkajinya secara mendalam.”
Aspek ketiga adalah analisa dampak, baik itu positif maupun negatif, di mana penting untuk memahami dan memproyeksikan dampak penting dari penambangan pasir laut. Tidak hanya pada saat aktivitas penambangan dilakukan tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Proyeksi dampak penting ini dinilai perlu dikaji dari beragam aspek. Mulai dari dampak terhadap geomorfologi dan hidroseanografi, dampak terhadap ekosistem baik itu dari pencemaran atau kerusakan lainnya, dampak sosial ekonomi bagi nelayan tradisional maupun dampak bagi peruntukan atau zona lain di sekitarnya.
“Sepanjang menyimak sajian dalam RZWP3K, baik dalam bentuk dokumen maupun konsultasi, kami belum menemukan penjelasan detail terkait ini. Apakah telah menjadi pertimbangan dalam menempatkan sub zona pasir laut di 3 blok yang ada atau tidak,” katanya.