Kampanye Karbon Biru di Kaimana, Seperti Apa?

 

Kajian mendalam yang dilaksanakan pada 2014, mengungkap fakta bahwa Kabupaten Kaimana di Provinsi Papua Barat menyimpan potensi besar karbon biru sejak lama. Potensi tersebut muncul, karena di Kaimana terdapat hutan bakau (mangrove) yang luasnya mencapai 76 ribu hektare. Fakta tersebut dipertegas, bahwa potensi karbon biru tersebut menjadi yang terbesar di Indonesia.

Direktur Program Kelautan Conservation International (CI) Indonesia Viktor Nikijuluw, akhir pekan lalu menjelaskan, potensi besar yang ada di Kaimana tersebut, menjadi masa depan menjanjikan untuk Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan penjagaan yang baik untuk segala potensi tersebut., terutama untuk hutan bakau yang ada.

“Namun, sejauh mana pengetahuan warga Kaimana terhadap potensi tersebut, masih dipertanyakan hingga sekarang. Untuk itu, CI Indonesia menggelar survei kepada remaja yang bersekolah di tiga sekolah di Kaimana,” ujar dia.

Viktor menjelaskan, tujuan dilakukan survei yang berlangsung pada 27-28 September itu, adalah untuk mendapatkan data atas pemahaman siswa tentang ekosistem hutan bakau dan sekaligus memberi pemahaman kepada mereka tentang jasa lingkungan ekosistem hutan bakau. Semua data tersebut, diambil dari 185 siswa yang ada di tiga sekolah.

“Hasil survei ini diharap dapat membantu Pemerintah Kabupaten Kaimana sebagai bahan acuan dalam menetapkan kebijakan terkait pengelolan ekosistem mangrove,” tutur dia.

Viktor menyebutkan, kegiatan survei yang menyasar kaum muda di tiga sekolah, menjadi kegiatan lanjutan yang sebelumnya dilaksanakan selama dua tahunn terakhir. Melalui kegiatan tersebut, dia mengharapkan pemahaman generasi muda, khususnya yang berada di Kaimana bisa lebih baik lagi. Pemahaman tersebut, menyangkut tentang peran penting hutan bakau sebagai penyimpan karbon.

Menurut Viktor, generasi sangat penting untuk bisa dijangkau dengan baik baik. Mereka adalah generasi yang bisa membangun pemahaman peran penting dan jasa ekosistem mangrove, serta membangun partisipasi dalam pelestarian mangrove.

“Survei kepada siswa akan digunakan sebagai baseline kegiatan CI Indonesia untuk mendukung Pemerintah Daerah dalam menentukan program pengelolaan ekosistem mangrove pada masa yang akan datang,” tandas dia.

 

Kerusakan hutan mangrove di kawasan Pantai Holtekamp, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua. Foto: Musa Abubar

 

Viktor memaparkan, potensi besar karbon biru di Kaimana mulai terkuak setelah pada 2014 dilakukan kajian mendalam bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Universitas Negeri Papua (Unipa). Penelitian tersebut dilakukan di Teluk Arguni, Kabupaten Kaimana.

Di Teluk Arguni, kata Viktor, tim peneliti mencatat ada potensi serapan karbon hingga 717 Mg C ha -1. Selain di Teluk Arguni, hasil kajian dari studi serupa di dua lokasi lainnya juga sedang disusun dan akan menjadi informasi bagi Pemerintah Nasional dan Kabupaten dalam upaya pelestarian mangrove yang turut berperan mendukung komitmen Indonesia dalam perubahan iklim.

 

Emisi Gas Karbon

Corridor Manager Conservation Indonesia (CI) Indonesia-Kaimana Thamrin La Muasa menjelaskan, keberadan mangrove di Kaimana memang menjadi keuntungan yang tidak dimiliki daerah lain. Tidak saja karena fisiknya yang berbeda, namun luasan mangrove yang mencapai ribuan hektare, juga menjadi bagus untuk penyerapan emisi gas karbon yang menjadi cikal bakal terjadinya perubahan iklim.

“Yang jelas Kaimana memiliki potensi mangrove cukup baik. Salah satunya, mangrove yang ada di Teluk Etna. Ekosistem mangrove menyimpan potensi plasma nutfah yang bagus untuk pengembangan ekosistem mangrove itu sendiri,” tutur dia saat bertemu Mongabay tahun lalu.

Dengan mangrove yang menyebar luas di Teluk Etna, menurut Thamrin, ada potensi yang tersimpan di dalamnya, mulai dari jenis ikan, tempat bertelur ikan, pemijahan, pembesaran, dan semuanya terjadi di dalam hutan mangrove.

Untuk hutan mangrove terluas di Papua Barat sendiri, Thamrin menjelaskan, saat ini masih dipegang oleh Kabupaten Teluk Bintuni yang memiliki luasan hingga 1 juta ha lebih. Sementara, untuk hutan mangrove terluas di Provinsi Papua, hingga saat ini masih tetap dipegang oleh Kabupaten Merauke.

“Ada potensi besar untuk menyerap emisi gas karbon. Namun, memang untuk di Kaimana belum ada pemanfaatan untuk menjadi blue carbon. Itu karena, hingga saat ini belum ada penelitian lebih detil tentang mangrove di Kaimana,” sebut dia.

Deputi Bidang SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanuddin mengatakan, potensi besar yang ada di kawasan pesisir akan terus didorong untuk dikembangkan sebagai potensi karbon biru. Hal itu, berkaitan dengan upaya Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 29 persen pada 2030 mendatang.

“Selain itu, pemanfaatan karbon biru, juga sebagai bentuk implementasi dari tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) butir 14,” ungkap dia.

Safri mengatakan, berbeda dengan ekosistem daratan yang cenderung tidak akan bertambah pada saat tertentu, ekosistem pesisir mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam sedimen secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama. Potensi itu akan semakin besar jika dilakukan pengelolaan dengan baik.

 

Hutan mangrove di Teluk Arguni Kaimana Papua Barat. Menurut Conservation Internasional (CI) Indonesia, mangrove berperan penting sebagai stok karbon GRK untuk mengatasi perubahan iklim dan berperan ekologis yang menguntungkan secara ekonomis. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Safri menjelaskan, saat ini terdapat tiga ekosistem yang berpotensi sebagai karbon biru (blue carbon), yaitu mangrove, padang lamun, dan kawasan payau. Karbon Biru, kata dia, merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida sehingga bisa memitigasi pemanasan global dan perubahan iklim dengan cara menjaga keberadaan hutan bakau, padang lamun, rumput laut dan ekosistem pesisir.

“Vegetasi pesisir diyakini dapat menyimpan karbon 100 kali lebih banyak dan lebih permanen dibandingkan dengan hutan di daratan,” jelas dia.

Safri menyebutkan, pemanfaatan ekosistem pesisir untuk karbon biru memerlukan pengelolaan ekosistem pesisir yang berkelanjutan dan koordinasi antar kementerian serta pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, masih diperlukan komunikasi yang kontruktif untuk bersama-sama menyusun Roadmap Blue Carbon Indonesia.

 

Rehabilitasi Hutan Bakau

Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Lingkungan dan Kebencanaan Maritim Kemenko Maritim Sahat Panggabean, menggambarkan betapa masifnya tingkat kerusakan lahan mangrove di Indonesia saat ini. Dia menyebut kerusakan tersebut akibat penebangan dan alih fungsi lahan menjadi areal tambak dan aktivitas ekonomi lainnya.

“Ada 85 persen kerusakan pantai di Pantura dan untuk wilayah Indonesia, sekitar 51 persen kerusakan telah terjadi di seluruh Indonesia. Itu kan luasnya lebih dari setengahnya telah rusak secara nasional, dan di sisi lain laju kerusakan akibat konversi lahan yang terus terjadi sekitar sebesar 50 ribu hektar per tahun. Kita tidak bisa lagi mengandalkan KKP dan KLHK, kita harus kerja bersama lintas Kementerian/Lembaga, Swasta dan LSM yang peduli,” terangnya.

Saat melaksanakan rehabilitasi, menurut Sahat, prosesnya jangan sampai menyingkirkan masyarakat yang ada di sekitarnya. Justru, masyarakat wajib mendapatkan manfaat dari hutan mangrove tersebut. Oleh itu, kata dia, cara yang bijak adalah dengan melibatkan pihak-pihak yang biasa memberikan edukasi kepada masyarakat tentang perlindungan terhadap hutan mangrove.

“Masyarakat juga jangan sampai dirugikan, dan masyarakat tetap bisa berperan dan roda perekonomian tetap berjalan,” kata dia.

 

Mangrove di atas air, dan padang lamun di bawahnya, kombinasi kekuatan untuk menyimpan karbon dunia. Foto: Keith Elienbogen@iLCP

 

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim Agung Kuswandono menjelaskan, agar rehabilitasi hutan mangrove yang mengalami kerusakan bisa berjalan baik, sebaiknya memang tidak terjadi pemisahan tugas antara Pemerintah dan non Pemerintah. Dikhotomi tersebut, kata dia, harus dihilangkan dan bergerak maju bersama.

“Kami akan terus berusaha keras untuk melakukan koordinasi dan bersinergi bersama dengan melupakan dikhotomi pemerintah, start kita bukan dari nol tetapi dari minus nol, disebabkan degradasi yang terjadi cukup besar. Jadi kalau itu bukan program nasional tidak akan bisa, dan kalau tidak ditangani oleh semua pihak tidak akan pernah bisa,” tegas dia.

Menurut Agung, pentingnya melakukan rehabilitas mangrove dan juga wilayah pesisir laut, karena di masa lalu Indonesia adalah bangsa maritim yang besar. Namun, sejak lama pula, Indonesia meninggalkan kekuatannya tersebut dan memilih menjadi bangsa agraris.

“Dan sekarang lah masa yang tepat, terutama karena Presiden RI Joko Widodo sudah mencanangkan Indonesia harus menjadi Poros Maritim Dunia dan mengembalikan kejayaan maritim Indonesia seperti di masa lampau,” papar dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,