Resah dengan Kondisi Alam, Mereka Membuat Sabun Ramah Lingkungan

 

 

Ada berbagai alasan untuk mengalihkan penggunaan sabun mandi dari yang berbahan kimiawi ke herbal. Kesehatan kulit dan lingkungan adalah dua alasan utamanya. Sabun mandi berbahan kimiawi pada umumnya mengandung deterjen dan paraben. Selain berpotensi merusak kulit, secara akumulatif air bilasan sabun itu dapat merusak sanitasi dan ekosistem biota yang hidup pada aliran air.

Anastasia Wiraatmadja, adalah sosok yang tergerak hatinya untuk memproduksi sabun ramah lingkungan. Ketertarikan terhadap produk-produk perawatan tubuh memicunya untuk memulai usaha sabun ini. Bedanya, kegiatan ini tidak ditargetkan mencari keuntungan semata, tapi juga disisipi advokasi sanitasi, konservasi hutan, dan orangutan.

Karena itu, sabun-sabun kreasinya tidak menggunakan bahan kimia, vegan-friendly dan bebas dari minyak kelapa sawit. “Ini kombinasi sains dan art. Saya mulai dengan riset bahan-bahan dan cara pembuatannya untuk menciptakan sabun yang bisa saya kontrol bahan-bahannya. Tujuannya, aman bagi pengguna dan ramah untuk lingkungan,” kata Ana dalam wawancara dengan Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Kepekaan terhadap isu kelapa sawit muncul saat ia masih tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat, 2010. Paparan tentang masalah kelapa sawit yang menggerus hutan Indonesia, sering ia dapatkan dari orang-orang sekitarnya yang didominasi ilmuwan. Menurutnya, kondisi Indonesia cukup tertinggal dengan Amerika, di mana warganya sudah aware dengan isu kelapa sawit dan melakukan boikot terhadap produknya.

 

Baca: Cerita Sabarya, Mengolah Limbah Sabun oleh Pengidap Gangguan Jiwa

 

Problematika lahan sawit ini berkorelasi kuat dengan mengecilnya habitat satwa favoritnya, orangutan. Informasi tersebut, ia dapatkan dari salah satu Ahli Konservasi Orangutan Dr. Birute Mary Galdikas, sewaktu menjadi public lecture di LA.

“Orangutan adalah my spirit animal. DNA kita (manusia), 98 persen sama dengan DNA orangutan dan saya terkesan sekali. Tapi, waktu saya jalan ke Sumatera dan Borneo rumahnya hampir gak ada, semuanya tuh sawit. Mereka tidak leluasa di teritorinya,” ujar Ana.

Ia juga menaruh perhatian terhadap sanitasi. Scrub pada sabun-sabun pabrik pada umumnya mengandung mikroplastik yang bisa terbawa air sungai dan laut. Hal ini berbahaya untuk keberlanjutan perairan di Indonesia. “Pada produk ini, saya ciptakan awareness juga kepada orang-orang,” kata dia.

Komposisi sabun botani yang bernama Nebula Soap milik Ana, terdiri dari minyak-minyak sari nabati. Seperti zaitun, minyak kelapa, clays (tanah liat/lumpur),air, dan butters (mentega). Untuk pewarnaan, ia menggunakan lumpur, kacang-kacangan, bambu arang dan moringa (kelor). Untuk aroma, cokelat mint, caramel merupakan bahan-bahan yang sering diandalkan. Desainnya pun beragam, yang hampir keseluruhan diinspirasi dari alam. Seperti bentuk laut, warna tumbuhan, awan, dan lain-lain.

Meski semua bahannya alami, namun kualitas sabun botani ini tidak kalah dengan sabun pabrikan yang ada di pasaran. Busanya tetap banyak, efeknya menjadi lembut dan membersihkan kulit. Sabun-sabunnya itu dinamai sesuai aroma dan bentuk, misalnya Almond Milk, Lemongrass & Moringa, Coconut Milk, Frangipani dan Shea Butter, serta lainnya. Rata-rata, sabun ini berukuran 5 sampai 7 x 7 sentimeter dengan ketebalan 2 sentimeter, dibanderol mulai dari Rp40 ribu sampai Rp50 ribu.

 

Mentega hasil olahan minyak tengkawang. Foto : SAMPAN Kalimantan

 

Dini Rantykasari (30), pembuat sabun alami lainnya juga mengkampanyekan peduli lingkungan. Kesadaran itu muncul sejak ia mulai mengandung anak pertamanya. Ia menjadi sangat waspada terhadap produk-produk perawatan tubuh di pasaran karena, setelah ia cermati komposisinya, mayoritas mengandung bahan kimia berbahaya. Diantaranya, paraben, sodium sulfate, sodium laureth sulfate dan deterjen.

“Saya membayangkan buruknya dampak ke kulit kita kalau setiap tiga kali sehari terpapar deterjen yang bikin kering, korosit ke kulit. Belum lagi zatnya sulit terurai dan mencemari lingkungan,” ujar Dini kepada Mongabay di Bekasi, Jawa Barat.

Sabun Herbalicious yang ia kembangkan ini menekankan aspek kesehatan manusia. Penting menurutnya, agar masyarakat peduli terhadap kesehatannya sendiri. Sabun eco-friendly ini memiliki banyak manfaat untuk kulit yang berasal dari bahan-bahan tumbuhan.

Misalnya, minyak zaitun yang bisa mengangkat sel kulit mati dan menghilangkan bekas luka. Minyak kelapa memiliki daya pembersih yang tinggi. Minyak dedak beras dengan kandungan vitamin E besar, serta minyak jarak untuk menghasilkan busa sabun yang lembut.

“Banyak calon konsumen yang awalnya belum aware. Biasanya, saya barengi dengan informasi kesehatan. Misalnya, bahaya sabun deterjen itu bikin tua kulit flek-flek hitam dan bisa iritasi. Kelebihannya sabun (herbal) ini, kita gunakan minyak untuk mengganti deterjen dan paraben,” ujarnya.

 

Baca juga: Mau Sabun Mandi Aman di Kulit dan Lingkungan? Bisa Pilih Produk Ini…

 

Dini memasarkan sabunnya dengan kisaran harga Rp10-30 ribu. Sama halnya dengan Ana, distribusi produk mereka ini dilakukan menggunakan media sosial seperti instagram, situs e-commerce, jaringan pertemanan, dan kelompok aktivis lingkungan.

Kemunculan sabun-sabun alami ini dinilai dapat berkontribusi terhadap perbaikan sanitasi, khususnya daerah Jakarta. Pengkampanye Perkotaan dan Energi dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Dwi Sawung, memaparkan bila produk sabun mandi dan sabun cuci yang banyak mengandung deterjen beserta sulfat, dapat membuat biota-biota di aliran air mati. Dari segi kesehatan, zat paraben juga bersifat karsinogenik.

Buruknya sanitasi tersebut merugikan penghuni rumah karena kualitas air yang mereka dapatkan tidak lagi higienis. “(Penggunaan sabun herbal) ini dapat mengurangi dampak pencemaran yang muncul akibat proses produksi pembuatan sabun berbahan kimia. Sebab, yang lebih besar dampaknya itu dari proses produksi sabun yang dari pabrik,” kata Dwi, Rabu (11/10/17).

 

Sabun ramah lingkungan yang dibuat Dini Rantykasari, tidak hanya aman bagi kulit tetapi juga aman untuk lingkungan. Foto: Raisya Maharani/Mongabay Indonesia

 

Mudah dibuat dan tidak mahal  

Tantangan usaha sabun alami ini adalah ongkos produksi yang tinggi. Sebab, mayoritas bahan bakunya seperti clays, oxyde, pewarna alami yang dipilih juga harganya tinggi dan sangat selektif. Guna mensiasati kondisi tersebut, para produsen sabun ini punya ide dan strategi tersendiri.

Dini misalnya, ia menyediakan produk seharga Rp10 ribu untuk menjangkau calon konsumen lower class. Dengan konsekuensi, komposisi sabun tidak sepadat harga yang paling tinggi. “Hal terpenting, konsumen bisa konsumsi sabun ini. Responnya pun positif, mereka senang karena lembut dan cocok juga untuk kulit wajah.”

Alternatif lain untuk mendistribusikan sabun ini melalui kegiatan non-profit. Anastasia dalam menjalankan bisnis ini sadar dengan daya konsumsi masyarakat yang masih terbatas dan kondisi pasar yang masih didominasi sabun pabrik. Strategi yang realitis memang hanya menyasar calon konsumen menengah-atas atau kelompok yang sadar akan keberlanjutan lingkungan.

Untuk itu, ia tengah merencanakan pelatihan keterampilan pembuatan sabun bagi masyarakat umum. Targetnya adalah perempuan di wilayah luar Pulau Jawa, yang jauh dari akses. Alasannya, secara geografis daerah tersebut dekat dengan aneka minyak botani yang bisa dimanfaatkan untuk membuat sabun.

“Misalnya di Kalimantan ada illipe butter dari pohon tengkawang. Solidnya, lebih keras dari minyak cocoa (cokelat) dan bagus untuk pengganti palm oil,” ujar Ana.

Pembuatan sabun alami ini dapat dikatakan mudah. Produksi sabun yang dilakukan Dini dan Ana hanya memerlukan satu-dua jam untuk menggodok bahan-bahan, lalu menuangkannya ke cetakan. Hasil cetakan sabun akan kering setelah 1 x 24 jam. Tahapan yang lama adalah proses curing atau penguapan sabun yang membutuhkan empat sampai enam minggu.

Proses curing ini penting untuk menurunkan PH sabun dan melembutkan tekstur. Setelah masa curing selesai, sabun alami yang aman bagi konsumen ini siap digunakan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,