Orangutan Tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Ekosistem Batang Toru

 

 

Indonesia resmi mempublikasikan temuan spesies baru orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), yang habitatnya berada di ekosistem Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Jum’at (3/11/17). Hasil penelitian tersebut dilaporkan dalam jurnal internasional terkemuka, Current Biology.

Penelitian yang dilakukan sejak 1997 itu, menasbihkan orangutan tapanuli sebagai spesies ke tiga, setelah Pongo pygmaeus (orangutan borneo) dan Pongo abelii (orangutan sumatera). Secara genetik, orangutan yang populasinya kurang dari 800 individu ini mirip orangutan kalimantan. Peneliti menduga, jenis ini berasal dari keturunan nenek moyang mereka yang berpindah dari dataran Asia pada masa Pleistosen, 3-4 juta tahun silam.

Adapun pengukuhan dunia internasional ini rencananya akan disusul dengan penetapannya dalam IUCN CITES I dan statusnya yang Critically Endangered (Kritis). Ini disebabkan, jumlahnya hanya 800 individu pada luasan 15.000 hektar yang sudah terfragmentasi. Populasinya juga terpecah dalam dua kawasan utama (Blok Barat dan Timur), oleh lembah patahan Sumatera, dan populasi kecil di Cagar Alam Sibual-buali di tenggara blok barat. Tak hanya itu, antara blok barat dan timur pun terpotong jalan nasional.

”Tindakan mendesak diperlukan untuk meninjau ulang usulan-usulan pengembangan daerah di wilayah ini. Dengan begitu, ekosistem alaminya terjaga demi keberlangsungan hidup orangutan Tapanuli di masa depan,” ujar Puji Rianti, yang tergabung dalam tim peneliti orangutan tapanuli dari Institut Pertanian Bogor, di Jakarta (3/11/17).

Populasi ini terancam adanya konversi hutan dan perkembangan lainnya. ”Habitat (yang ada) harus dikelola dengan benar, tidak ada lagi fragmentasi misalnya pembukaan lahan,” jelas Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan usai konferensi pers. Posisi habitat orangutan ini pun menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan dan mitigasi terhadap dampak dari pembangunan.

Pihaknya memastikan, tidak ada investasi pembangunan yang menggunakan lahan skala besar di wilayah tersebut. ”Akan kita plot, lokasi hydropower dam, geothermal, petani masyarakat dan ladang,” jelasnya.

 

Tiga spesies orangutan yang ada di Indonesia: pongo abelii, pongo tapanuliensis, dan pongo pygmaeus. Sumber: Batangtoru.org

 

Rencananya, KLHK akan melakukan dialog publik pada tingkatan lokal untuk peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat terkait orangutan. Pengelolaan berbasis komunitas ini, bisa dialokasikan melalui program perhutanan sosial. “Keberadaan orangutan tapanuli ini justru banyak terdapat di kawasan areal penggunaan lain (APL) dari ekosistem Batang Toru. Sementara yang APL, akan saya lihat juga kemungkinannya menjadi fungsi lindung,” jelasnya.

Sebelum adanya proses perubahan APL, Wiratno menjelaskan harus ada perubahan fungsi melalui revisi tata ruang. Lama prosesnya ini juga belum diketahui. ”Saya akan rapat dengan provinsi untuk lihat tata ruangnya. Ini tantangan bersama dalam pengelolaan kawasan konservasi, bagaimana membangun pengelolaa kolaboratif yang efektif bersama masyarakat,” terangnya.

Habitat orangutan ini pun memiliki potensi keterancaman dari proyek PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE). Meski demikian, pihaknya akan melihat kondisi lapangan dan dampak yang kemungkinan ditimbulkan. ”Sesuatu yang penting untuk masa depan. Saya katakan, kawasan konservasi harus diselamatkan karena mau kita hand over ke generasi selanjutnya, 100-200 tahun ke depan,” jelas Wiratno.

Ian Singleton, Direktur SOCP menyebutkan, populasi terpadat orangutan ini berada di Blok Barat. Meski demikian, jumlahnya tidak bisa dihitung karena wilayah jelajah hingga 1.500 hektar untuk betina, sedangkan jantan mencapai 3.000-10.000 hektar. Untuk Blok Timur diprediksi 200 individu dan di cagar alam sekitar 17 individu.

”Kalau 17 individu ini lama-lama punah, harusnya 250 individu lebih agar ada harapan jangka panjang. Prioritas utama saat ini adalah menyambungkan blok barat dan timur, untuk menghindari kawin silang (inbreeding). ”Kita ingin pastikan bahwa PLTA tidak memutuskan hubungan antar-blok,” jelasnya.

Gabriella Fredriksson, Koordinator Program Batang Toru-Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP, PanEco – YEL), menjelaskan, penelitian ini merupakan kerja sama antara Universitas Swiss dengan IPB, LIPI dan pihak lain, yang melihat berbagai sudut orangutan tapanuli.

YEL, menurut Gabi, pada 2005 telah membangun stasiun monitoring flora dan fauna di kawasan hutan lindung di Tapanuli Utara. Dalam riset ini, YEL berperan sebagai fasilitator penelitian.

“Pada 2011, para peneliti dari Universitas Swiss dan IPB mengeluarkan tulisan ilmiah pertama yang sedikit aneh karena dalam laporan itu, genetika orangutan tapanuli lebih dekat dengan orangutan kalimantan dibanding orangutan sumatera.”

Karena hasilnya sangat mengejutkan, penelitian mengenai gen dilanjutkan. Harus ada pengukuran morfologi seperti tengkorak yang membedakan spesies ini dan juga mengenai suara yang direkam jarak jauh. Hasilnya, sonogramnya berbeda signifikan dengan orangutan kalimantan dan orangutan sumatera yang ada di Kawasan Ekosisten Leuser, di Aceh.

“Dari sisi genetika, oranutan tapanuli merupakan nenek moyang dari orangutan kalimantan dan orangutan sumatera yang terpisah beribu tahun lalu dan berevolusi. Kita harus menjaga dan tidak merusak habitatnya. Harus ada perlindungan menyeluruh, agar satwa langka ini tidak punah,” jelasnya.

Sebagai informasi, status kawasan ekosistem Batang Toru telah ditetapkan oleh Menteri LHK melalui Nomor: SK.637/MenLHK-Setjen/2015, tanggal 14 Desember 2015, menjadi KPHP XI, KPHL XXIIV, KPHL XXV, dan KPHL XXVII pada 2015. Pengelolaan KPHL-KPHL tersebut perlu memprioritaskan upaya-upaya perlindungan bagi spesies orangutan jenis baru.

 

 

Unik

”Orangutan ini unik, hidup pada ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan laut (m dpl). Mereka pun beradaptasi, sehingga makanannya berbeda,” sebut Wiratno.

Peneliti menduga pada masa Pleistosen, saat dataran Sunda masih menyatu antara Asia, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa terjadi percampuran genetik. Nenek moyang orangutan di Indonesia berasal dari dataran Asia yang berjalan ke selatan. Mereka mencari makan, diduga ke arah utara, Aceh dan Sumatera (Tapanuli ini), ada pula yang ke Jawa dan Kalimantan. Adapun penjelajahan ini dipengaruhi dengan ketersediaan pakan.

Hingga pada saat Danau Toba meletus, dimungkinkan jantan masih bisa berpindah, karena wilayah jelajahnya hingga 5 kilometer dalam satu hari, sedangkan betina 1-2 kilometer saja. Kemungkinan, dengan adanya letusan ini menjadi tidak bisa menjelajah.

 

Hutan Batang Toru yang luasnya 133.841 hektar ini, berada di tiga kabupaten dengan kekayaan hayati yang tinggi. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Puji menyebutkan, populasi orangutan yang tinggal di dataran tinggi ini memiliki jenis pakan berbeda. Yakni, biji aturmangan (Casuarinaceae), buah sampinur tali/bunga (Podocarpaceae), dan agatis (Araucariaceae). Secara perkembangbiakan, spesies ini mirip dengan orangutan umumnya. Hidupnya berumur 50-60 tahun.

”Biasanya orangutan reproduksi pada usia 9 tahun, tapi mereka di usia 15 tahun,” sebutnya. Tak hanya itu, sejak kecil bayi orangutan tapanuli digendong induknya hingga usia 8 tahun.

Perbedaan orangutan tapanuli dengan lainnya adalah, tengkorak dan tulang rahangnya lebih halus, bulunya lebih tebal dan keriting. Jantan, memiliki kumis dan jenggot menonjol dengan bantalan pipi berbentuk datar yang dipenuhi rambut halus berwarna pirang. Panggilan jarak jauh (long call) jantan dewasa pun berbeda dengan orangutan lainnya.

Temuan ini merupakan kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Nasional (UNAS), Forum Orangutan Indonesia (FORINA), dengan Yayasan Ekosistem Lestari – Program Konservasi Orangtuan Sumatera (YEL-SCOP) dan berbagai universitas lain mancanegara.

 

Ekosistem Batang Toru. Sumber peta; Batangtoru.org

 

Lindungi ekosistem

Terpisah, Gubernur Sumatera Utara, Tengku Erry Nuradi, saat diwawancarai Mongabay Indonesia di rumah dinasnya di Medan mengatakan, hutan lindung di ekosistem Batang Toru luasnya sekitar 133.841 hektar. Wilayah ini meliputi tiga kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah.

“Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Sumatera akan memperhatikan dan mengawasi kelestarian ekosistem Batang Toru. Jika peraturan gubernur diperlukan, akan kami pelajari. Walau ada undang-undang yang lebih kuat, namun di daerah harus kita jaga dan awasi,” terangnya.

Tengku Erry menyatakan, di Tapanuli banyak kegiatan ekonomi yang beraktivitas di kawasan hutan Batang Toru, mulai proyek tambang emas, gas alam, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), serta perkebunan kelapa sawit. Proyek itu dianggap penting bagi pembagunan, namun bukan berarti bisa sembarang bergerak. Harus ada kajian lingkungann, jangan sampai merusak ekosistem orangutan tapanuli yang langka dan terancam punah ini.

“Kalau izin dalam kawasan hutan diterbitkan oleh KLHK, kami titip pesan ke BBKSDA Sumut agar jangan sampai merusak ekosistem Batang Toru. Orangutan tapanuli adalah ikon baru Provinsi Sumut, kita harus bangga,” jelasnya.

 

 

Halen Purba, Kepala Dinas Kehutana Provinsi Sumatera Utara menyatakan kawasan Batang Toru merupakan kekayaan alam terbaik di dunia. Semakin lengkap dengan adanya orangutan tapanuli. Tata ruang dan pola ruang menjadi prioritas Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, tanpa merusak ekosistem. “Prioritas utama adalah penyelamatan satwa langka dan keragaman hayatinya.”

Menurut Helen, saat ini ada 22 ribu hektar yang statusnya APL. Bila ingin merubahnya tentu harus ada mekanisme yang dijalankan. Di dalam tata ruang, nantinya bisa dibuat apakah menjadi daerah lindung hingga kawasan hutan konservasi.“Sekarang yang perlu dilakukan dan diawasi adalah membuat koridor menyatukan ekosistem sebagai habitat orangutan tapanuli. Koridornya harus dijaga.”

Hotmauli Sianturi, Kepala BBKSDA Sumut mengatakan, konsen terbesar ke depan adalah menjaga habitat oragutan tapanuli yang saat ini, di kawasan Batang Toru ada spot-spol APL. Komunikasi dengan pemerintah daerah setempat akan intensif dilakukan.”

Sebenarnya ada satu koridor yang bisa dilakukan, yaitu menetapkan area tersebut menjadi kawasan ekosistem esensial. Dan ini, harus didukung pemerintah daerah dengan membuat peraturan daerah, peraturan bupati, atau peraturan gubernur.

“Secara fungsi, menjadi lindung atau perlindungan, dan secara pengelolaan bisa di pemerintah daerah. Kawasan ekosistem esensial tentunya membuat populasi orangutan tapanuli terjaga di habitatnya,” tandasnya.

Selamat Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional!

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,