Katak dan Kodok, Apa Bedanya?

 

 

Anda tahu perbedaan antara katak dan kodok? Apakah keduanya merupakan jenis yang sama? Apakah suara “rekotok rekotok” yang sering terdengar di pinggir kali adalah suara kodok? Apakah katak maupun kodok memiliki manfaat bagi lingkungan?

Amir Hamidy, ahli herpetologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), punya jawabannya. Menurut Amir, penyebutan katak atau kodok sebenarnya mengikuti konsep Bahasa Inggris dan morfologinya.

Dalam penamaan Bahasa Inggris, istilah toad untuk kodok, sementara frog untuk katak, karena mempresentasikan dua suku. Kodok berasal dari Suku Bufoidae, sementara katak dari Suku Ranidae. “Dilihat dari morfologi, kebanyakan kodok lebih berbintil sedangkan kulit katak lebih halus.”

Amir melanjutkan, kenyataannya di Indonesia, banyak jenis yang bila dilihat secara morfologi tidak hanya merepresentasikan Suku Bufonidae dan Ranidae saja. “Di Jawa Barat sendiri, ada enam suku yang mewakili keduanya. Penyebutan suatu jenis pun harus sinergis dengan sistematika dan tata nama ilmu hewan,” jelas Amir yang merupakan Kepala Laboratorium Herpetologi Bidang Zoologi Puslit Biologi LIPI, Cibinong.

 

Baca: Empat Jenis Katak Baru Ditemukan di Sumatera

 

Djoko T. Iskandar, dalam bukunya Amfibi Jawa dan Bali (1991), menjelaskan bahwa dalam Bahasa Indonesia, belum ada kesepakatan penggunaan sebutan katak atau kodok. Dijelaskannya, kodok adalah penamaan dari Bahasa Jawa. Di Jawa Barat, katak atau kodok disebut bangkong, sedangkan bancet untuk katak kecil. “Sementara di Jawa Tengah, katak kecil dipanggil percil yang berlaku untuk anakan katak atau kodok.”

Katak atau kodok, masuk Bangsa Anura yang persebarannya hampir merata di seluruh dunia. Cirinya adalah tubuh pendek dan lebar, terdiri dari kepala, badan, dan memiliki dua pasang tungkai yang tungkai belakangnya lebih besar. Kaki berselaput digunakan untuk melompat dan berenang. “Katak atau kodok memiliki pita suara, yang biasanya sang jantan akan mengeluarkan “Nyanyian” untuk menarik perhatian betina,” jelas buku tersebut.

Telur yang menetas, biasanya akan tumbuh menjadi larva yang berbeda dengan bentuk dewasanya, dikenal dengan nama berudu. Hampir semua berudu, akan mengalami metamorfosis saat menjadi dewasa, namun pada beberapa jenis ada yang langsung dewasa.

 

Baca juga: Sigale-gale, Marga dan Jenis Kodok Baru di Sumatera

 

Mirza D Kusrini dalam bukunya Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat, menjelaskan di Indonesia ditemukan sekitar 450 jenis katak atau kodok yang mewakili 11 persen dari seluruh Bangsa Anura di dunia. Sekitar 28 jenis, ada di Jawa Barat, dari Suku Bufonidae, Dicroglossidae, Microhylidae, Megophyridae, Ranidae, dan Rhacophoridae.

“Bila ingin menemukan katak atau kodok, datangi habitat mereka. Kolam, genangan air, sungai dan wilayah teresterial (tumpukan serasah, di balik kayu-kayu rebah, dalam tanah) serta pohon. Kebanyakan katak atau kodok aktif malam hari, sekitar jam 7 malam hingga 4 pagi,” jelasnya.

 

Megophrys montana merupakan katak yang tersebar di wilayah Jawa. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Manfaat di alam

Katak maupun kodok memiliki peran penting bagi ekosistem alam. Mirza mengungkapkan, katak merupakan pemakan serangga atau larva serangga yang berpotensi menjadi hama maupun sumber penyakit seperti nyamuk. Berudu dan katak dewasa senang memakan jentik-jentik nyamuk atau hama tanaman.

“Penelitian pakan katak oleh mahasiswa Institut Pertanian Bogor dengan membedah perut untuk melihat jenis apa saja yang dimakan, mendapatkan hasil memuaskan. Ternyata, ada kecoa dan rayap,” terang dosen dan peneliti herpetologi dari Institut Pertanian Bogor ini kepada Mongabay Indonesia, baru-baru ini.

Miki, biasa disapa, menjelaskan bahwa katak atau kodok juga berfungsi penting mengendalikan ekosistem. Serangga yang menjadi musuh petani akan berkurang dengan kehadiran katak atau kodok yang memangsanya, tanpa harus menggunakan pestisida.

Miki memberikan kiat untuk Anda yang ingin mendatangkan katak atau kodok di rumah. Buat lah kolam yang diisi air dan tumbuhan. Tumbuhan berfungsi tempat berlindungnya telur dan berudu serta memberikan pakan untuk anakan katak atau kodok. Bila tidak ada kolam, gunakan pot berisikan tumbuhan air. “Dengan menghadirkan katak atau kodok, kecoa dan rayap berkurang,” jelasnya.

 

Megophrys nasuta atau katak-tanduk pinokio adalah jenis yang sering diperdagangkan sebagai satwa peliharaan. Foto: Amir Hamidy/LIPI

 

Ancaman

Kehidupan katak maupun kodok di alam, nyatanya tak luput dari ancaman. Ada empat faktor utama yang menyebabkan populasinya terganggu sebagaimana penjelasan Mirza dalam bukunya Pedoman Penelitian dan Survey Amfibi di Alam.

Pertama, hilangnya habitat dan lahan basah. Beberapa jenis amfibi teresterial, misalnya Leptobrachium hasseltii dan Megophrys montana (katak-tanduk gunung) adalah penghuni hutan sehingga hilangnya hutan dapat memusnahkan jenis ini. Perubahan lahan basah akibat eutrofikasi, pencemaran, introduksi ikan asing, hilangnya hutan dan padang sekitar dapat menurunkan populasi amfibi.

“Genangan atau kubangan yang muncul saat hujan ternyata penting bagi pembesaran berudu katak pohon atau jenis lain.”

Kedua, pencemaran dan radiasi UV-B di beberapa negara industri atau kawasan yang memiliki pencemaran udara tinggi mengakibatkan air hujan bersifat masam yang dapat mematikan embrio amfibi dan berudu.

 

Spesimen Megophrys nasuta (katak-tanduk pinokio) yang ada di Laboratorium Herpetologi, Puslit Biologi LIPI, Cibinong. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Ketiga, bahan pencemar yang terkandung dalam sampah menjadikannya tumpukan berbahaya. Hasil penelitian menunjukkan amfibi rentan terhadap senyawa seperti logam berat, produk petroleum, herbisida dan pestisida. Penelitian di laboratorium secara konsisten menunjukkan, berudu lebih rentan terhadap pestisida ketimbang ikan.

Penelitian lain juga menunjukkan, jamur Batrachochytrium dendrobatidis menyebabkan penyakit chytridomycosis, yang diduga menjadi pangkal utama kematian banyak amfibi di Amerika Tengah, Australia, dan Asia.

Terkait kondisi tersebut, Amir mengatakan, Indonesia sudah sering impor katak meski LIPI tidak merekomendasikan. “Katak impor tidak bebas jamur dan saat masuk ke Indonesia tidak ada pemeriksaan. Bila terlepas atau sengaja diepaskan ke alam, berbahaya untuk jenis asli karena penularan jamur melalui air,” terangnya.

Masuknya jenis amfibi pendatang dari negara lain pun berisiko terhadap kehidupan jenis-jenis amfibi asli. Misalnya, jenis katak lembu Rana catesbeiana yang bentuk berudu dan dewasanya adalah predator. Bila sengaja dicampurkan, ia dapat memakan katak jenis lain.

Keempat, Indonesia merupakan negara pengekspor terbesar paha katak beku di dunia yang mencapai 4 ribu ton per tahun. “Selain itu juga, katak dan kodok diperjualbelikan antarnegara sebagai binatang peliharaan di terrarium,” jelas Mirza.

 

Referensi:

Iskandar DJ. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor, Indonesia

Kusrini, MD. 2009. Pedoman Penelitian dan Survey Amfibi di Alam. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, Indonesia.

Kusrini, MD. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,