Koalisi Temukan Dugaan Pelanggaran 7 Perusahaan Bersertifikat Kayu Legal di Papua

 

 

Pada 15 November 2017,  tepat satu tahun pemberlakuan lisensi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) antara Indonesia dan Uni Eropa. FLEGT ini sebagai instrumen yang menyatakan, kayu-kayu masuk ke Eropa, bukan kayu bermasalah atau keterlacakan jelas.

Indonesia bangun sistem agar kayu-kayu terlacak balak alias jelas asal usul lewat sertifikasi verifikasi legalitas kayu (SVLK). Para pemegang sertifikat V-Legal ini dapat lisensi FLEGT.

Baca juga: Akhirnya Indonesia Mulai Terbitkan Lisensi Kayu Legal ke Uni Eropa pada 15 November

Koalisi Anti Mafia Hutan, lakukan pemantauan dan menilai, selama satu tahun FLEGT berjalan, belum memuaskan karena masih ada indikasi pelanggaran SVLK oleh setidaknya tujuh perusahaan pengolahan kayu.

Koalisi mengadukan tujuh perusahaan pengolahan dan penggergajian kayu di Papua, karena diduga melanggar SVLK dan tataniaga kayu. Ketujuh perusahaan ini telah memperoleh sertifikat legalitas kayu (S-LK), namun diduga menerima kayu olahan dari hutan alam yang ditebang ilegal dan melanggar aturan tata usaha kayu.

“Ke tujuh industri ini di Kabupaten Jayapura dan Sarmi,” kata Azizah Amalia dari Yayasan Auriga Indonesia, di Jakarta, Selasa (28/11/17).

Pengaduan dilayangkan kepada dua Lembaga verifikasi legalitas kayu (LVLK), yakni PT Ayamaru Sertifikasi di Bogor dan PT Transtra Permada di Sleman, Yogyakarta.

Ayamaru Sertifikasi merupakan LVLK yang bertanggungjawab memproses penilikan dan memberikan S-LK kepada CV IH, CV MJ, CV HI, PT HB, PT DJP, dan PT SE. Sedang Transtra Permada melakukan proses penilikan dan memberikan S-LK kepada PT MGM.

Koalisi terdiri dari Yayasan Auriga, Yayasan Pusaka, Elsam dan Jerat Papua memantau lapangan sejak September 2016-Oktober 2017.

Di Kabupaten Jayapura,  tim pemantau menemukan dugaan-dugaan pelanggaran oleh perusahaan-perusahaan ini. Kayu-kayu ditebang di hutan di Sarmi, kemudian diolah jadi kayu balok di tempat tebangan. Setelah berbentuk balok, kayu-kayu diangkut melalui rel-rel kayu yang dibangun dari titik tebangan hingga ke jalan raya Jayapura–Sarmi.

Balok-balok ini ditumpuk di kiri kanan jalan raya, sebelum diangkut dengan truk ke perusahaan pengolahan dan penggergajian kayu (sawmill) yang diadukan oleh koalisi.

“Temuannya menggambarkan, hingga kini masih terdapat celah dalam SVLK khusus berkaitan dengan peredaran kayu di industri,” kata Azizah.

Selain pengamatan langsung di lapangan, koalisi juga wawancara menguatkan temuan dugaan pelanggaran itu. Wawancara dilakukan pada kelompok penebang, supir dan kernet truk pengangkut, hingga staf dinas terkait di Pemkab Sarmi.

Seluruh informan ini, katanya, secara terpisah menguatkan temuan, bahwa kayu-kayu tebangan dan diolah jadi balok di hutan akan diangkut ke sawmill-sawmill di Jayapura, Papua.

Oleh mereka, kayu-kayu ini disebut sebagai kayu masyarakat. Dari sawmill-sawmill ini, kayu selanjutnya diangkut dengan kontainer menuju Pelabuhan Jayapura untuk dikirim melalui kapal ke luar Papua.

Ketujuh perusahaan itu, diadukan karena mengantongi S-LK yang pada saat proses sertifikasi dinilai memenuhi seperangkat kriteria dan indikator yang ditetapkan SVLK, seperti legalitas sumber bahan baku.

“Modus cukup sederhana. Karena minim pengawasan, tak segera ditangani. Bahkan kayu yang tak jelas asal usul dapat diperdagangkan seolah legal hingga ke luar negeri,” katanya.

Lokasi tebangan kayu-kayu ini di area bekas HPH. Sepanjang jalan dari Kabupaten Jayapura hingga ke Sarmi, setidaknya 15 tumpukan kayu. Diduga tumpukan kayu ini ditebang dari dalam empat konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) di sepanjang jalur, yakni HPH Bina Balantak Utama, Mondialindo Setya Pratama, Salaki Mandiri Sejahtera, dan Wapoga Mutiara Timber.

Kayu-kayu ini diduga melalui proses tak sah karena tumpukan ditemukan jauh dari blok tebangan rencana kerja tahunan (RKT) 2017 HPH terkait.

“Penebangan oleh pihak lain bahkan oleh HPH itu sendiri tanpa melalui persetujuan RKT. Keterangan dari informan kami penebangan dibiayai oleh sawmill-sawmill di dua kabupaten ini. Kalau HPH kenapa sawmill yang membiayai? Ini tak bisa dibenarkan.”

Perubahan status atau penyamaran asal usul kayu ini kemudian dilegitimasi sebagai kayu hak masyarakat. Sawmill membayar Rp350.000 per kubik kepada masyarakat sebagai pemilik kayu.

Tokoh masyarakat diminta menjelaskan asal usul kayu ketika ada pemeriksaan. Berdasarkan data penerimaan kayu olahan masyarakat dari Sarmi ke industri pengolahan kayu di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura, tujuh perusahaan yang dilaporkan koalisi ini tercatat sebagai penerima kayu olahan masyarakat.

Hal ini, katanya, memperkuat dugaan koalisi soal indikasi penerimaan kayu dengan asal usul disamarkan.

Temuan lain, kayu diedarkan dengan menumpang dokumen ekspor perusahaan lain. Di Jayapura,  hanya ada dua sawmill memegang izin ekspor kayu, yaitu Mansinam Global Mandiri dan Irian Hutama.

Sawmill lain yang tak memiliki izin ekspor mengedarkan kayu dengan menumpang dokumen ekspor pada pemegang izin ekspor.

“Penggantian dokumen dilakukan sesaat sebelum kayu diangkut ke pelabuhan.”

Tak ada administrasi tata usaha kayu terhadap kayu seperti ini pada Sistem Usaha Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) yang kini online (tanpa tatap muka), hingga koalisi menilai proses administrasi yang menyertai kayu-kayu ini, patut diduga melanggar ketentuan perundang-undangan.

Aktivitas penebangan itu,  selain mengancam kelestarian juga keberlangsungan hidup orang Papua, terutama yang menggantungkan hidup pada hasil hutan bukan kayu.

Apalagi, katanya, melihat kubikasi kayu, terutama merbau dari hutan di Sarmi yang ditampung perusahaan cukup signifikan.

“Pantauan lapangan koalisi menemukan, setiap hari setidaknya 50 truk bermuatan kayu balok ke luar dari Sarmi menuju Kabupaten Jayapura,” kata Aziza sembari membandingkan data Dinas Kehutanan mencatat hanya 20 truk mengangkut kayu perhari.

Kondisi ini, katanya, diperburuk pengawasan lapangan oleh petugas kehutanan yang hampir tak berjalan. Dengan peralihan wewenang dari Dinas Kehutanan kabupaten ke provinsi pasca dalam UU Pemerintahan Daerah, seharusnya pengawasan menjadi domain dari Dinas Kehutanan provinsi.

Sayangnya, proses restrukturisasi belum selesai mengakibatkan petugas lapangan yang dulu mengawasi masih berstatus bebas tugas hingga kini. Pengawasan oleh penegak hukum lain juga tak berjalan.

Untuk itu, koalisi menggunakan berbagai jalur sebagai bentuk pengawasan publik yakni pelaporan dengan mekanisme SVLK kepada LVLK dan menyampaikan temuan ke Direktorat Penegakan Hukum dan Pengolahan Hutan Produksi Lestari.

Berdasarkan temuan ini, koalisi mendesak Ayamaru Sertifikasi dan Transtra Permada untuk pengawasan dan mencabut S-LK bagi mereka yang terbukti bersalah.

Koalisi juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dirjen Gakum untuk penyelidikan bersama penegak hukum lain.

Dirjen PHPL juga diminta audit ulang terhadap perusahaan-perusahaan di Papua,  terutama yang diduga menerima kayu ilegal dan menerapkan sanksi tegas.

KLHK, katanya,  harus membuka informasi lebih luas data peredaran kayu termasuk kayu rakyat melalui berbagai kanal sistem informasi yang tersedia. “Pemerintah juga harus segera mengevaluasi proses transisi kewenangan dari kabupaten dan kota ke provinsi terutama bidang kehutanan.”

Yafet Leonard Franky, Direktur Yayasan Pusaka mengatakan, banyak kasus penebangan kayu tanpa izin masyarakat. Dalam pengurusan izin seringkali terjadi ketegangan dan perusahaan membawa aparat keamanan untuk mendapatkan hasil hutan kayu itu. “Mestinya harus tetap ada persetujuan masyarakat,” katanya.

Kompensasi kepada masyarakat, katanya, tak sesuai kerugian dan risiko yang harus mereka alami. Selain harga terlalu murah, pengakuan asal usul kayu juga rentan menjerat masyarakat dalam tindak pidana,  misal karena memasuki konsesi perusahaan, menebang kayu ilegal, dan memotong kayu.

“Kayu merbau dibayar Rp100.000 per kubik. Kalau mereka merawat sendiri bisa jutaan. Secara ekologi juga tak adil dan seimbang.”

Dia menilai, pemerintah seakan tak punya kekuatan mengatasi baik penebangan di luar kawasan berizin, maupun penebangan legal namun proses tak benar. Dia contohkan, kayu dari daerah aliran sungai atau di tempat-tempat penting masyarakat.

“SVLK diberikan hanya berdasarkan persyaratan dokumen. Kompetensi lembaga pemberi sertifikat juga dipertanyakan. Lembaga ini perlu diawasi juga.”

Laporan koalisi kepada LVLK, katanya,  mesti ditindaklanjuti dalam tujuh hari kerja. Setelah tujuh hari,  lembaga LVLK harus memberikan tanggapan, membentuk tim adhoc, penelusuran lapangan dan mengambil kesimpulan.

“Proses ini paling lama dilakukan 20 hari, jika tidak ada banding dari perusahaan pemegang SVLK, pencabutan sertifikat sebagai sanksi dapat dijatuhkan.”

Dalam penelusuran lapangan, katanya, jika ada tindak pidana, aparat penegak hukum dapat memproses pelanggaran tanpa perlu menunggu proses administrasi selesai.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,