Masyarakat Mentawai Tolak Perkebunan Kayu, Bupati: Izin HTI Bakal Sulitkan Akses Warga

 

Dari warga sampai Bupati Mentawai, tak setuju ada hutan tanaman industri di Siberut, tetapi mengapa izin perusahaan masih juga keluar di level provinsi dan pusat?  Sedangkan, anggota DPR mengusulkan luasan izin kepada perusahaan HTI itu lebih baik jadikan hutan adat.

 

Usia lelaki itu sudah kepala tujuh, tetapi suara begitu lantang dan bersemangat bicara penolakan pada perusahaan perkebunan kayu (hutan tanaman industri/HTI) yang mau masuk ke wilayah mereka. Dia datang ke Jakarta, untuk menyampaikan keluhan ini. Penolakan sudah warga lakukan di daerah. Rapinus, begitu nama tokoh adat dari Mentawai ini.

Dalam bahasa daerah, dibantu seorang penerjemah, Rupinus menyatakan ihlwal penolakan HTI PT Biomass Andalah Energi (BAE) di hutan Siberut, Mentawai, Sumatera Barat. Dia khawatir, kalau HTI beroperasi kelestarian alam bakal terancam.

“Kami datang ke Jakarta menolak HTI di Siberut. HTI ditolak keras karena tanah kami dari nenek moyang Suku Sabulukungan, untuk penghidupan kami, bukan HTI,” katanya dalam temu media, beberapa pekan lalu.

Pemerintah, katanya,  merampas hak masyarakat adat karena memasukkan begitu saja hutan-hutan adat dalam konsesi perusahaan.

Baca juga: Sudah Batal, BKPM Keluarkan Lagi Izin HTI, Mahasiswa Mentawai Protes

Yudas Sabaggalet, Bupati Kepulauan Mentawai mengatakan, selama ini kebijakan pemanfaatan hutan di Mentawai—bagi izin kepada korporasi– membuat hak dan akses masyarakat terhadap hutan adat berkurang.

Baca juga: Eksploitasi Hutan Picu Beragam Masalah, Koalisi Tolak Perusahaan HTI Masuk Mentawai

Dia sendiri sebagai kepala daerah terhalang dalam menyediakan layanan-layanan pembangunan dasar bagi warga di kawasan hutan. Dengan adanya HTI, katanya, bakal makin menyulitkan akses masyarakat dan menghilangkan kesempatan pemerintah daerah memberikan layanan.

“Kebijakan pembangunan Mentawai menganut sistem keseimbangan antara ekologi, sosial dan ekonomi. Keseimbangan itu selalu jadi pertimbangan. Pemda Mentawai telah menetapkan sektor pariwisata sebagai penggerak utama pembangunan dan ekonomi daerah, termasuk melestarikan adat dan budaya serta lingkungan, bukan HTI.”

 

Jadikan hutan adat

Dukungan datang dari Rieke Diah Pitaloka, anggota Komisi VI DPR-RI. Dia mengatakan, yang terjadi di hutan Mentawai harus jadi bahan instrospeksi semua pihak. Dia mendukung,  penuh perjuangan rakyat Mentawai mempertahankan hutan Siberut.

“Kita tak anti investasi, tidak anti asing. Tentu saja apa yang sudah diperjuangkan pahlawan kita akan tetap menjadi spirit bersama. “

Komisi  VI membidangi industri perdagangan, katanya, tentu bermitra dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dia akan mempertanyakan hal ini kepada BKPM saat rapat komisi, sekaligus mendesak segera mencabut izin yang terlanjur diberikan.

Rieke menyarankan, wilayah 20.030 hektar yang diberikan kepada BAE itu jadi hutan adat. “Ini penting untuk mempercepat program pemerintahan Jokowi terkait perhutanan sosial yang ditargetkan 12,7 juta hektar.”

Dia mendesak, pemerintah segera melakukan rehabilitasi terhadap hutan yang rusak dan menjadikan hutan Siberut pusat keragaman hayati dan kearifan lokal dalam memperkuat kultur dan identitas masyarakat adat.

Rieke menduga, Presiden belum mendapatkan informasi yang baik mengenai ini. Jadi, dia mendorong pemerintah pusat segera bertindak dan membatalkan izin yang sudah keluar.

“Apa yang kami lakukan justru mendukung program Presiden. Bahwa program pemerintah 12,7 juta hektar hutan termasuk hutan adat.”

Hutan Siberut miliki ada 896 spesies tumbuhan berkayu, 31 spesies mamalia, 134  spesies burung, empat spesies endemik terancam punah yaitu siamang mentawai, lutung, monyet mentawai dan beruk.  “Ini harus diselamatkan.”

Sejak 1981, katanya,  hutan Siberut sudah jadi cagar biosfer oleh UNESCO. Artinya, hutan Siberut paru-paru dunia dan wajib bagi pemerintah menjaganya.

Menurut dia, hutan Siberut yang hancur karena HPH masa lalu harus segera dipulihkan. Bukan malah menambah kerusakan dengan menerbitkan izin buat HTI.

 

Rawan banjir. Dusun Sirilanggai, Siberut Utara. Foto: Bambang Sagurung/ Mongabay Indonesia

 

Khawatir bencana makin parah

Penolakan juga datang dari Forum Mahasiswa Mentawai (FORMMA) Sumbar yang menyatakan penolakan sama. Daudi Silvanus Satoko dari FORMMA mengatakan, sekarang saja di sekitar Siberut kerap terjadi banjir. Dia khawatir, kalau hutan jadi HTI, banjir akan makin parah.

“Kami sedang berduka karena di areal rencana HTI sedang banjir. Terakhir info kami dapatkan ketinggian air 1,5 meter. Kayu belum ditebang, HTI belum masuk sudah banjir duluan. Apalagi jika HTI masuk?”

Eksploitasi hutan Mentawai oleh perusahaan-perusahaan besar, katanya, sejak 1970. Selama puluhan tahun eksploitasi itu bukan bikin masyarakat sejahtera, malah sebaliknya, Mentawai tetap sebagai wilayah miskin dan terbelakang.

“Kami kecewa dengan keputusan gubernur yang menyatakan untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Tak semua masyarakat Mentawai setuju HTI. Apabila,  ada masyarakat Mentawai mengatasnamakan suku, itu bukan keputusan suku.”

Dia bilang, penolakan ini bukan berarti orang Mentawai menolak investasi. “Tidak begitu.  Kami menolak ketika hutan dijarah.”

Izin lingkungan kepada BAE sudah dikeluarkan Gubernur Sumbar untuk area seluas 19.876,59 hektar. Izin keluar setelah BKPM mengeluarkan surat izin persetujuan prinsip nomor 19/1/S-IUPHHK-HTI/PNBN/2017 kepasa BAE seluas 20.030 hektar.

“Kami meminta pemerintah pusat tak menerbitkan izin HTI. Mari kita lihat Mentawai secara utuh, jangan melihat hanya di atas kertas. Tak ada sejarah HTI masuk, lalu masyarakat Mentawai sejahtera.” Belum lagi bicara konflik. Kala rencana HTI mengemuka, katanya, gesekan antarmasyarakat mulai terjadi hingga rawan konflik sosial.

Mereka telah menerima 68 surat penolakan HTI dari masyarakat Pulau Siberut.“Lahan akan jadi HTI itu produktif.  Banyak kayu. Masyarakat berladang. Kalau HTI masuk, land clearing, mahasiswa Mentawai biayanya di mana? Kami hidup dimana lagi?” katanya.

Rifai Lubis, Direktur  Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, rencana HTI masuk pukulan sekian kali bagi ekosistem hutan Mentawai. Sejak 1970-an, wilayah ini sudah jadi incaran eksploitasi. Kemunculan taman nasional, katanya,  membuat beberapa perusahaan tutup.

“Setelah itu, kembali perusahaan-perusahaan mengincar hutan di Mentawai. Niatnya, kalau kita cermati lebih jauh hanya untuk mengambil kayu.”

Dia ragu kalau alasan investor masuk ingin membangun Mentawai. Janji-janji manis, katanya, hanya iming-iming supaya masyarakat setuju kehadiran mereka.

Rifai sebutkan, sejak 1970,  meskipun eksplotasi berkali-kali oleh berbagai perusahaan, Mentawai masih masuk kategori wilayah tertinggal di Indonesia. “Ini bukti pendekatan pembangunan Mantawai berbasis sumber daya alam tak tepat. Semestinya sekarang tidak dilanjutkan.”

Dia mengatakan, 51% dari 245.011,41 hektar hutan produksi di Kepulauan Mentawai telah menjadi hak pengusahaan hutan (HPH). Kala BAE bangun HTI, akan makin mempertegas ketidakadilan dan ketimpangan pemanfaataan hutan. Luas hutan di Kepulauan Mentawai 491.000 hektar.

“Ketimpangan ini akan berakibat ke kemiskinan dan akibat-akibat lain. Di pemerintah provinsi kita sudah habis harapan.  Jadi kita meminta pemerintah pusat arif menerima dan merespon aspirasi masyarakat supaya tanah adat tak diberikan lagi jadi konsesi perusahaan.”  Menurut dia, pemerintah pusat harus segera membantu pemkab menetapkan wilayah itu sebagai tanah adat. Wilayah ini,  sebenarnya sudah diajukan sebagai tanah adat di peta indikatif perhutanan sosial yang sekarang finalisasi.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan Hukum dan Lingkungan Walhi mengatakan, dengan penerbitan izin HTI di hutan Siberut, membuktikan pemerintah tak belajar dari kesalahan. “Pembukaan ekosistem gambut di Pantai Timur Sumatera dan Kalimantan mencapai 7 juta hektar itu menimbulkan dampak kebakaran masif sampai tahun ini,” katanya.

Dampak buruknya, kata Zenzi, melampaui kemampuan pemerintah mengendalikan. “Sekarang mau ditambah risiko di pantai barat Sumatera?”

Zenzi mengatakan, penerbitan izin HTI ini tak lepas dari perjanjian antara Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tiga bulan sebelum Joko WIdodo dilantik jadi presiden.

Kala ini,  kedua Kementerian ini mendorong kebijakan energi dari kayu dan menargetkan satu juta hektar hutan Indonesia jadi HTI berbasis energi. Padahal, katanya, kalau ditelusuri lebih lanjut, upaya ini hanya akal-akalan para pengusaha guna memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku kertas mereka. “Kami menelusuri, selama 10 tahun terakhir, dari 10 juta hektar HTI, realisasi hanya 46%. Ada 54% kekurangan bahan baku di perusahaan besar pulp and papper.”

Kekurangan bahan baku ini dilegitimasi dengan mencari bahan bakar energi.  Kayu-kayu ini tidak akan dijadikan suplay energi tapi akan jadi bahan baku pulp and paper di Indonesia.”

Dia menduga,  ada upaya merampok keuangan negara dengan skema kerjasama antara Kementerian Keuangan dan KESDM untuk memberikan kebijakan fiskal dari program HTI energi. Dia meminta,  izin HTI di Mentawai dicabut. “Izin-izin yang ada review dan dicabut juga.”

 

Kondisi hutan masih bagus di Siberut Utara. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,