Foto: Merasakan Geliat Iban di Rumah Panjang Sungai Utik

Pukul enam tepat, ketukan halus di balik pintu membangunkan saya. Maryetha Samay ada di depan pintu, dia tuan rumah bilik [rumah] nomor 19 tempat saya menginap. Setengah terkantuk, saya beranjak dari kasur dan bersiap diri mengikuti ajakan pemilik bilik untuk memetik sayur dan susur sungai di hutan adat.

Sambil berjalan menuju hutan dia ramai bercerita mengenai sejarah hutan adat Sungai Utik. “Ketika penebangan kayu marak di tahun 1980-an, Sungai Utik gak ikutan. Kami jaga hutan, karena mau kasih warisan buat anak cucu” kenangnya. “Masyarakat Sungai Utik menolak perusahaan kayu, meski mereka dapat izin dari pemerintah.”

Sungai Utik memang unik. Desa ini terletak di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Desa ini bernuansa tradisional, masih memiliki rumah betang (rumah panjang) dan dikelilingi oleh hutan adat.

Maryetha Samay atau dipanggil Ibu Samay adalah ketua kelompok kerajinan rumah betang Sungai Utik, juga guru Sekolah Dasar. “Kami menoreh karet dan berladang. Khusus ibu-ibu, kadang kami menyambi dengan menenun atau mengayam di malam hari” jelasnya.

***

Saat pemerintah kini gencar mendorong hutan adat sebagai bagian dari Perhutanan Sosial, Sungai Utik sudah mendeklarasikan wilayah hutannya menjadi hutan adat Iban Sungai Utik, dengan gagasan “Hutan Adat Bukan Hutan Negara” sesuai keputusan MK Nomor 35/2012. Hutan adat Sungai Utik menjadi yang pertama memperoleh sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia yang pada tahun 2012. Desa ini juga memperoleh penghargaan desa pelestari hutan adat oleh MS Kaban, Menteri Kehutanan waktu itu.

Kearifan lokal dan ritual adat Dayak Iban terlihat dalam hubungan antara manusia dengan alam. Untuk mengelola hutan adat seluas 9.452 hektar, pengelolaannya terbagi menjadi pemukiman, hutan lindung adat, hutan produksi dan hutan cadangan.

 

Ibu Samay bersama-sama ibu lainnya secara rutin memetik sayur di ladang, menyeberangi sungai. Foto: Yani Saloh/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat hidup dengan mengandalkan air yang mengalir di Sungai Utik. Tanpa adanya hutan jernihnya air sungai akan hilang. Demikian juga habitat berbagai burung endemik seperti rangkong. Bagi masyarakat, hutan merupakan “supermarket tanpa bayar”, dimana masyarakat secara bebas dapat memetik sayur tanpa bayar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sumber ketahanan pangan.

Adat Iban menetapkan pembatasan penebangan kayu dan hanya diperuntukan untuk membangun rumah. Satu kepala keluarga maksimal boleh menebang 30 batang kayu dalam satu tahun di hutan produksi untuk keperluan membangun rumah. Lebih dari itu akan terkena sanksi adat. Demikian pula halnya dengan menjaga fauna, seperti burung. Membunuh burung murai akan terkena sanksi adat.

“Suara murai merupakan penanda, kapan kami bisa mulai membangun rumah atau mulai berladang, supaya terhindar dari bala dan ladang kami subur,” jelas bu Samay. Apabila suara burung murai belum terdengar, masyarakat belum boleh memulai berladang atau membangun rumah.

Rumah betang Sungai Utik pun masih berfungsi, yang dihuni mayoritas masyarakat suku Dayak Iban. Rumah betang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu berdasarkan SK Bupati Kapuas Hulu Nomor 212/Tahun 2012.

“Saat ini bilik-bilik sedang di renovasi, supaya kami bisa menerima tamu untuk tinggal, ini  bisa jadi penghasilan tambahan.” Ibu Samay menjelaskan.  Saat ini penghasilan utama masyarakat jelasnya adalah menjual karet, tengkawang, dan gaharu dari hutan, sesekali dari kunjungan tamu mereka berjualan kerajinan tangan.

 

Membuat tato secara tradisional. Suku Dayak Iban terkenal sebagai pembuat tato, terutama dengan motif bunga terung. Foto: Yani Saloh/Mongabay Indonesia

 

Rumah betang Sungai Utik merupakan satu contoh kebudayaan hutan hujan tropis yang tersisa. Menyadari ini, sekarang pembenahan rumah betang sedang dilakukan. Diharapkan dengan keunikannya, rumah panjang dapat didorong untuk program ekowisata, dengan tetap tunduk pada peraturan perundangan tentang cagar budaya.

Program ini saat ini dilakukan oleh Konsorsium Pemberdayaan Ekonomi Hijau Kalimantan Barat (KUJAU Kalbar) yang dimotori CU Keling Kumang, yang mendapat sokongan dari dana hibah dari Yayasan Kehati/MCA-Indonesia. Proyek ini rencananya akan diresmikan akhir tahun 2017.

“Kami tengah melakukan pembenahan 28 bilik di rumah betang dan 18 di rumah penduduk, berikut toilet dan 3 WC umum” jelas Hilarius Gimawan, koordinator proyek KUJAU Kalbar. Kaum perempuan khususnya, bakal menjadi tumpuan keberhasilan program ini.

Secara berkelompok, kaum perempuan diajarkan mengelola rumah betang sebagai tujuan wisata budaya, mengatur keuangan, dan penggunaan rumah betang berbasis kearifan lokal. Untuk berjalan di hutan, sedang dipersiapkan trek yang akan ditawarkan kepada pengunjung.

“Kami ingin membangun rumah pengamatan burung rangkong di atas pohon” ujar Ibu Igoh bendahara kelompok menambahkan.

Atraksi ekowisata lain adalah memetik sayur di ladang, susur sungai dengan ban, kuliner, hingga seni seperti mengayam, menenun, musik, tarian, seni tato, ukiran dan melihat pusaka benda kuno suku Dayak Iban.

 

 

Menyambut tamu dengan minum tuak, minuman tradisional suku Dayak yang terbuat dari nira pohon enau atau nipah yang tumbuh di sekitar hutan. Foto: Yani Saloh/Mongabay Indonesia.

 

Apai Janggut sedang membaca. Apai adalah pimpinan di rumah betang Sungai Utik, tokoh penyelamat hutan adat Sungai Utik. Foto: Yani Saloh/Mongabay Indonesia

 

Sungai Utik juga kaya dengan beragam pernik-pernik tradisional. Foto: Yani Saloh/Mongabay Indonesia

 

Tarian asli suku Iban yang diajarkan secara turun temurun oleh leluhurnya. Foto: Yani Saloh/Mongabay Indonesia.

 

Menenun, salah satu kegiatan kaum perempuan di Sungai Utik. Foto: Yani Saloh/Mongabay Indonesia

 

* Yani Saloh, penulis adalah konsultan independen untuk pengelolaan hutan dan sosial budaya masyarakat.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,