Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah merampungkan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Sulawesi Selatan pada Selasa (05/12/2017) dan siap diajukan ke DPRD untuk dibahas pada Triwulan I tahun 2018 mendatang.
Akan tetapi Pemprov Sulsel dinilai tergesa-gesa mempercepat pengesahannya tanpa ada pelibatan publik secara luas dalam prosesnya.
baca : Ternyata Banyak Masalah Dalam Raperda Zonasi Pesisir di Sulsel. Apa Saja?
Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forest, kepada Mongabay, Selasa (12/12/2017), menjelaskan bahwa terdapat 3 dokumen terkait dengan zonasi wilayah pesisir Sulsel yang sedang digenjot pembahasan dan penetapannya oleh tim Pokja RZWP3K, yaitu dokumen RZWP3K, Rancangan Perda RZWP3K dan KLHS RZWP3K. Ketiganya saling terkait dan melengkapi dan telah dirampungkan draftnya dan mulai didorong di pembahasan DPRD.
Yusran menilai nuansa percepatan penetapan RZWP3K ini jelas terlihat. Ada dilema untuk segera menetapkan RZWP3K agar ruang pesisir dan laut khususnya 0-12 mil punya pengaturan yang jelas mengingat kekosongan zonasi di laut menyebabkan rujukan pengaturan menjadi sektoral, seperti tambang pasir laut yang diklaim pemprov telah sesuai karena menggunakan aturan ESDM.
“Padahal UU No.27 tahun 2007 (tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil) dan UU No.1 tahun 2014 (tentang perubahan UU No.27/2007), khususnya pasal 16 jelas menyebutkan setiap pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut wajib memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan, bukan izin prinsip seperti yang dikeluarkan kepada 6 perusahaan yang menambang sekarang. Tentu ini harus dipatuhi karena amanat UU. Di sisi lain dokumen RZWP3K harus juga matang dan betul mendorong keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Yusran.
baca : Sarat Masalah, Aktivis Minta Pembahasan RZWP3K Sulsel Ditunda
Yusran menambahkan bahwa sebelumnya ada dua isu penting yang termuat di RZWP3K yang membutuhkan perbaikan. Pertama, alokasi kawasan konservasi yang hanya 2,7% dari total alokasi ruang yang ada. Proporsi yang rendah ini dianggap beragam kalangan aktivis, yang dianggap menunjukkan nuansa RZWP3K yang eksploitatif.
Kedua, dimasukkannya peruntukan ruang untuk tambang pasir laut seluas 47.957,32 ha. Ini terbagi atas 3 blok, yaitu blok Spermonde di sekitar perairan Takalar, Blok Laut Flores di perairan Jeneponto dan Bantaeng serta Blok Palopo di perairan Malangke dan Malangke Barat, Luwu Utara.
Pada saat konsultasi KLHS RZWP3K pertanggal 5 Desember 2017, isu pertama terkait luas kawasan konservasi telah diperbaiki oleh tim Pokja RZWP3K.
“Saat itu, saya menyampaikan apresiasi atas diakomodirnya aspirasi publik. Sebelumnya kawasan konservasi hanya 2,3% dari total alokasi ruang berubah menjadi 11% atau seluas 9.715,61 km2. Ini disumbangkan oleh dimasukkannya TN Takabonerate dan TWAL Kapoposang di dalam kawasan ini,” jelas Yusran.
Polemik Tambang Pasir Laut
Isu kedua mengenai tambang pasir laut masih penuh perdebatan, di mana terdapat perubahan alokasi ruang untuk tambang pasir laut. Sebelumnya dialokasikan seluas 47.957, 32 hektare, berubah pada draft akhir RZWP3K menjadi seluas 26.262,32 hektare.
“Luasan yang tentu masih besar mengingat dampaknya yang juga luar biasa. Terdapat pengurangan luasan alokasi ruang untuk tambang pasir laut dan digesernya sub zona ini ke wilayah 6 mil laut dari titik dasar yang sebelumnya di 2-4 mil laut.”
baca : Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris
Menurut Yusran, ada dua hal yang bisa menjadi pilihan terkait “kerinduan” akan RZWP3K dan fenomena tambang pasir laut yang mengkhawatirkan agar dilema bisa diatasi dan memegang prinsip kehati-hatian.
Pertama, tim Pokja dan penyusun melakukan kajian yang diminta oleh KKP terkait deposit, estimasi dampak dan modelimg segera sebagai dasar penetapan sub zona pasir laut. Juga kesepakatan para pihak tentang alokasi ruang ini.
“Partisipasi publik dan para pihak haruslah dibuka selebar-lebarnya. Kemudian melakukan revisi sub zona ini. Tentu akan butuh waktu untuk mengkaji ini, tapi memang penting alokasi ruang tambang ditetapkan hati-hati apalagi dalam Peta Alokasi ruang draft RZWP3K, sub zona ini beririsan dengan zona perikanan pelagis dan zona perikanan demersal yang notabene adalah ruang kelola masyarakat,” tambahnya.
Pilihan kedua, menghilangkan semua subzona ini dalam dokumen RZWP3K karena alasan kajian yang dimintakan Dirjen PRL KKP belum optimal disiapkan. Tentu ruang revisi RZWP3K dimungkinkan setiap 5 tahun sekali atau malah bisa dilakukan review setiap tahunnya jika ini sudah matang.
“Ini mengedepankan prinsip kehati-hatian sehingga dilema 6 perusahaan yang menambamg sekarang pun bisa tuntas dengan keluarnya RZWP3K. Toh, lokasi pertambangan pasir laut yang sekarang juga dalam kacamata draft RZWP3K tidak masuk dalam sub zona yang ditetapkan. Artinya tidak sesuai peruntukannya.”
baca : KKP Surati Gubernur Sulsel, Minta Tambang Pasir di Takalar Dihentikan
Tak Melibatkan Publik Secara Luas
Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, menyatakan konsultasi publik RZWP3K yang dilaksanakan oleh Pemprov Sulsel ini belum melibatkan publik secara lebih luas. Padahal regulasi ini sangat penting dan mengatur ruang dan hajat hidup orang banyak, khusus berimplikasi secara langsung pada masyarakat pesisir dan pulau kecil.
“Pada konsultasi publik KLHS RZWP3K yang digelar oleh Pemprov Sulsel pada 5 Desember lalu justru lebih banyak menghadirkan pihak pemrakarsa reklamasi dan pengusaha pertambangan pasir dibanding dengan wakil masyarakat pesisir dan organisasi masyarakat sipil,” ujarnya.
Menurutnya, hal secara nyata nampak dan terkesan kuat kalau Pemprov Sulsel lebih memihak kepentingan korporasi dan proyek reklamasi serta tambang pasir laut yang bermasalah dan kontroversial.
Asmar menambahkan bahwa dalam draft Perda RZWP3K Sulsel sangat terlihat bahwa pihak penyusun dan Pemprov berupaya memasukkan alokasi ruang untuk kawasan pemanfaatan umum pertambangan pasir laut yang cukup besar yakni total luasan 26.262,54 Ha. Wilayah ini mencakup lokasi pertambangan pasir laut perairan Spermonde sekitar perairan Makassar dan Takalar, perairan laut Flores sekitar perairan Jeneponto Bantaeng, serta perairan Teluk Bone Sekitar perairan Luwu Utara
Alokasi ruang proyek reklamasi pesisir pada kawasan pemanfaatan umum pengembangan zona jasa dan perdagangan juga begitu banyak diakomodir dalam rencana zonasi. Seperti proyek pusat bisnis Center Point of Indonesia (CPI), kawasan bisnis global dan proyek Untia di Makassar serta Water Front City Bulukumba.
baca : Kontroversi di Balik Reklamasi Pantai Makassar, Antara Kepentingan Rakyat dan Pengembang
“Padahal sebelumnya organisasi masyarakat sipil dan masyarakat pesisir khususnya yang berasal dari Takalar telah menyampaikan penolakan atas alokasi ruang tambang pasir laut di wilayah mereka. WALHI Sulsel dan Aliansi Selamatkan Pesisir juga telah meminta Zero Zone untuk wilayah tambang pasir laut dan reklamasi dipesisir di Sulsel.”
Menurut Asmar, seharusnya pembahasan draft perda RZWP3K dilakukan dengan partisipatif, melibatkan masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat pesisir dan LSM. Mengakomodir usulan dan masukan masyarakat.
“Tidak malah sebaliknya mengakomodir kepentingan korporasi dan penguasaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil untuk bisnis dan properti.”
Ranperda RZWP3K juga seharusnya menjadi payung hukum pengaturan ruang pesisir dan pulau kecil yang adil dan berkelanjutan. Sebagaimana halnya RTRW pada wilayah daratan. Ranperda RZWP3K yang dibuat jangan sampai menambah beban dan persoalan pesisir serta mengamodir proyek-proyek bermasalah seperti reklamasi dan tambang pasir laut.
Dikatakan Asmar bahwa Rencana Zonasi selain mengatur ruang pesisir juga harusnya mampu melindungi wilayah-wilayah kelola rakyat serta menjamin perlindungan lingkungan hidup khususnya di wilayah pesisir dan pulau kecil.
“Rancangan perda zonasi ini nantinya akan dibahas di legislatif, tentunya kita berharap bahwa ketetapan alokasi ruang wilayah pesisir dan pulau dapat mengakomodir masukan masyarakat dan menetapkan Zero Zone untuk tambang pasir laut dan proyek reklamasi yang mengancam keberlangsungan kehidupan pesisir secara masif di Sulawesi Selatan.”