Mengurai Tekanan Limbah Laut di Kawasan Taman Nasional Komodo

Sophie, instruktur di Dive Komodo, suatu perusahaan operator wisata, sedang memberikan briefing pada sejumlah turis yang akan menyelam di Taman Nasional (TN) Komodo. Ia mengenalkan awak kapal, fasilitas yang ada seperti air isi ulang, lokasi penyelaman, dan bagaimana mencegah perusakan lingkungannya.

Ia menginformasikan taman nasional ini adalah kawasan konservasi perairan dan diakui sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. “Jangan ambil apa pun, jangan sentuh koral karena sangat lama tumbuh,” ingat perempuan ini. Tak hanya sebagai World Heritage Site, kawasan laut TN Komodo juga mendapat diakui oleh Man and Nature Biosphere Reserve dan The New Seven Wonders of Nature. Keseluruhan wilayahnya layak untuk dikonservasi.

Untuk mengurangi tekanan atas kerusakan kawasan, dibentuklah Signing Blue, sebuah kesepakatan praktik wisata alam berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sejumlah operator wisata telah bergabung seperti Dive Komodo, Divine Diving dan Flores XP. Namun, ada lebih banyak lagi pengusaha lain yang belum terlibat.

Baca juga: Antara Konservasi dan Pengembangan Wisata di Komodo

Susi Yanti Kamil, staf WWF-Indonesia di Labuan Bajo menyebut para pengusaha yang terlibat dalam program Signing Blue sudah berkomitmen dalam upaya pelestarian lingkungan. Juga menjalankan praktik baik dan manajemen kapal untuk mengurangi sampah. Misalnya menggunakan air isi ulang dan pemilahan  serta pengumpulan sampah organik dan anorganik.

Pihaknya juga mendorong pengelolaan sampah berbasis komunitas dengan membuat sejumlah pelatihan di kelompok-kelompok warga. “Sampah yang terkumpul di kapal dibawa ke darat untuk dipilah,” katanya. Jika dibiarkan menumpuk di pulau sangat mudah terbawa ke laut saat air pasang. Berdasarkan suatu kajian yang dilakukan Pemda Manggarai Barat bersama Balai TN Komodo di tahun 2016, dalam sehari sampah yang diproduksi  di kawasan taman nasional dan Labuan Bajo sekitar 13 ton.

Terbanyak sumbernya di perumahan, kemudian restoran, dan pinggir jalan. Saat ini sampah organik lebih banyak, sehingga diusulkan pemilahan sampah dilakukan dari sumbernya, kemudian baru diolah oleh unit-unit TPS 3 R (reduce, recycle, reuse), lalu sisanya baru masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Penyusunan skenario jangka pendek dan panjang mengenai kebutuhan sarana, biaya investasi, dan volume sampah yang bisa diolah pun harus dilakukan.

Martha Muslin, manajer Wicked Diving yang giat mengampanyekan wisata berkelanjutan juga melihat persoalan sampah ini sangat krusial jika tak ditangani. Dalam suatu event, dia bersama lebih dari 100 penyelam dari berbagai negara menyisir perairan di sejumlah pulau padat aktivitas dalam kampanye Dive for Debris untuk mengangkut puluhan karung sampah.

Baca juga: Wawancara Marta Muslin, Turisme Labuan Bajo Harus Buat Warga Lokal Sejahtera

 

Padatnya parkir kapal-kapal yang akan membawa turis berkeliling di TN Komodo. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Tekanan Ekosistem Akibat Aktivitas Wisata

Fabi, seorang dive master mengatakan aktivitas laut di kawasan TN Komodo makin tinggi karena jumlah pengunjung bertambah. Saat ini, diperkirakan lebih dari 107 ribu pengunjung per tahun yang datang ke wilayah ini.

Tak hanya melihat komodo di darat, juga banyak wisatawan yang ingin menemui hiu dan pari manta di laut. “Mungkin populasi manta [sekarang] berkurang, dulu banyak sekali bisa kita lihat setiap hari,” katanya. Sebuah area kadang padat. Di permukaan laut aktivitas snorkeling dan di bawah diving. Bisa jadi kepadatan aktivitas laut ini mengurangi kenyamanan satwa.

Makin banyak turis, pun makin banyak sampah. Khususnya dengan perkembangan kapal rekreasi atau liveaboard yang marak dalam beberapa tahun terakhir ini. Wisata living on board atau makan tidur dalam kapal di area ini membuat resiko polusi limbah di laut lebih tinggi.

Berwisata dengan kapal rekreasi seringkali menyasar untuk bepergian ke daerah-daerah yang masih terpencil, terproteksi, jauh dari pantauan pemerintah, minim fasilitas dan infrastruktur. Padahal secara ekologis, lokasi yang dituju kemungkinan penting bagi satwa maupun ekosistem tertentu.

Data Sustainable Travel Internasional 2010, menyebut dalam konteks transportasi laut untuk tujuan rekreasi, sejumlah penelitian menunjukkan dampak lingkungan.

Berwisata dengan kapal rekreasi berarti memindahkan segala jenis kegiatan wisata yang biasa dilakukan di darat menjadi di atas air. Untuk itu tata kelola wisata kapal rekreasi yang baik tak hanya penting untuk memastikan keselamatan kegiatan wisata itu sendiri, tetapi juga untuk menjaga kelestarian dan keasrian daerah tujuan.

Misalnya, polusi akibat sisa minyak mesin, sampah yang diproduksi oleh kru atau penumpang kapal, limbah air yang bersumber dari penggunaan di kapal dan mengandung detergen, serta polusi udara akibat suara mesin.

 

Staf kapal dari perusahaan Dive Komodo sedang menjelaskan prosedur penyelaman dan pengenalan singkat world heritage Taman Nasional Komodo. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Lalu, bagaimana wisata bisa berkontribusi pada pengurangan sampah agar tak mencemari laut?

Best Environmental Equitable Practices (BEEP) atau Seri Panduan Praktis Operasional Kapal Rekreasi yang Bertanggung Jawab telah disusun oleh WWF-Indonesia, yang didukung Jaringan Kapal Rekreasi Indonesia (JANGKAR) dan akademisi.

Sejumlah praktik baik yang dianjurkan panduan ini adalah menyediakan tempat pembuangan sampah yang cukup untuk sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), organik, dan non organik secara terpisah sehingga memungkinan untuk disimpan hingga kapal kembali ke pelabuhan.

Bagi kapal yang berukuran 100 GT atau lebih, minimal wajib dilengkapi dengan alat pencegahan pencemaran minyak yang meliputi peralatan pemisah air dan minyak (oily water separator), tangki penampungan minyak kotor (sludge tank), dan standar sambungan pembuangan (standard discharge connection).

Untuk kapal dengan jumlah pelayar 15 orang sampai dengan kapal berukuran 100 GT harus memiliki peralatan pencegahan pencemaran oleh kotoran yang meliputi alat pengolah kotoran, alat penghancur kotoran, dan/atau tangki penampungan kotoran, serta sambungan pembuangan standar.

Di darat, pembuangan limbah dilakukan melalui pompa/sambungan pembuangan di pelabuhan-pelabuhan yang akan diteruskan ke fasilitas pengolahan limbah di daratan. Bila fasilitas pompa/ sambungan pembuangan tidak tersedia, ada beberapa pembersih kimia (biodegradable) atau alat mekanis yang bisa digunakan untuk mengurangi limbah padat dan berbahaya sebelum dibuang.

Panduan untuk turis pada prinsipnya adalah mengedukasi agar turis tidak membuang sampah di laut, termasuk sampah-sampah kecil seperti puntung rokok. Turis diminta untuk mengelola sampah mereka selama perjalanan berlangsung.

Menurut data The United Nations of Environment (UNEP) tahun 2001, kebanyakan wisatawan yang berkunjung di negara-negara berkembang menggunakan air sepuluh kali lebih banyak dibandingkan masyarakat lokal. Pola ini tentu tidak efisien di dalam sebuah pelayaran, terlebih jika kapal sedang bersandar di daerah-daerah yang sulit air bersih.

Untuk galon air minum, turis harus melakukan pengisian ulang, sehingga tidak perlu membawa kemasan untuk mengurangi sampah. Pengelolaan air bersih di kapal pun harus diperhatikan oleh awak kapal.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,