Mangrove yang Tak Lagi Melindungi Masyarakat Pesisir Karawang

 

 

Amil Kliwon menatap kosong debur ombak di Pantai Pisangan. Lelaki 75 tahun ini adalah putra asli Kampung Pisangan, Desa Cemara Jaya, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, pesisir utara Jawa Barat. Hidup berdekatan dengan laut, ternyata tidak menarik minta Amil menjadi seorang nelayan. Justru, ia menekuni hidup sebagai petani pesisir, pilihan yang sebenarnya tidak bisa membuatnya leluasa menanam.

Amil membuka kembali kenangannya belasan tahun lalu, ketika kebun yang digarapnya itu masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga. “Kebun saya dulu, persis di belakang rumah. Sekarang, hilang, terkikis abrasi, bersamaan dengan rumah saya,” kata kakek lima cucu ini.

Dahulu, bibir pantai serasa jauh dijangkau. Harus melewati kebun dan hutan bakau (mangrove). Tapi kini, semakin dekat. Batas laut dan darat hanya 20 meter. Kondisi yang kian mencekam bila banjir rob menerjang, saat air laut pasang. “Wajar bila saya dan warga risau, karena tak ada tanggul penahan,” tuturnya.

 

Baca: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

 

Masyarakat persisir di barat Karawang, memang harus menerima kenyataan pahit. Akibat menciutnya hutan mangrove, lingkungan hidup mereka terkena dampak. Terutama abrasi. Padahal, kawasan mangrove pernah tumbuh rimbun disepanjang pantai Pisangan ini. Banyak keuntungan rimbunnya mangrove yang mereka rasakan, bukan hanya sebagai kayu bakar, tapi juga tangkapan ikan bagi nelayan pinggiran.

“Tangkapan ikan kian berkurang. Rasanya, ikan semakin sedikit,” ujar Agus, nelayan lokal.

Agus memang lebih banyak mencari ikan di pinggiran pantai. Menurutnya, lima tahun terakhir ini adalah masa tersulit hidupnya sebagai nelayan. ”Biasanya, sehari bisa membawa lima kilogram ikan. Sekarang, setengahnya pun jarang,” tuturnya lesu, di pertengahan Desember 2017.

 

Garis pantai di Desa Cemara Jaya, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, mengalami kerusakan akibat abrasi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kerusakan mangrove

Kepala Dusun Desa Cemara Jaya, Ariyadiah, mengamini kondisi mangrove di pesisir Karawang yang memang terganggu itu. Menurutnya, kerusakan alami mangrove tersebut terjadi dikarenakan wilayah Pantai Pisangan berhadapan langsung dengan Laut jawa.

“Sebelum tahun 2000-an, di sini masih banyak mangrove. Periode berikutnya, terkikis perlahan. Faktor alam juga berpengaruh, abrasi dan gelombang pasang,” katanya.

Meski begitu, Ariyadiah tak menampik, rusaknya sebagian vegetasi mangrove juga disebabkan alih fungsi untuk tambak, dan lainnya. Mayoritas penduduk Desa Cemara Jaya, berprofesi sebagai nelayan dan petambak ikan.

Upaya rehabilitasi, kata dia, sudah sering dilakukan melalui program CSR. Namun, tidak berjalan kontinyu. Ada beberapa faktor yang menjadi kendala, semisal, ketersediaan lahan, tidak adanya tanggul penahan, serta minimnya pengawasan.

Namun, masalah paling utama adalah untuk ketersediaan lahan untuk melakukan restorasi. Saat ini, hampir dua kilometer garis Pantai Pisangan sudah mundur yang tentunya berpengaruh pada lahan untuk penanaman.

“Masyarakat sudah berkeinginan menghijaukan kembali mangrove, namun tidak bisa melakukannya tanpa bantuan,” ujarnya.

 

Warga melintas jalan setapak di Desa Cemara Jaya, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, belum lama ini. Aksen jalan di desa tersebut sudah dibuat beberapa kali, namun, tekikis kembali. Foto:Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, sambung Ari, penanaman mangrove hanya ramai di awal. Setelah itu, tidak ditindaklanjuti hingga terbengkalai. Untuk itu, masyarakat pesisir ingin dilibatkan dalam proses rehabilitasi agar hasilnya maksimal.

“Terakhir itu 2014, melalui bantuan CSR (dana sosial) perusahaan. Tetapi ya begitu, mangrove tidak tumbuh, akhirnya mati. Bantuan pemerintah juga belum sampai ke desa kami, kecuali bibit kelapa 40 batang dari provinisi,” terangnya.

Ari berharap adanya perhatian serius dari para pemangku kebijakan terhadap kondisi ini. Perbaikan kualitas lingkungan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir keseluruhan. “Abrasi tidak hanya menggerus daratan tetapi juga ekonomi masyarakat. Pelelangan ikan sudah tutup dan objek wisata sepi peminat. Semoga, ada jalan keluar terhadap situasi ini,” tandasnya.

 

Mangrove tersisa di Desa Sedari, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Mangrove memiliki peranan startegis seperi ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sejatinya, Indonesia merupakan pemilik 25 persen luasan mangrove dunia. Berdasarkan data One Map Mangrove, luas ekosistem mangrove Indonesia sekitar 3,5 juta hektare yang terdiri dari 2,2 juta ha di dalam kawasan dan 1,3 juta ha di luar kawasan mangrove. Ekosistem mangrove tersebut berada di 257 kabupaten/kota yang sebagian besar ekosistemnya telah mengalami kerusakan.

Kerusakan ini disebabkan adanya konversi lahan menjadi area penggunaan lain, perambahan, hama dan penyakit, pencemaran dan perluasan tambak, serta praktik budidaya yang tidak berkelanjutan.

Hutan mangrove Indonesia dierkirakan menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare, dibanding hutan tropis dataran tinggi. Diperkirakan, sekitar 3 juta hektare hutan mangrove ini tumbuh di sepanjang 95.000 kilometer di pesisir Indonesia.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,