Proyek “Penghijauan” Gunungan Sampah Bali Diresmikan. Apakah Efektif?

 

Gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Bali akan dihijaukan dengan cara ditimbun lalu ditanami pepohonan. Dalam masterplan terlihat seperti taman kota dengan terasering mengikuti kemiringan gunung sampah yang kini tingginya rata-rata lebih dari 15 meter.

Revitalisasi TPA Regional Sarbagita Suwung, demikian nama proyek yang diluncurkan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pada Jumat (22/12/2017) di TPA Suwung, Denpasar. Proyek yang dibuat untuk mengurangi bau, mencegah longsor sampah, dan menyambut sidang tahunan IMF dan World Bank di Bali pada 2018 ini akan dilaksanakan selama 3 tahun dimulai akhir Desember 2017 sampai Oktober 2019.

“Tak hanya target IMF, juga memaksa agar (penghijauan) cepat selesai karena dampak kesehatan dari sampah,” kata Luhut dalam sambutannya. Ia mencontohkan dampak jika air limbah dari sampah yang menghitam ini ke laut dan sapi milik warga yang mencari makan di seputaran TPA Suwung yang bisa terkontaminasi logam berat limbah sampah.

baca : Miskin Dana dan Fasilitas, 400.000 Kubik Sampah Di Bali Terlantar Tiap Tahun

Luhut tak menampik dikebutnya proyek yang dibiayai APBN ini untuk showcase bahwa Indonesia peduli lingkungan. Juga untuk mendukung kebersihan dan kenyamanan saat sidang IMF-World Bank.

Untuk penanganan sampah di TPA, ia mengatakan sedang menunggu Keppres tentang waste to energy, dan rencana implementasi di 10 kota sedang disusun. Sementara untuk TPA Suwung juga ditarget paling lambat tahun 2021 sudah menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) ini.

TPA Suwung dengan hamparan sampah seluas lebih dari 20 kali lapangan sepak bola ini memang terlihat dari jalan tol di atas Teluk Benoa dan Jalan Bypass yang kerap dilewati pejabat saat konferensi internasional di Bali. Saat musim hujan, baunya makin menyengat terbawa angin.

baca : Inilah Para Pahlawan Sampah Bali 

 

Menteri Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan saat meresmikan proses penghijauan TPA Suwung, Bali, pada Jumat (22/12/2017). Luhut dijelaskan desain revitalisasi TPA Suwung dengan cara menutup gunungan sampah ini jadi taman, dan pengolahan limbah air lindi serta gas methan. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

TPA terbesar di Bali ini juga tak hanya berisi sampah, namun menghidupi ratusan keluarga pemulung yang berkontribusi dalam pemilahan dan pengurangan sampah anorganik. Juga ada ketergantungan para peternak ribuan ternak sapi dan babi yang memanfaatkan limbah organik sebagai pakan.

Tak sedikit konflik muncul dari gunungan sampah yang tak pernah surut. Malah selalu memerlukan lahan tambahan karena tak terkelola optimal. Sementara di sekitarnya area hutan mangrove, laut, pelabuhan Benoa, jalan tol, pemukiman, area bisnis, dan tempat ibadah. Beberapa kali terjadi pemblokiran jalan menuju TPA oleh yang berkonflik.

Terlebih sudah ada proyek besar yang gagal mengurangi timbunan sampah menjadikan listrik. Badan Pengelola Kebersihan wilayah Sarbagita (Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) pernah menjamin semua akan sepenuhnya bisa dimusnahkan pada 2012. PT Navigat Organic Energy Indonesia (PT. NOEI) menjadi satu-satunya investor pengolahan sampah di TPA Suwung saat itu.

Empat Pemerintah daerah yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) membuat kerjasama penanganan sampah sejak 2007 lalu.  Salah satu klausul adalah investor bisa mengolah sampah jadi listrik namun tak terpenuhi dan sudah putus kontrak.

baca : Siaga Sampah Bali. Ada Apakah?

Dodi Krispratmadi, Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Dirjen Cipta Karya Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam penjelasannya saat pembukaan groundbreaking mengatakan TPA Suwung menimbulkan permasalahan lingkungan karena dibiarkan terbuka, dekat bandara, dan dekat pusat wisata. Ini akan membuat tidak nyaman terlebih menyambut annual meeting sidang IMF dan Bank Dunia nanti.

“Untuk kenyamanan dan keindahan lingkungan, harus segera diperbaiki,” ujarnya. Tahapan kegiatan meliputi penutupan gunungan sampah seluas 22,45 hektar lalu ditata menjadi taman-taman. Lahan sisanya sekitar 10 hektar disiapkan sebagai instalasi pengolahan air lindi dan gas methan (5 hektar) dan rencana PLTSa (5 hektar). Total luas TPA Suwung saat ini lebih dari 32 hektar.

Dalam video master plan dan gambar-gambar yang diperlihatkan, proyek ini dimulai dengan pemindahan dan pemadatan sampah ke lokasi revitalisasi. Kemudian perapihan lereng, pemasangan geogrid dan bronjong pada lereng. Sampah yang baru masuk dari truk-truk tiap harinya akan ditampung di area sanitary landfill dengan cara diitimbun.

Anggaran revitalisasi ini sekitar Rp250 miliar dengan pembiayaan bertahap selama beberapa tahun anggaran. Misalnya uang muka proyek hampir Rp40 miliar, dan pada 2018 dikucurkan lagi sekitar Rp120 miliar.

Menurutnya dari analisis daya tampung TPA Suwung saat ini tinggal 2 tahun karena tiap hari sampah yang masuk 1.000-1.400 ton. Meliputi sampah dari kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita).

Dodi menyebut penutupan TPA sudah ada caranya dengan tanah, dan menghutankan. “Dulu pernah di Surabaya, sekarang jadi taman. Harus pantau terus 20 tahun, lindinya kalau masih ada treatment-nya apa,” jelasnya khusus kepada Mongabay.

Jika sampah yang dibiarkan terbuka baunya ke mana-mana dan banyak lalat. Menurut Dodi kalau sanitary landfill, hamparan sampah tiap 3 hari ditutup tanah jadi lalat belum sempat bertelur.

Sebuah truk melintasi tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Suwung, yang terbesar di Bali. Foto : Luh De Suriyani

 

Namun jika sanitary landfill terus menerus juga menurutnya akan sangat mahal karena harga tanah makin hari makin mahal. Karena itu ditargetkan PLTSa juga akan beroperasi di TPA Suwung untuk mengurangi timbunan. Belum ada investor dan bagaimana sistem pembakaran sampah ini.

baca : OutSIDers Bali Rayakan Pesta Ultah Dengan Mengangkat Sampah…

Ketika dikonfirmasi soal penolakan insenerator oleh sejumlah aktivis dan NGO lingkungan ia meyakinkan ada teknologi baru yang bisa menjawab kekhawatiran munculnya emisi. Dodi menyimpulkan kekhawatiran NGO ini ada 2, munculnya emisi dan kenapa sampah yang masih berharga dibakar.

“Polutan akan nempel seperti katoda, jadi emisi tak masalah cuma lebih mahal. Kenapa sampah masih berharga dibakar, solusinya dipilah dulu kah? Circular economy (pengelolaan sampah) ini di Eropa mahal,” paparnya. Mau dibakar semua atau 30% saja menurutnya pilihan dan tergantung keberhasilan pemilahan di hulu. Sementara mencari champion atau yang mau menggerakan hal ini tak gampang.

Pengurangan sampah diyakini berhasil dengan PLTSa namun hasil listrik tak akan mampu menutup semua biaya. Ia mengatakan harus ada dana lain dari pemerintah provinsi atau kabupaten. Misalnya untuk satu ton memusnahkan sampah, perlu tipping fee Rp500 ribu.

Biaya ini lebih tinggi dari perkiraan biaya model sanitary landfill sekitar Rp120-125 ribu per ton sampah. Dodi memberi catatan hitungan ini baru perkiraan, harus dipastikan.

baca : Ketika MA Batalkan Perpres Pembangkit Listrik Sampah, Selanjutnya?

Pada awal 2017 lalu, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan uji materi pembatalan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Makassar. Pengajuan uji materi dilakukan Walhi bersama dengan ICEL, BaliFokus, Ecoton, Greenpeace Indonesia, KruHA, dan Gita Pertiwi.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,