Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Cerita dari Toro, Dusun Sawit di Tesso Nilo (Bagian 1)

Anak-anak bermain dengan latarbelakang perkampungan di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, Sabtu (12/11/17). Taman Nasional Tesso Nilo seluas 83.068 hektar, kini lebih dari separuh sudah berubah jadi kebun sawit. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

Toro Jaya, begitu nama  dusun di Desa Lubuk Kembang Bunga, Pelalawan, Riau ini. Tak seperti kebanyakan dusun lain, Toro, berada di dalam Taman Nasional Tesso Nilo.

Pertengahan November lalu, kami memasuki gerbang Dusun Toro Jaya. Gerbang itu biasa tertutup portal. Setiap orang masuk dusun harus membayar sejumlah uang. Sore itu,  portal terbuka. Si penjaga duduk dalam pos tampak asik dengan telepon genggamnya.

Setelah satu jam menyusuri jalan utama dusun, kami tiba di rumah Untung,  di RW03 atau biasa dikenal sebagai Toro Regar. Ini kawasan paling ujung di Dusun Toro Jaya.

Kami memperkenalkan diri. Warga seakan ragu menerima. Obrolan beragam tema antara kami dengan belasan warga Toro Regar berlangsung kaku. Meski terdengar tawa kecil di antara kami, tetapi tak mengubah suasana tegang dan saling menyimpan tanya. Terasa sekali kami berbicara dengan sangat hati-hati. Suasana itu berlangsung sekitar tiga jam.

Pukul 20.00, pria bertopi biru datang dan menyalami kami. Lampu LED solar panel di teras samping rumah Untung bersinar temaram. Sulit melihat wajah Sinaga, Ketua RW03. Dengan logat Batak kental dia langsung duduk di depan kami. Melipat kedua tangan di meja dan memandang lekat kepada kami.

“Jadi apanya yang bapak buat di sini,” tanya Sinaga. Saya menjawab sekenanya. Sinaga interupsi. “Jadi tujuan bapak untuk memajukan kami atau mengangkat (masalah) kami? Untungnya apa sama bapak? Saya tanya dulu,” sergahnya.

Kami mencoba memilah-milah kata agar tak banyak pertanyaan mengulang. Sinaga langsung mengunci percakapan.

“Atasan kami, kadus (kepala dusun). Apakah sudah ada izin kadus kami? Tanpa seizin kadus kami pun tidak bisa memberitahukan. Biarpun kami makan tak makan, ya kamilah yang tahu,” katanya. Kami terdiam tertekan.

“Saya terkejut, di-sms sama RT saya. Ada apa kok malam-malam begini. Di manapun tak ada acara apapun (malam). Kami ya Pak, takut-takut juga. Datang orang bapak ke kampung kami, belakangan kita tidak tahu. Lebih bagus pahit dulu, belakangan enak,” lanjut Sinaga.

Sembari menahan tekanan dan gertakan, kami menjelaskan kembali pelan-pelan tujuan liputan. Hampir satu jam, kami pun akhirnya diterima.

 

Warga Toro, tengah beraktivitas di depan gereja di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Toro Jaya adalah dusun yang baru resmi awal tahun 2000-an. Kini, hampir dua dekade sudah sekitar 4.500 keluarga dan menguasai puluhan ribu hektar hutan Taman Nasional Tesso Nilo.

Lonjakan populasi itu hasil sensus mandiri pengurus dusun berulangkali dalam setahun. Setidaknya,  itu pengakuan Sinaga kepada kami.

“Kami takut, Pak. Jujur, Pak, kami takut,” kata Sinaga.

Dia paham, tanah tempat hidup bersama istri dan dua anak ini tanah terlarang. Berdasarkan hukum Indonesia, mereka seharusnya tak di sana.

Perbukitan yang awalnya hutan belantara, habitat penting bagi gajah dan harimau sumatera itu kini menjadi hamparan sawit. Rata-rata umur sawit antara 3-7 tahun.

“Ini memang wilayah kami ini, kawasan TNTN. Ndak tau cam mana nasib kami. Ntahlah nanti ganti presiden, ndak tau kami. Kami bisanya berdoa sajalah semoga aman nasib kami,” katanya.

Tesso Nilo merupakan habitat penting satwa dilindungi terancam punah seperti harimau Sumatera dan gajah Sumatera. Tahun 2002, hutan seluas 38.567 hektar ditetapkan sebagai taman nasional. Pada 2009, jadi 83.068 hektar.

Kini,  perambahan menyulap hutan ini jadi kebun sawit, bagian berhutan hanya tinggal 30%.

Toro Jaya,  adalah dusun yang satu sisi pemerintah mengakui, namun sisi lain tak dilirik. Sering terabaikan, biasa ingat dekat masa pemilihan bupati, legislatif dan gubernur. Meski kepala dusun, RW dan RT mendapat honor pemerintah desa, tak satupun anggaran mengalir apalagi pembangunan.

 

Seorang warga tengah membersihkan kebun sawit yang baru dibeli di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Swadana

Toro, membangun sistem sosial dan kehidupan sendiri, alias tanpa bantuan dana pembangunan dari pemerintah.

Menurut Sinaga, hampir setiap hari ada rapat. Jika ada masalah kebun seseorang, jalan rusak atau ada laporan titik api, semua aparat dusun mengadakan rapat mendadak.

Toro membangun sistem pendanaan sendiri. Dihimpun dari hasil penjualan tandan buah sawit (TBS). Satu kilogram TBS, pekebun harus menyetor Rp50. Dana itu dihimpun sekelompok orang yang memenangi kontrak.

Tahun ini target sekitar Rp120 juta dana bisa terkumpul per bulan. Penggunaan dana dilaporkan di depan masyarakat umum setiap pertengahan bulan. Dana itu untuk memperbaiki jalan dan pembangunan fasilitas sosial kemasyarakatan.

Di dusun juga ada pemakaman berdasarkan penganut agama. Ada juga pasar mingguan. Bahkan,  ada terminal bus antarkota antarprovinsi seperti PO PMH dan PO Makmur jurusan Sumatera Utara-Toro. Bus panjang itulah yang akan melewati jalanan Toro yang bertanah merah bergelombang. Saat hujan,  jalanan makin menantang.

Bus berangkat setiap pagi dan malam. Jaringan listrik dari PLN belum masuk. Warga memanfaatkan energi terbarukan dengan panel surya termasuk untuk menonton TV dan mengisi batrai HP untuk komunikasi dan berselancar di sosial media.

Untung, mantan ketua RW yang mengaku telah menetap di Toro Regar selama 12 tahun. Dia mengatakan, warga kini sangat perlu pengakuan sebagai warga negara. Sebab masuk sekolah saja, anak-anak harus pakai akte kelahiran. Padahal, mengurus akte kelahiran perlu kartu keluarga dan KTP.

“Yang jelas kalau bisa dibantu (ya) masalah identitas. Di mana-mana pembuatan KTP gratis. Kok di sini ndak, adem aja. Di mana letak salahnya? Pernah (ada) rekaman KTP, sampai ratusan orang, belum ada yang keluar KTPnya. Dah habis-habisan,” kata Untung.

Cam-mana mau punya akte kelahiran, syarat buat akte kelahiran kartu keluarga, KK perlu KTP, KTP aja ndak punya. Maka, banyak gak pake surat nikah. Nikah berdasarkan agama aja,” kata Jasmun, Ketua RT03, RW03.

Jasmun dulu buruh kebun sawit di Kampar. Belakangan dia tergiur cerita sukses tetangga yang terlebih dahulu berkebun di Toro. Dia lalu membeli sawit seluas 1,5 hektar pada 2004.

“Yang namanya kerja di perusahaan, kita meras tenaga satu hari untuk sehari. Modal dengkul bawa istri dan anak. Dalam prinsip, biarlah ke hutan asal untuk masa depan sekolahnya.”

Dengan kondisi Dusun Toro belum tertata dan jalan lebih parah dari sekarang, anak keduanya lahir tahun 2009. “Dulu masih sepi. Sawit baru tanam, ngadapin macan akar, musang, babi hutan. Dulu baru 600 keluarga tahun 2007,” katanya.

“Kini giliran berhasil (Toro), (kami) dipersulit. Yang paling utama itu, dibebaskan ini (dari taman nasional), jadi ndak was-was lagi masyarakat. Jantungan masyarakat. Sebagian (warga) kami ndak tau warga negara apa,” katanya.

Sitorus, pengumpul sawit kepada Mongabay mengatakan, Toro sudah memproduksi hampir 5.000 ton buah sawit. Sejak tiga tahun terakhir, ribuan ton itu sulit dijual ke pabrik sawit (PKS). Sebab pabrik tak lagi mau menerima sawit Toro karena disebut ilegal.

 

Warga mengumpulkan hasil panen sawit dari kebun mereka di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Kesulitan ini, katanya,  dialami pekebun sawit Toro sejak kampanye sejumlah LSM pada 2013.

“PKS aja melarang kita masukkan buah. Kalau diterima didenda. Kita sering disuruh buat pernyataan, kami tidak terlibatlah begitu (menjual buah dari Toro). Biasanya ini muncul kalau ada pemilihan politik. Habis itu hening lagi,” katanya.

Sitorus pernah ke Jakarta, untuk memperjuangkan nasib warga Toro dan bertemu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Pertama demo-demo di Kerinci (ibukota Kabupaten Pelalawan-red). Difasilitasi bupati datang ke Jakarta. Ngambang lagi. Kayak gitu lagi, ntar muncul lagi. Gak tenang (kami) begini,” katanya.

Kementerian, katanya, kala itu mengatakan akan memindahkan seluruh warga Toro keluar dari taman nasional karena dianggap hanya berpopulasi seratusan keluarga. “Kami minta turun ke lapangan agar nampak berapa orang di sini. Sudah ribuan keluarga.”

Rasa was-was dialami banyak warga Toro. Mereka sadar tempat tinggal dan berkebun dalam taman nasional adalah ilegal. Sulitnya ekonomi di daerah asal jadikan Toro harapan baru dan mereka berjuang mempertahankannya. Umumnya mereka mendengar kesuksesan dari kerabat atau tetangga yang lebih dahulu ke Toro.

“Karena mereka ini dari kampung sudah dijual hartanya. Datang ke sini dah habis di sana (di kampung). Ini kampung baru, harapan baru. Sekolah sudah ada,” ucap Sitorus.

Lulusan dua universitas di Pekanbaru ini mengaku masuk ke Toro sejak 2012. Saat itu, dia lajang dan berharap bisa berkebun untuk masa depan. Saat itu dia membeli empat hektar lahan.

Begitu juga dialami oleh seorang ayah tiga anak yang tak ingin disebut namanya. Dia baru sebulan membeli lima hektar lahan di Toro dan sudah ditanami sawit berumur empat tahun. Sudah panen buah pasir.

Dia pindah dari Mahato, Rokan Hulu, Riau ,setelah menjual kebun sawit seluas 2,5 hektar. Karena terkikis abrasi sungai karena pertambangan pasir, luas kebun menyusut jadi 1,5 hektar.

“Modal nekat. Kebun di Mahato terkikis, habis. Dalam waktu setahun. Ada tambang pasir di sebelah itu. Rp130 juta dapat lima hektar di Tesso Nilo. (kini sudah) 300 kilogram panen. Biar ndak lama nunggu. Kalau buka, baru kelola, dilarang membakar, dilarang begini, dilarang numbang. Repot,” katanya.

Kini keluarganya masih di Mahato. Dia berharap,  bisa bawa keluarga ke Toro dalam waktu dekat karena biaya hidup di dua tempat lebih tinggi.

 

Kepala Sekolah SD Negeri 028 Toro Ujung, Dewi Dolok Pasaribu (45) (tengah) dengan dua orang guru berpose di depan Sekolah SD Negeri yang berada di Toro, Minggu 12 November 2017. Dewi memiliki lahan perkebunan sawit di Toro seluas enam hektar dan kini setengahnya dijadikan bangunan sekolah untuk pendidikan anak-anak warga Toro. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Pendidikan

Dewi Doloksaribu pindah dari perkebunan Torganda ke Toro Regar empat tahun silam, pada 2013. Sarjana Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Nommensen, Sumatera Utara ini membeli lahan enam hektar untuk sawit. Baru 2,5 tahun berkebun, jiwa pendidiknya terpanggil setelah menyaksikan banyak anak-anak Dusun Toro Jaya khusus Toro Regar tak melanjutkan pendidikan.

“Kebetulan ada tanah kita sedikit. Itulah kita adakan pembangunan sekolah. Karena kita dari pendidikan. Tahun 98, saya sudah mengajar, 2013 saya nganggur di sini. Cuma (ketika) kita lihat pendidikan di sini, banyak anak-anak nganggur, mau sekolah ndak mampu,” katanya.

Kini, lahan yang dijual dan dana “dihibahkan” untuk pendidikan anak-anak Toro itu telah berbentuk bangunan semi permanen dengan dua kelas. Berlantai tanah, berdinding papan bolong-bolong dan berkawat pada bagian atas. Ada juga bangunan lain dan terbagi dua. Satu ruang kelas, satu lagi tempat tinggal para guru.

Sementara rumah kediaman Dewi sekaligus kepala sekolah pun terbagi-bagi. Satu ruang 3×3 meter kamar dengan dinding kayu separuh terbuka. Sisanya,  dapur, kelas dan ruang kerja jadi satu tanpa pembatas. Tampak satu laptop dan mesin ketik manual terletak di atas meja dan televisi.

Tumpukan batu bata belum terpakai tergeletak di sisi rumah Dewi. Dia berencana pada 2018-2019 membuka SMA karena anak-anak SMP tak akan mampu sekolah di luar. “Dananya itu pak. Kalau kita ndak buka SMP, pada nganggur. Ndak pada sekolah,” katanya.

 

Anak-anak tengah bermain di hutan yang kini sudah berubah jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo, Minggu (12/11/17). Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Kini SDN 028, Tapui Indah Kelas Jauh Toro Regar punya 87 murid dan SMPN I Lubuk Kembang Bunga kelas Jauh Toro Regar 23 orang. SD ini telah meluluskan satu angkatan tahun lalu. Guru untuk semua siswa ada sembilan orang, semua sarjana, satu sarjana pendidikan agama.

Soal keberadaan sekolah dan kebun di taman nasional, kata Dewi, terpenting anak-anak Toro,  harus terus lanjut sekolah. “Mereka perlu (pendidikan). Mereka yang harus diperjuangkan. Saya ini sudah tua. Mereka inilah yang menggantikan saya. Kalau tanah ambillah, tapi ini kan soal pendidikan anak. Ini anak-anak Indonesia juga,” katanya.

Soal legalitas tanah, warga mengaku belum mendengar solusi tawaran pemerintah. “Kayaknya gak ada yang ditawarkan pemerintah. Karena gak bisa dipindahkan. Ke mana lagi? Kalau terpaksa mau aja (dipindahkan). Masalahnya lahan itu ndak ada, mau dikemanakan, 100.000 hektar hutan lindung, yang tertanam 80.000 hektar, ke mana lagi mau dipindahkan? Ke Kalimantanlah,” kata Sitorus.

Dalam wawancara sejumlah wartawan termasuk Ayat S Karo-karo dari Mongabay, Rabu (20/12/17), Suryadi,  Kepala Dusun Toro Jaya mengatakan, warga, termasuk dirinya adalah korban. Korban ketidaktahuan.

“(Kami) Korban. Kami yang pendatang ini ndak tau. Yang di kampung saja sekarang sudah ndak ada apa-apa. Jangankan tanah, priuk, kuali pun habis. Kalau ini tahu kejadian kayak gini (taman nasional), saya pun ngak kemari.”

Suryadi mengaku tergiur mendengar kesuksesan tetangga yang terlebih dahulu berkebun sawit di Tesso Nilo. Diapun menjual semua harta benda di daerah asal untuk mengejar harapan baru. Hal lain yang menggiurkan adalah harga lahan taman nasional itu murah.

“Terang aja kalau di kampung itu punya satu rantai (lahan) kalau kita jual, di sini dapat agak lebar, kan gitu. Saya ingin demikian (sukses). Tapi udah kejadian kayak gini, ibarat nasi telah jadi bubur, apa boleh buat? Ya itu terpaksa harus dipertahankan.”

Sulitnya akses masuk Dusun Toro Jaya, tak menyurutkan gelombang migrasi warga luar mengadu untung di taman nasional. “Ada (warga) masuk, ada juga yang keluar. Banyak masuk, 10 hektar dijual dua pancang,” kata Suryadi. Dia memastikan tak ada lagi perambahan baru.

Setelah 24 jam, kami berada dan bermalam di Toro, dalam perjalanan pulang, melihat warga tampak sibuk membangun mesjid di Toro Tengah atau Toro Makmur. Ada juga yang tengah membangun rumah permanen dengan batu bata.

Di persimpangan jalan di Toro Jaya, terlihat spanduk berwarna kuning bertuliskan “Dijual Kebun Sawit” dilengkapi nomor telepon yang bisa dihubungi. Bersambung

 

Spanduk berisi ‘iklan’ lahan dijual buat sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Truk melewati jalanan berlumpur mengangkut hasil panen dari kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version