Mongabay.co.id

Cerita Kayuh Sumatera, dari Polusi, ‘Hutan’ Sawit sampai Tanam Pakan Gajah

Gajah di Taman Nasional Way Kambas. Foto: Kayuh Sumatera/ Mongabay Indonesia

Setyo Manggala Utama, pemuda 24 tahun ini terlihat bercengkerama dengan para pesepeda di tanah pilih pusako betuah, Jambi.

Ada beberapa pesepeda berkumpul melewati senja di pinggir Sungai Batanghari. Ditemani jagung bakar, di seberang sana Jembatan Pedestrian Gentala Arasy berdiri kokoh melintasi Sungai Batanghari.

Setyo bersama Karfianda Suryoutomo, dua pesepeda asal Jakarta yang bertekad berkayuh keliling Sumatera sambil menyuarakan penyelamatan lingkungan.

Mereka menginisiasi kegiatan bernama Kayuh Sumatera, keduanya akan bersepeda sepanjang Pulau Sumatera dari Jakarta menuju ke Sabang dalam 50 hari, ditaksir melewati 3.000 km di 17 kota dengan tujuh provinsi.

Rute yang mereka lalui, antara lain Taman Nasional Way Kambas, Ngarai Sianok dan Danau Singkarak, Pulau Samosir, Gunung Sinabung, Pusat Konservasi Orangutan Bukit Lawang, Pusat Konservasi Gajah Tangkahan dan beberapa titik lain.

Misi #KayuhSumatera antara lain meningkatkan kesadaran masyarakat soal pelestarian ekosistem satwa dan fauna di Sumatera. Mereka menikmati perjalanan dengan berbagai pengalaman.

Di Lampung, Setyo sangat kecewa dengan kondisi Teluk Betung. Setahu dia lewat cerita sang ayah, Teluk Betung itu bagian pesisir nan bersih. Kondisi berbanding terbalik kala dia melihat sendiri. Air berwarna coklat dan sampah berserakan di mana-mana.

“Yang paling bikin aku kesal, aku dan Karfiada, sudah susah-susah ngumpulin sampah. Tahu-tahu ada yang menemukan sampah yang terkumpul itu dan membuang kembali ke sungai. Itu bikin saya ga bisa ngomong apa-apa lagi,” katanya agak kesal.

Bagi Setyo, perjalanan di Lampung, rute bersepeda di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) mengesankan. “Kita bisa mengeliingi TNWK. Di sana kita merasa ganjal melihat gajah-gajah dirantai.  Lalu kami dijelaskan guna menghindari konflik antargajah liar,” katanya.

Luas TNWK 125 hektar, salah satu dari tempat tinggal gajah Sumatera. Ada 308 gajah dilindungi dalam TNWK, 66 sudah jinak, dan 242 gajah liar yang hidup berkelompok di hutan. Ada juga tujuh badak Sumatera di kawasan ini.

Dokter hewan Dedi, mengatakan kepada Setyo dan Karfianda, TNWK pertama kali jadi taman nasional pada 1989 untuk melindungi satwa-satwa liar dilindungi, termasuk gajah.

Gajah kehilangan rumah mereka, karena hutan berubah menjadi peruntukan lain, seperti pemukiman sampai perkebunan sawit.

Mengatasi masalah ini, katanya, akhirnya diadakan operasi Ganesha guna menyelamatkan gajah dan menggiring ke TNWK. Operasi ini, katanya,  memakan waktu sekitar empat tahun dan menyelamatkan lebih 300 gajah.

Keberhasilan operasi Ganesha,  membuat TNWK sebagai Pusat Latih Gajah (PLG) pertama pada 1985. Setelah itu, muncul PLG lain di beberapa daerah dengan misi penyelamatan serupa.

Gajah yang tinggal di PLG dilatih dengan konsep tata liman, bina liman, dan guna liman. Ia berarti,  menata, melatih, dan memberdayagunakan. Sedangkan, liman merupakan bahasa Sansekerta berarti gajah.

Gajah yang dilatih, katanya, awalnya buat beragam pemanfaatan, salah satu untuk membantu pertanian. Saat ini, nama PLG berubah jadi Pusat Konservasi Gajah (PKG). Dengan perubahan nama itu, gajah terlatih dengan tujuan konservasi dan perlindungan.

Kawasan hutan KEL termasuk TNGL di Aceh Tamiang yang berubah menjadi perkebunan sawit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Gambut di Sumsel

Dari Lampung, Setyo dan Karfiada melanjutkan perjalanan ke Sumatera Selatan. Mereka baru pertama kali melihat lahan gambut sangat luas. Di Ogan Ilir, seluas mata memandang yang terlihat hanya gambut.

Gambut, katanya, terletak di tepi jalan. “Bisa dibayangkan jika tersulut api rokok bisa kebakaran hebat. Akan sangat sulit sekali penanganan lahan gambut karena musim kemarau. Kalau musim hujan jadi rawa-rawa dan banjir,” katanya.

Selama dua hari dia menyusuri Sumsel, tiba di Kota Jambi. Jambi bagi mereka adalah kota ramah pesepeda.

”Orang-orangnya masih mau minggir kalau lihat sepeda. Kota ini meski kecil namun saya merasa nyaman bersepeda. Cukup dua jam saja, kita bisa mengelilingi Jambi,” kata Karfiada.

Sungai Batanghari dan pedestrian Gentala Arasy adalah paduan menakjubkan. Mereka menyusuri Sungai Batanghari menuju seberang kota dengan kapal.

Dia melihat air Sungai Batanghari keruh dan kotor juga masalah lingkungan lain. “ Kota ini nyaman, komunitas pesepeda di Jambi juga berbaur. Mereka tak mengotak-otakkan diri berdasarkan jenis sepeda. Mereka ada kelompok Sepeda Universal Jambi. Sayang juga ikon kota Jambi Sungai Batanghari ini jika dibiarkan kotor,” kata Setyo.

Di Kota Jambi, mereka melanjutkan perjalanan ke Riau. Setyo bercerita, Riau mengenalkan dengan jejeran kebun-kebun sawit sangat luas. Awalnya,  dia merasa pemandangan itu menawan. Ketika dia berhenti di beberapa warung di sepanjang jalan lintas Sumatera memasuki Riau mereka mendapati masyarakat di sana kekurangan air.

Mereka harus membeli air Rp70.000 per galon besar dan habis tiga sampai empat hari. “Mereka kekurangan air, harus beli air. Juga sungai-sungai di sepanjang perekbunan sawit ga jernih, butek, hitam kecoklatan,” katanya.

Setibanya, di Duri hingga Rokan Ilir, dia sempat keracunan karena udara tak sehat di daerah ini. Dia bahkan sempat menetralkan diri dengan jus buah. Sebagai pusat industri, polusi udara tinggi. “Masyarakat juga merasakan udara tak sehat.”

Setyo melihat pipa-pipa besar menggantung di sepanjang tepi jalan. Parahnya lagi, pipa-pipa itu bertekanan panas namun menggantung tanpa ada peringatan. Pipa ini adalah pipa saluran minyak bumi milik perusahaan migas. “Sebelumnya ga tahu kalau pipa-pipa itu panas. Ga menyentuh juga pipa-pipa itu, aku tahu pas hari hujan, pipa itu berasap. Artinya, panas. Ini berbahaya sekali,” katanya.

Dua minggu perjalanan menyusuri Riau. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kecelakaan dialami Karfiada. Mampir ke Bukitinggi, dia harus menghentikan perjalanan setelah kena pecahan beling di penginapan mereka. “Karfiada ga bisa melanjutkan perjalanan karena kaki luka belum kering. Jika dipaksakan bersepeda akan memperparah. Kita sudah menunggu tiga hari, akhirnya dia harus balik ke Jakarta karena luka tak juga kering,” katanya.

Setyo melanjutkan perjalanan mengambil lintas timur agar lebih mempercepat rute. Dia sendirian. Sampai di perbatasan Riau dan Sumatera Utara, Setyo terharu bisa melihat hutan kembali bukan jejeran sawit.

 Lalu dia lanjut ke Banda Aceh, ke konservasi gajah di Karang Ampar untuk tanam pakan gajah.   “Ibuku orang Aceh, mereka mendukung. Mereka melihat ini hal gila, tapi memberikan manfaat bagi masyarakat.”

Bekerja sama dengan WWF, mereka membuka kebun pakan gajah dengan menanam pakan buat gajah-gajah liar sekitar 22 hektar.

Tanaman itu seperti rumput gajah, tebu, dan tanaman herbal lain. Areal seluas 22 hektar ini juga akan diselingi parit sedalam 1,5 meter untuk menghindari satwa lain, termasuk gajah liar, masuk ke kebun pakan.

Melalui kerjasama dengan Kitabisa.com, dua pemuda ini menggalang dana bantuan bagi gajah-gajah liar di Karang Ampar ini. Silakan klik tautan berikut untuk turut serta menyelamatkan gajah-gajah liar di Karang Ampar, Aceh Tengah: https://kitabisa.com/selamatkangajah

Duo #KayuhSumatera kala mampir ke TN Way Kambas. Di Aceh, mereka menanam pakan gajah. Foto: Kayuh Sumatera/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version