Mongabay.co.id

Harimau Terkam Buruh Kebun Sawit di Riau, Apa Kata Mereka?

Di Medan Zoo, saat ini ada 9 individu harimau sumatera dan 6 individu harimau benggala. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Haryono, baru saja tiba di Kota Pekanbaru, Riau, tempat kerja barunya sebagai pelaksana tugas (Plt) Kepala Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Riau, langsung disambut informasi kematian pekerja kebun sawit milik Malaysia, PT TH Indo Plantations (THIP). Pekerja kebun itu mati diterkam harimau di kebun sawit, Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Rabu (3/01/18).

“Ini berita yang tak pernah saya dapatkan di tempat kerja saya sebelumnya. Ini ada harimau memakan manusia,” katanya saat konferensi pers di KSDA Riau, Pekanbaru, Jumat (5/01/18).

Kronologi kejadian diawali saat tiga buruh lepas perempuan merawat kebun berpapasan dengan harimau (Panthera tigris sumatrae). Tiga buruh perempuan kaget lalu berlari memencar. Si belang yang juga kaget jadi agresif. Ketiganya mencoba menyelamatkan diri dan memanjat pohon.  Seorang buruh terjatuh.

Harimau berusaha menjangkau J yang berusaha memanjat pohon. Korban jatuh, berusaha melawan beberapa menit lalu, harimau menggigit leher.

“Satu korban meninggal. Dua selamat,  kini trauma,” kata Haryono.

BKSDA, kata Haryono, langsung mengirim tim pada malam hari kejadian. “Tim kedua juga sudah dikirim kemarin.”

Keberadaan harimau di kawasan itu, sebenarnya sudah diketahui KSDA dan sejumlah pihak termasuk WWF, perusahaan hutan tanaman industri (PT Arara Abadi)  dan THIP setahun lalu. Kali pertama harimau itu muncul pada Desember 2016.

“KSDA bersama para mitra sudah berkoordinasi untuk langkah-langkah antisipasi. Observasi pun sudah termasuk imbauan agar perusahaan meningkatkan kewaspadaan bagi pekerja,” ujar Haryono.

Tanda-tanda peringatan soal ada harimau juga dipasang di sejumlah titik yang diperkirakan jadi jangkauan jelajah. Juga dipasang sejumlah kamera perangkap. Pada Februari lalu, tim memperluas areal pengamatan sampai ke luar perkebunan sawit.

“Tim juga menemukan laporan temuan jejak, kotoran. Dari visual ang diperoleh dari masyarakat diketahui ada beberapa harimau. Kami belum bisa menyebut ada berapa, yang jelas lebih dari satu,” katanya.

Pada Mei 2017, harimau juga terpantau kamera handphone warga. Situasi ini membuat sejumlah pihak termasuk balai konservasi makin serius. Akhir tahun lalu, BKSDA mengirim surat kepada Dirjen Konservasi dan Sumber Daya Alam (KSDAE) bahwa ada kemungkinan merelokasi harimau. Surat itu pun berbalas positif dan mempersilakan mengambil tindakan.

“Pada 14 Desember,  kita terima surat dari KSDAE, persetujuan untuk evakuasi satwa,” katanya seraya bilang evakuasi akan mematuhi aturan konservasi guna menjamin tak melukai satwa.

Awal tahun ini,  tim eksekusi relokasi harimau dijadwalkan turun pada 4 Januari lalu tetapi harimau lebih cepat bergerak sehari sebelumnya.

 

Sawit, bisnis yang digadang-gadang andalan tetapi banyak masalah, seperti hutan makin tergerus hingga hidup satwa terdesak. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dani Murdopo, perwakilan THIP mengatakan, perusahaan telah menjalankan kewajiban dan tanggungjawab atas insiden.

Mereka, katanya sudah lakukan upaya pencegahan untuk memperkecil potensi konflik. “Kami sudah koordinasi dengan BBKSDA dan keamanan terdekat terkait informasi harimau. Kami cukup aktif memberikan arahan kepada karyawan,” katanya.

Kebun sawit yang dikuasai THIP seluas 79.664 hektar. Jikalahari menilai,  2.101 hektar, antara lain masuk hutan dengan fungsi hutan produksi tetap (HPT) yang tak seharusnya ditanami sawit.

Meski tak bersebelahan langsung dengan Suaka Margasatwa Kerumutan, konsesi sawit ini berada di lansekap Kerumutan atau jadi bagian dari daerah jelajah harimau Sumatera.

Konsesi Arara Abadi, kebun akasia tepat bersebelahan dengan Kerumutan. Saat konflik, akasia sedang panen. Ada peningkatan kegiatan manusia di kawasan yang kemudian juga diperkirakan mengusik harimau.

“Kemunculan harimau ini lazim kalau sedang panen. Ini terjadi di Tesso Nilo,  beberapa waktu lalu,” kata Hutomo, Kepala bidang Satu Balai BKSDA Riau.

Dia mengklaim,  aktivitas paling mengganggu harimau itu pembalakan liar. Saat ini,  pembalakan liar masih terjadi di kawasan hutan. Tahun lalu, BKSDA beserta aparat keamanan merazia pembalakan liar dan sempat penurunan gangguan harimau.

“Kini mereka (pembalak liar) melambung lewat pesisir. Ini yang menganggu habitat.”

 

Hutan jadi sawit

Okto Yugo Setiyo, Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari mengatakan, saatnya pemerintah mengambil tindakan lebih kongkrit dengan mengevaluasi izin kebun-kebun di habitat satwa dilindungi.

Jikalahari menilai,  penyebab kematian Jumiati karena hutan alam jadi kebun sawit di zona penyangga Kerumutan. THIP, katanya, beroperasi di lahan gambut kedalaman lebih empat meter dan menebang seluruh hutan alam berganti sawit.

“Di sekitar habitat SM Kerumutan itu ada beberapa perusahaan. Ini jadi pintu masuk menata kembali kawasan dengan menyelidiki bagaimana perusahaan-perusahaan itu beroperasi,” ucap Okto.

Konflik harimau di Indragiri Hilir adalah konflik satwa mematikan pertama tahun 2018. Berdasarkan data Balai BKSDA Riau setidaknya ada 13 kasus. Konflik terdata itu melibatkan manusia dengan gajah liar, harimau, beruang dan buaya dengan korban tiga orang.

 

 

Exit mobile version