Mongabay.co.id

Para Perempuan Nelayan Tambak Polo Menanti Pengakuan Negara

Sri Umroh, usai memasang jebakan kepiting di sekitar mangrove. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Sri Umroh, sendirian mendayung sampan. Perlahan sampan itu membawa ibu dua anak ini menjauh dari rumah yang berada tepat di bibir sungai. Rumah berdinding kayu. Tak bercat. Berwarna pucat kelabu.

Ukuran rumah kecil. Berlantai tanah. Tak lebih dari 3 x 6 meter. Lokasi persis di samping jalan masuk SD Negeri Purworejo 4. Rumah Umroh mungkin lebih pas disebut bedeng, berbagi pagar dengan SD itu.

Suaminya sakit sejak tujuh tahun lalu dan lebih banyak di tempat tidur. Sebelum sakit Umroh menyusuri bakau bersama suami. Kini dia harus mencari kepiting sendiri.

Mereka bertemu pertama kali saat suami jadi sopir dan Umroh pelayan restoran, sekitar 20 tahun lalu.

Umroh sesekali sigap mengeluarkan air yang masuk ke dalam sampan. Sampan tua ini bocor. Beberapa bagian tambalan telah mengelupas.

“Saya biasa bangun pukul 3.00 pagi. Lalu persiapan buat cari kepiting,” katanya, Kamis, 21 Desember, di Tambak Polo, Purworejo, Bonang, Demak, Jawa Tengah.

“Sebelumnya ke pasar dulu untuk menjual tangkapan kepiting kemarin sore dan membeli umpan.”

Berharap kepada kemurahan alam, dua kali dalam sehari dia memeriksa kalau-kalau ada kepiting yang masuk jebakan.

“Pukul 3.00 sore nanti berangkat lagi, sampai 6.00 sore. Kalau hujan ya tetap berangkat. Paling di sekitar sungai. Tidak sampai ke dekat laut,” kata perempuan tamatan SD ini.

Sekitar 40 jebak dia pasang di antara akar-akar bakau. Umroh hapal di mana saja alat jebak itu dipasang.

Hasil penjualan kepiting untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Kalau masih ada sisa uang dia tabung untuk berjaga saat paceklik kepiting.

Sekitar pukul 4.00 pagi dia sudah harus sampai kembali di rumah. Segera dia mempersiapkan sarapan untuk keluarga. Anaknya paling kecil kelas 3 SMP. Yang tertua sudah bekerja.

Dari puluhan alat jebak itu, rata-rata dia mendapat satu kg kepiting per hari. Berisi sekitar enam atau tujuh kepiting kecil. Satu kepiting oleh pengepul dihargai Rp10.000. Dengan begitu sehari rata-rata dia mendapat Rp70.000.

“Kalau yang lain kan punya semua. Kapal besar, jaring. Saya ndak punya.”

Kepiting nyaris menjadi tumpuan penghidupan Umroh dan keluarga. Bukan sekali dua kali dia pulang tanpa hasil tangkapan.

Selain hanya mendapat penghasilan tak seberapa, ada risiko lain menanti dia di sungai.

“Ditabrak perahu. Digigit ular. Saya pernah. Ular menggigit kaki saya. Dua bulan saya tidak keluar cari kepiting. Kaki saya bengkak,” katanya.

Umroh mengaku belum pernah mendapat bantuan pemerintah, meski pernah mendengar ada program untuk nelayan kecil.

Pingin dapat kartu nelayan, kalau ada apa-apa bisa dibantu. Kalau sakit karena ke laut bisa ada biaya pengobatan,” katanya.

Dia berharap, bisa memiliki kartu nelayan, dan kartu asuransi nelayan.

Ketidak pastian pernah juga membuat Umroh berniat menggantung dayung, terutama saat tangkapan sepi.

“Sudah Pak biar aku kerja lagi,” katanya mengenang percakapan dengan suaminya. Kerja yang dia maksud berarti menjadi pembantu rumah tangga, di Jakarta. “Tapi rumah yang merawat siapa?”

 

 

* * *

Setelah menyusuri sungai dengan bakau kanan kiri, perahu membawa saya makin mendekati perairan laut Jawa. Saya menyaksikan bagaimana suami istri nelayan Tambak Polo bahu membahu mencari ikan.

Makin ke tengah goyangan ombak makin kuat. Satu dua burung camar mengikuti kami, berharap ada ikan kecil tangkapan nelayan yang dibuang. Biasanya burung-burung itu menyambar sebelum jatuh ke laut.

Musakori menebar jaring gillnet di perairan dangkal. Istrinya, Siti Darwati, mengawasi sambil memegang bilah kemudi di belakang. Dia membawa jaring gillnet 50 lembar, berukuran empat inchi di kapal. Itu berarti jika semua jaring turun panjang sekitar 250 meter.

Setelah beberapa saat Musakori menarik jaring kembali ke perahu. Biasanya darwati membantu merapikan jaring dan memungut ikan yang dia dapat.

Ada tiga pasang suami istri yang saya saksikan melaut pagi itu. Dua lainnya, Musafikin dan Nurhafidoh, serta Solikhin-Kustiah.

Darwati harus meninggalkan anak usia dua tahun yang masih disusui. Saat melaut, anaknya diasuh kakak paling besar umur 14 tahun, atau neneknya. Darwati punya tiga anak.

“Sebenarnya kasihan. Saya masih punya anak kecil, lagi enak-enaknya ngeloni harus ditinggal njaring.”

“Kalau saya mau melaut ya saya susui dulu. Kalau menangis ya menenangkan dulu sampai tidak menangis, baru berangkat. Karena nelayan ini pekerjaan ya tidak boleh terpaksa.”

Saat bertandang ke rumah Musakori, Ketua Kelompok Nelayan Jaya Bahri, sebelum melaut, dia memperlihatkan kartu asuransi nelayan lamanya. Kartu terbaru sedang proses.

“Sudah dua tahun mendapat kartu asuransi. Gratis,” katanya.

Jaya Bahri beranggotakan 60 nelayan. Syarat menjadi anggota adalah masing-masing memiliki kapal. Semua memiliki kartu nelayan dan kartu asuransi.

Meski belum pernah membuat klaim asuransi nelayan, dengan kartu itu Musakori lebih tenang bekerja.

Pekerjaan nelayan perempuan ini sama dengan nelayan lelaki. Namun hingga kini, pengakuan nelayan sebagai pekerjaan kepada perempuan, belum ada. Mereka ingin mendapat pengakuan status pekerjaan mereka sebagai nelayan dalam kartu tanda penduduk.

Darwati ingin mendapatkan pengakuan kalau para perempuan adalah nelayan dan mendapatkan hak sama, misal, dalam KTP maupun asuransi.

Di KTP, kolom pekerjaan Musakori adalah nelayan. Istrinya masih, tertulis ibu rumah tangga dan belum dianggap nelayan. Mereka memiliki risiko sama, namun istrinya belum ditanggung asuransi.

“Melaut harus dua orang, terpaksa bersama istri. Sekarang cari ABK (anak buah kapal-red) susah. Mau bersama anak-anak, mereka masih kecil. Anak-anak harus sekolah,“ kata Musakori.

Dia juga berkeinginan agar para perempuan nelayan mendapat pengakuan dan hak kartu sama. “Setuju ibu-ibu mendapat kartu nelayan, karena mereka benar-benar nelayan. Ketika Pak lurah minta kami untuk datang kami datang semua.”

Dia cerita, sudah lima tahun mengajak istri melaut. Mereka biasa mencari rajungan. Saat musim rajungan habis, mereka mencari ikan seperti bawal atau kakap.

Sehari mereka bisa mendapat 25 kg rajungan. Akhir-akhir ini hasil tangkapan menurun. Salah satu penyebab, katanya, makin banyak kapal pakai jaring arad.

Jaring arad harus ditarik memakai dua perahu, bahkan tiga. Wilayah operasi perahu jaring arad berimpit dengan wilayah penangkapan nelayan kecil.

Sebagai nelayan kecil, Musakori tak memakai ABK. Selain memotong hasil tangkapan yang tak seberapa, tidak ada yang tertarik jadi ABK perahu kecil berbobot satu GT.

“Misal dapat Rp100.000, dipotong solar, upah ABK Rp25.000, tinggal berapa?”

Dia mengaku kelompoknya pernah mendapat bantuan pemerintah, antara lain pada 2015 mendapat mesin tempel berkekuatan 16 PK 10 unit, dan berkekuatan 9 PK berbahan LPG 13 unit.

Untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masih kurang 37 mesin. Kelompoknya akhirnya memutuskan melelang bantuan untuk para anggota.

Saat hasil tangkapan sepi, nelayan Tambak Polo sebagian menjadi buruh bangunan. Hasil yang tak berapa itu membuat nelayan kecil sulit mengubah nasib mereka.

“Mau meningkatkan alat sudah tidak bisa. Tidak ada modal.”

 

Saat musim paceklik nelayan mengolah ikan kecil dengan cara dikeringkan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

* * *

Menyusuri jalan beton selebar 1,25 meter melewati tambak dan rumah-rumah, Musakori mengantar saya pulang memakai sepeda motor menuju Pasar Kongsi, Bonang, tempat terdekat yang bisa diakses kendaraan roda empat.

“Jalan ini dibangun belum terlalu lama. Dulu, rumah-rumah ini menghadap ke sungai. Setelah dibangun jalan, rumah dibongkar menghadap ke jalan,” katanya saat melewati beberapa rumah di Tambak Polo. Sungai kini menjadi halaman belakang mereka.

Dia masih menyimpan kegusaran dan bertanya, apa yang akan diputuskan pejabat di Jakarta setelah mendapat sorotan media terhadap permintaan perempuan nelayan di daerahnya.

Seharusnya, sudah jadi kewajiban negara memberi pengakuan status nelayan kepada para perempuan nelayan, termasuk di Tambak Polo.

 

 

 

 

Exit mobile version