Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Silang Sengkarut Kebun Sawit di Tesso Nilo (Bagian 2)

Taman Nasional Tesso Nilo, sebagian juga jadi kebun sawit. Akankah masalah 'keterlanjuran' ini selesai dengan aturan turunan UU Cipta Kerja? Foto:

Beginilah nasib Taman Nasional Tesso Nilo, hutan dengan pepohonan itu hilang berganti kebun-kebun sawit. Bagaimana moratorium perkebunan sawit atasi masalah macam ini? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

Setelah 13 tahun berkas kasus mengendap di penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Pekanbaru, di bawah arahan Menteri Siti Nurbaya,  kasus perambahan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) naik ke Kejaksaan Negeri Bangkinang tahun 2017. Sementara surat pemberitahuan mulai penyidikan BBKSDA pada 2004.

Kasus penyerobotan hutan negara Tesso Nilo itu atas nama terdakwa Johannes Sitorus (62), pemilik kebun sawit 500 hektar di Desa Buluh Nipis–kini Desa Kepau Jaya–, Kecamatan Siak Hulu, Kampar. Kawasan ini adalah hutan dalam Taman Nasional Tesso Nilo.

Baca juga: Fokus Liputan: Cerita dari Toro, Dusun Sawit di Tesso Nilo (Bagian 1)

Sidang pertama 4 April 2017,  di Pengadilan Negeri Bangkinang. Dengan tiga kali sidang, tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun kandas oleh putusan sela. Kasus hukum dinilai hakim kadaluarsa. Terdakwa yang sempat ditahan pun bebas.

JPU melakukan perlawanan hukum di Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru usai Lebaran lalu. Hakim justru memperkuat putusan sela PN Bangkinang alias putusan kasus sudah kadaluarsa.

Selain itu, kasus tindak pidana korupsi terdakwa mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bangkinang, Zaiful Yusri (59) pun naik sidang di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada waktu hampir bersamaan dengan Johannes.

Zaiful didakwa karena melegalkan kepemilikan lahan di hutan negara Tesso Nilo atas nama Johannes Sitorus dalam bentuk 271 persil sertifikat hak milik (SHM) seluas 511,24 hektar. Belakangan diketahui kebun dengan sawit berusia belasan tahun itu meluas hingga 560 hektar.

Zaiful sebagai tersangka sejak 2014 oleh Kejaksaan Tinggi Riau namun tiga tahun berikutnya, 2017, berkas baru dinyatakan lengkap.

Kejaksaan Tinggi Riau,  sempat menyegel kebun bernilai Rp17 miliar itu. Di persidangan, hakim memutuskan kasus kadaluarsa. JPU melakukan perlawanan di PT Pekanbaru. JPU menyeret sejumlah pihak sebagai terdakwa untuk menemani Zaiful.

Sejak beberapa tahun terakhir, penegakan hukum bidang lingkungan terutama kehutanan di Riau, jadi fokus pemerintah pusat. KLHK gencar mengincar para perambah hutan Tesso Nilo.

 

Anak gajah baru lahir sedang brmain dengan induknya di Taman Nasional Tesso Nilo. 23 November 2017. Apa yang akan terjadi kalau habitat satwa itu tergerus terus menerus menjadi kebun sawit? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

Aksi penegakan hukum teranyar adalah Kamis (21/12/17). Satu eksavator yang membersihkan lahan untuk kebun sawit di Tesso Nilo diamankan saat keluar dari Desa Kesuma. Tiga tersangka kini disidik.

Mereka sempat membangun jalan sepanjang dua kilometer sejak November lalu. Awal Februari lalu, Penegakan Hukum (Gakum) KLHK, juga menyita sejumlah alat berat dari Tesso Nilo. Kini alat berat itu mangkrak di Kantor Gakum, Jalan HR Soebrantas, Pekanbaru.

Woro Supartinah, Koordinator Jaringan Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), mengatakan, penegakan hukum adalah pintu masuk penyelamatan hutan Tesso Nilo. Tak banyak bisa dilakukan untuk restorasi ekosistem Tesso Nilo kalau penegakan hukum tak gencar.

Soal kekalahan KLHK dalam kasus besar seperti kepemilikan 271 persil SHM di Tesso Nilo, Woro menilai penegakan hukum belum sesuai harapan. Namun jikapun KLHK menang, kadang eksekusi putusan sulit.

“Gakum sedang berjalan dan beberapa sudah diproses. Gakum masih terlalu lambat karena (memang diakui) kita berhadapan dengan masyarakat yang sudah terdistorsi dengan nilai-nilai kapital,” katanya.

Ahlul Fadli, Koordinator Riau Corruption Trial, lembaga nirlaba pemantau peradilan berbasis di Pekanbaru menyayangkan, kekalahan KLHK dalam kasus kepemilikan lahan. Seharusnya, katanya,  hakim bisa melihat penjualan hutan masih terus berlangsung hingga kini.

Menurut dia, pertanyaan mendasar soal berkas mengendap begitu lama, sampai 13 tahun. “Apa yang terjadi dalam PPNS KLHK di Riau? Kenapa begitu lamban. Sangat disayangkan,” katanya.

Mongabay beberapa kali menghubungi Eduward Hutapea, Kepala Balai Gakum Wilayah II Sumatera, KLHK melalui WhatsApp terkait apa upaya penegakan hukum di Tesso Nilo termasuk tanggapan kasus usang berusia 13 tahun itu. Hingga Jumat (29/12/17) belum bisa memberikan komentar.

Mongabay juga ke Kantor Balai Gakum di Pekanbaru, Jumat siang, namun menurut penjaga kantor, Eduward sedang di luar kantor.

Pemerintah pusat pada 2016, membentuk tim implementasi program Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN). Tim dibagi menjadi kelompok kerja dan kelompok operasional. Tim Pokja dikepalai langsung oleh Sekjen KLHK sementara tim operasional dipimpin Kepala Balai Besar KSDA Riau, Mahfudz. Lembaga swadaya masyarakat yang jadi bagian pelaksanaan RETN ini adalah WWF, Mitra Insani, Walhi Riau, Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo dan Jikalahari.

 

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

 

Dokumen itu…

Dalam satu dokumen bertuliskan rahasia yang diterima Mongabay menyebutkan,  soal peta kepemilikan kebun ilegal di Tesso Nilo. Dokumen PDF dua halaman itu dibahas oleh sejumlah pihak bersama Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK Maret 2016.

Dokumen itu menyertakan laporan hasil survei 24 halaman. Survei awal Maret 2016 oleh Eyes on the Forest, organisasi gabungan Walhi Riau, Jikalahari dan WWF. Ia memuat detil hutan sekunder itu dikuasai ilegal oleh individu, pemodal, kelompok tani bahkan penegak hukum dan oknum pemerintah daerah. Usia tanaman sawit antara satu hingga sembilan tahun.

Dokumen menyebutkan, ada 64 titik kebun sawit dimiliki pemodal atau cukong di eks konsesi HPH PT Hutani Sola Lestari (HSL). Luas mencapai 12.000 hektar lebih. Izin HSL 45.990 hektar.

Di eks konsesi PT Siak Raya Timber (SRT) kini dikuasai kebun sawit 14.235 hektar di 36 titik dari luas areal konsesi 38.560 hektar. Kawasan inti TNTN dikuasai cukong di 150 titik dengan rincian 44.000 hektar lebih ditanami sawit, 7.000 hektar terbuka, 4.000 hektar kebun akasia, sisanya hutan alam 20.000 hektar. Luas kebun sawit ilegal perseorangan atau cukong di Tesso Nilo beragam mulai dari lima hektar hingga 1.000 hektar. Dalam daftar itu hanya satu cukong punya 26 hektar, selebihnya rata-rata 50 hektar.

Laporan itu juga menyertakan data dan bukti bagaimana modus penjualan hutan negara. Modus biasa dipakai, dengan pemberian surat keterangan tanah (SKT) dari oknum aparat desa dan surat keterangan hibah dari kepala adat setempat.

Biasa tokoh adat menyerahkan area kepada seorang koordinator. Bahkan bukti kuitansi penjualan juga disertakan. Dalam laporan itu, transaksi jual beli berlangsung sejak 2006, merujuk dokumen kuitansi.

 

Truk mengangkut hasil panen sawit di Tesso Nilo, Minggu 12 November 2017. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Agus Suroso, pekerja swasta di Pekanbaru, mengungkapkan,  bagaimana modus jual-beli lahan di Tesso Nilo. Dia pernah membeli 1.000 hektar lahan di Desa Bukit Kesuma. Sebagian besar masih hutan.

Dia beli 500 eksemplar SKT awal 2008. Satu SKT dua hektar. Selang beberapa bulan, Menteri Kehutanan MS Ka’ban memperluas TNTN hingga ke kebun dalam taman nasional—setelah perluasan.  Dia sempat menggarapnya.

“Kayak transaksi biasa aja. Di rumah mereka (Bukit Kesuma),” kata Agus akhir November lalu di Pekanbaru. “Cash. Bertahap. Surat selesai, baru kasihkan duit. Saya pernah naroh di meja ini Rp400 juta.”

Agus bermaksud membangun pesantren mandiri, koperasi dan kebun. Kepala adat dan kepala desa meyakinkan dia bahwa hutan-hutan itu bebas dari masalah hukum dan punya adat. Setelah dia tahu, perluasan TNTN hingga ke lahan yang dibeli, Agus mundur meski sempat menggarap. Dia minta pertanggungjawaban pihak-pihak yang menerima uang dan menandatangani surat jual beli.

“Saya tahu hukum,  maka saya mundur. Dak pernah ada tanggapan (dari penjual). Malah begitu tanah itu saya tinggalkan, ada orang-orang dari Medan itu justru beli balik lewat anak- kemenakan. Dah tiga perempat lebih dah jadi kebun sawit,” kata Agus. Dia rugi Rp1,5 miliar.

Afdhal Mahyuddin, editor Eyes on the Forest kepada Mongabay pertengahan Desember lalu membenarkan, data detil kepemilikan ilegal kebun sawit di Tesso Nilo, keluaran mereka.

“Di data itu juga lengkap dengan nama-nama pemilik atau cukongnya, termasuk apa pekerjaan mereka saat ini. Mungkin harus di-update lagi (terkait kepemilikan-red),” katanya, pertengahan Desember.

Data-data itu, katanya, untuk menunjang implementasi RETN. Dia sendiri yakin, jika penegakan hukum serius, restorasi Tesso Nilo bisa terwujud terlebih karena program melibatkan masyarakat. RETN mulai Maret 2016 dengan penyusunan dan pengesahan tim operasional.

Dokumen yang sempat dibahas di KLHK itu juga mengungkapkan bagaimana strategi pemerintah dalam menyelamatkan kawasan melalui tindakan penegakkan hukum.

Ada beberapa rekomendasi penanganan kasus, seperti mengincar cukong dengan kepemilikan kebun sawit terluas hingga pilihan menangani kasus melihat kelengkapan dan kemudahan penanganannya.

Pertengahan Desember lalu, Mongabay menghubungi Ketua tim operasional RETN, Mahfudz juga Kepala Balai Besar Konservasi dan Sumberdaya Alam Riau. Dia menolak berkomentar. Begitu juga Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Supartono.

Di tempat terpisah, kepada Ayat S Karokaro dari Mongabay pada 20 Desember 2017, Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah I Lubuk Kembang Bunga TNTN, Taufiq Haryadi mengatakan, sedang pendataan masyarakat di dalam dan luar TNTN. Namun,  ada pendataan satu desa hampir rampung.

“Sudah hampir 40% kalau dari luas seluruh desa. Namun kebijakan-kebijakan ini saya sendiri belum bisa sampaikan. Inikan tingkat pusat kebijakannya bagaimana nanti ke depan.”

Soal luas hutan tersisa di TNTN, katanya, tinggal 19.000-20.000-an hektar. Namun, dua tahun terakhir, dia yakin perambahan baru cenderung berhenti. “Dalam dua tahun terakhir untuk pembukaan cenderung stagnan, berhenti,” katanya.

Yuliantoni, Direktur Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo mengatakan, pemerintahan saat ini cukup cepat bergerak menindaklanjuti laporan dengan upaya penegakan hukum. Bahkan penangkapan satu alat berat pada Kamis, (21/12/17) di Desa Kesuma merupakan laporan warga.

“Sangat cepat direspon. Itu laporan dari kita. Ketika mau keluar ditangkap. Besok datang. Balai (Gakum) sekarang cukup cepat respon. Sekarang dengan (aplikasi) WA aja mereka langsung tindak lanjut,” katanya, Kamis (28/12/17). (Bersambung)

 

Warga membersihkan kebun sawit yang baru dibeli di Taman Nasional Tesso Nilo, Minggu, 12 November 2017. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version