Mongabay.co.id

Damulu Banua, Merayakan Kehidupan di Kaluppini

Pagi-pagi, halaman masjid tua telah penuh dengan kendaraan motor dua roda. Berteduh di bawah sebuah pohon beringin besar berusia ratusan tahun. Orang-orang datang dari berbagai penjuru kampung, membawa beragam macam bahan makanan. Ada yang membawa belasan ekor ayam, songkolo (nasi dari beras ketan), nasi putih dan pisang bertandang-tandang. Jika laki-laki membawa parang yang diselipkan di pinggang, maka perempuan membawa pisau dapur, panci dan peralatan dapur lainnya.

Hari itu, Senin, tepat 1 Januari 2018, masyarakat adat Kaluppini di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, tengah merayakan salah satu ritual besar di komunitas tersebut, yaitu Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, atau bahasa lokalnya Damulu. Ada banyak macam Damulu, namun yang terbesar adalah Damulu sekarang ini, yang biasa disebut Damulu Banua, atau Maulid Akbar. Biasanya dilakukan di dalam Masjid Muttaqin Kaluppini, yang konon merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Enrekang.

Bagi masyarakat Kaluppini, Damulu adalah sebuah ritual keagamaan yang wajib dilaksanakan. Jika di daerah lain, waktu pelaksanaan maulid hanya sebulan saja, maka di Kaluppini berlangsung hingga tiga bulan. Dalam rentang tiga bulan ini, setiap rumah tangga yang memiliki hajatan ataupun kebetulan ada pesta perkawinan ataupun kematian, biasanya akan dirangkaikan dengan perayaan maulid tersebut.

 

Tradisi maulid akbar atau Damulu Banua dirayakan oleh seluruh warga Kaluppini, Kabupaten Enrekang, di Masjid Muttaqin. Damulu Wanua menjadi salah satu tradisi besar yang masih bertahan dan paling meriah setelah ritual Pangewarang atau Maccera Manurung, yang dirayakan sekali delaoan tahun. Bahkan warga Kaluppini di perantauan banyak yang datang untuk mengikuti ritual ini. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Pelaksanaan Damulu Banua ini sendiri memiliki makna tersendiri, karena merupakan puncak perayaan maulid. Semua orang yang pernah bernazar atau bermohon sesuatu kepada Tuhan, akan membayar nazarnya sesuai dengan kemampuannya. Ada yang membayar dengan memotong beberapa ekor ayam. Bagi yang memiliki uang lebih, akan memotong seekor atau beberapa ekor sapi.

“Tahun ini ada ada sekitar 509 ekor ayam dan lima ekor sapi yang dipotong sebagai kurbankan. Termasuk paling banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya,” ungkap Abdul Halim, Imam Kaluppini, salah satu dari empat pemangku adat tertinggi yang disebut Tau Appa. Ia tahu betul jumlah sapi yg dikurbankan karena setiap ayam atau sapi yang akan dipotong harus dicatat dan diberkati oleh seluruh pemangku adat yang ada di komunitas itu.

Ratusan ayam dan sapi itu dipotong di hari itu dan menjadi tahapan penting pelaksanaan Damulu Banua. Hewan-hewan ternak itu, setelah diberkati, langsung dipotong oleh salah seorang pemangku adat. Ayam-ayam yang telah dipotong segera dibersihkan, direndam di air panas sebelum dicabuti bulu-bulunya. Setelah bersih, ayam itu dibakar hingga hangat dan benar-benar bersih. Puluhan lelaki kemudian memotong ayam-ayam itu dalam potongan kecil, lalu dikumpulkan, sebelum akhirnya dimasak dengan hanya menggunakan bumbu garam.

Selama menunggu masaknya makanan tersebut, di dalam masjid, para pemangku adat bersama warga membaca barzanji. Dilafalkan berulang-ulang dengan dengan irama tertentu, khas Kaluppini. Laki-laki dan perempuan berkumpul di dalam masjid, meski tak bercampur. Di tengah-tengah masjid terdapat tumpukan pisang yang tersusun rapi, yang sekelilingnya dipenuhi makanan songkolo dan nasi putih yang terbungkus daun pisang.

“Maulid di sini tanpa telur, beda dengan tempat lain,” ujar Abdul Halim sebelum pelaksanaan acara.

 

Dalam Damulu Banua ini, seluruh warga Kaluppini, Kabupaten Enrekang bergotong royong menyajikan makanan yang akan dimakan bersama. Ratusan ekor ayam dan lima ekor sapi yang dipotong diolah secara bersama sebagai ungkaoan rasa syukur atas kehidupan dan rezeki. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Setelah seluruh makanan selesai dimasak, beberapa laki-laki mulai mendatangi warga yang hadir satu persatu membagikan songkolo, nasi, ayam dan sapi yang siap santap. Sebagai pengganti piring digunakan daun jati dan daun pisang. Sementara untuk pengganti mangkuk sop, digunakan tempurung kelapa.

Suhardin, Kepala Desa Kaluppini kemudian berkeliling mengawasi pembagian makanan tersebut. Tidak hanya di dalam masjid, orang-orang di luar masjid juga mendapatkan jatah makanan yang sama. Selama proses pembagian makanan ini tak boleh ada yang mendahului makan. Makanan baru bisa dikonsumsi setelah semua orang yang hadir mendapatkan jatah makanan.

Penggunaan daun jati dan daun pisang ternyata memiliki maksud tersendiri. Daun-daun itu nantinya digunakan sebagai pembungkus makanan yang tidak dihabiskan, karena porsinya memang cukup besar. Sisa makanan itu, yang disebut nande sesa atau ‘makanan sisa’ akan dibawa pulang, untuk dimakan bersama keluarga.

 

Bertahan dengan Tradisi

Penyelenggaraan maulid secara besar-besaran merupakan salah satu tradisi yang masih bertahan di Kaluppini. Ini adalah ritual terbesar kedua setelah ritual delapan tahunan yang disebut pangewarang atau Maccera Manurung. Antusiasme warga bisa terlihat dari jumlah yang datang dan memberi kurban berupa ayam dan sapi.

Damulu Wanua ini adalah tradisi yang masih sangat diminati warga. Sebuah perayaan rasa syukur atas kehidupan. Mereka malah ada yang datang dari rantauan, seperti Malaysia atau Kalimantan. Apalagi jika mereka punya nazar yang harus ditunaikan,” ungkap Abdul Halim.

Tradisi Damulu Banua ini sendiri menunjukkan pertautan antara Islam dan kebudayaan masyarakat Kaluppini. Jika tradisi pangewarang banyak terkait pada kebudayaan pra-Islam, maka Damulu Banua terkait pada ritual Islam.

“Dalam banyak ritual di Kaluppini, pasti akan ditemukan banyak simbol-simbol keagamaan yang merujuk pada agama Islam. Bahkan dalam pemangku adat pun terlihat adanya pembagian yang jelas antara peran agama dan adat, yang meski terpisah namun saling mendukung satu sama lain. Damulu Banua ini adalah sebuah contoh pengaruh Islam,” ungkap Nurbaya, peneliti dari Politekes Mamuju, Sulawesi Barat, yang sedang mengkaji ketahanan pangan dalam masyarakat adat, dengan studi kasus di Kaluppini.

 

Ratusan ayam yang telah dipotong dan diolah sedemikian rupa dikumpulkan dalam sebuah wadah besar. Dimasak dengan hanya menggunakan bumbu garam. Dalam acara ini setiap orang yang hadir akan mendapatkan jatah makanan yang sama dan dimakan bersama di tempat itu Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Nurbaya, Kaluppini memiliki keunikan karena meski terpapar arus modernisasi dan teknologi, namun sebagian besar tradisi masa lalu masih dipertahankan. Kepatuhan masyarakat terhadap adat menjadi modal sosial perekat masyarakat.

“Tradisi Damulu Banua ini menunjukkan masih terjaganya budaya gotong royong. Antar masyarakat saling menjaga dan saling memberi. Begitu banyaknya ritual yang biasanya terkait dengan adanya makanan, akan menjamin takkan ada seorang pun yang akan kelaparan di daerah ini,” ujanya.

Keberadaan adat yang kuat ini, tambah Nurbaya, juga membuat masyarakat bisa mempertahankan hutan yang ada. Dalam masyarakat adat Kaluppini ini mengenal pembagian ruang yang disebut Tana Ongko, yang berjumlah 13 kawasan, yang sebagian besar adalah hutan dan kawasan padang ilalang yang tidak bisa dikelola seenaknya. Bahkan mengambil madu atau berburu babi pun harus mendapatkan izin dari adat.

“Hutan-hutan terpelihara ketika masyarakat masih taat pada ketentuan adat yang ada. Ada sanksi adat bagi yang melanggar, sehingga tak ada yang berani melanggar. Masyarakat pun bisa turut menjaga kawasan hutan yang ada,” tambahnya.

Kelestarian adat, budaya dan alam Kaluppini bukannya tanpa ancaman. Beberapa kali kawasan ini pernah akan dijadikan kawasan tambang dan perkebunan sawit, meski kemudian mendapat penolakan.

Tantangan lain adalah masuknya pertanian modern dengan input pupuk dan pestisida yang cukup besar. Berkembangnya budidaya jagung secara intensif beberapa tahun terakhir bisa menjadi ancaman besar jika tidak terkelola dengan baik.

Sejumlah tanaman lokal, seperti battang atau jewawut mulai jarang ditemukan. Lahan jewawut yang ada saat ini, jumlahnya sedikit, tetap dipertahankan hanya untuk memenuhi kebutuhan ritual. Selain perawatan yang rumit dan lokasi tumbuh yang sulit, budidaya pangan lokal ini juga dinilai tidak ekonomis, kalah dari komoditas jagung.

Battang butuh kondisi tanah yang baru, tidak bisa tumbuh di sembarang lokasi, sehingga kemudian semakin ditinggalkan warga,” jelas Abdul Halim.

 

Exit mobile version