Mongabay.co.id

Cerita dari Kasepuhan Karang Pasca Penetapan Hutan Adat

Wilayah adat Kasepuhan Karang, Lebak, Banten. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Sore itu pertengahan Desember 2017, hujan turun membasahi Kasepuhan Karang di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tepatnya, di Desa Jagakarsa, Kecamatan Muncang, Lebak, Banten. Saya bersama rombongan Glamour Camping (Glamping) melewati jalan setapak menuju kebun orangtua Jaro Wahid, Kepala Desa Jakaraksa.

Kami hendak melihat ayah Jaro, yang sedang memanen nira dengan pohon aren setinggi 25 meter. Jalan becek membuat langkah kami sedikit terhambat karna kontur licin dan menanjak. Tak jarang beberapa tergelincir.

Kebebasan pergi ke ladang mereka nikmati masyarakat Kasepuhan Karang dalam satu tahun terakhir, sejak Presiden Joko Widodo memberikan penetapan hutan adat Kasepuhan Karang pada 30 Desember 2016 seluas 486 hektar.

”Kami sudah tak perlu mencari jalan memutar dan takut pergi ke sawah dan ladang. Dulu, kalau bawa hasil kebun harus muter,” kata Een Suryani, perempuan adat Kasepuhan Karang.

Ibu satu anak ini sangat bergantung hidup dari hasil berkebun dan bertani.

Sebelum ada pengakuan hutan adat, katanya, mereka takut mantri hutan atau polisi hutan. Ketakutan itu sejak puluhan tahun.

Wilayah Kasepuhan Karang seluas 486 hektar, terdiri 462 hektar Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan 24 hektar di areal penggunaan lain (APL), tumpang tindih dengan TN Gunung Halimun Salak.

Sejak 1924-2934, masa kolonial Belanda wilayah mereka masuk hutan halimun, terhitung kawasan lindung. Tahun 1963, berubah jadi cagar alam lalu pada 1978 jadi hutan produksi di bawah pengelolaan Perhutani Unit III Jawa Barat. Kemudian 2003, dari hutan produksi jadi kawasan konservasi di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Perubahan status ini, berdampak luar biasa bagi warga. Masyarakat tak bisa mengakses hutan mereka, untuk berladang, memanen buah dan kopi. Mereka dianggap ilegal.

Merekapun memperjuangkan hak kelola hutan selama berpuluh tahun, baru tahun lalu masyarakat Kasepuhan Karang, dapat melepas lega.

”Kita mengelola wilayah ini mengikuti aturan adat Kasepuhan Karang. Ada istilah tatali paranti karuhun. Kita sudah diberi kepercayaan oleh Presiden Jokowi, jadi hutan harus dijaga,” kata Een, juru bicara tetua adat.

 

Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Tatali paranti karuhun, berarti mengikuti, menaati dan mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti para karuhun yang memiliki nilai-nilai tak hanya tataran religius, juga tercermin pada institusi sosial, sistem kepemimpinan serta tata cara berinteraksi dengan alam.

Dalam pengelolaan hutan, masyarakat Kasepuhan Karang membagi dalam beberapa kategori. Dari 487 hektar, terbagi dalam, pertama, leuweung kolot (paniisan), yakni hutan yang berfungsi sebagai daerah mata air. Ia jadi tutupan yang sangat dijaga dan tak bisa untuk keperluan apapun.

Engkos Kosasih, pemuda adat mengatakan, tutupan ini meliputi area mata air dengan jarak 100 meter tak boleh dimanfaatkan. ”Jangankan menebang tanaman, di beberapa daerah paniisan hanya bisa dilalui orang tertentu dan melakukan sejumlah ritual adat terlebih dahulu,” katanya.

Kedua, leweung cawisan atau wilayah titipan cadangan untuk kepentingan berkebun, bersawah dan pemukiman, bisa dimanfaatkan langsung.

Wilayah adat ini, katanya, terbagi dalam 96 hektar leuweung cawisan berada di Gunung Haruman, untuk leuweung kolot seluas 389,207 hektar tak bisa diganggu sama sekali. Luasan ini berdasarkan penetapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2016.

Secara peta partisipatif masyarakat, luas wilayah adat terdiri dari kasepuhan 1.081 hektar, leuweung kolot (paniisan) 2.101 hektar, leuweung cawisan 4.157 hektar, hutan 389, 207 hektar dan Gunung Haruman 96.179 hektar.

Kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan lahan di kasepuhan ini berdasarkan kontur dan kemiringan tanah. Pertama, aib lembur berupa sumber mata air sebagai tempat keramat. Kedua, Gunung Kayuan, menempatkan hutan sebagai hamparan lahan dipenuhi aneka ragam kayu yang tak boleh ditebang.

Ketiga, lamping awian yakni lahan curam ditanam berbagai jenis tanaman yang bisa menahan longsor dan tanaman yang menghasilkan air seperti bambu. Keempat, lebak sawahan, kontur di bawah atau kaki gunung untuk sawah dan sumber pangan.

Kelima, legok balongan atau tempat penyimpanan air sebagai kolam dan datar imahan yakni lahan yang datar yang tak berbahaya untuk jadi pemukiman.

Secara turun-temurun, hukum adat disampaikan secara lisan, bagi yang melanggar, ada sanksi adat.

 

Para perempuan adat Kasepuhan Karang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

***

Ego, warga adat Kasepuhan Karang masih mengeluhkan di Desa Jagaraksa, ekonomi hanya bertani. Saat masih muda, dia sempat pergi ke Kota Cilegon hampir 1,5 tahun jadi buruh pabrik.

”Di sini tak ada lagi pekerjaan selain bertani,” katanya.

Bangunan rumah Ego pakai keramik dan dinding di dapur juga keramik, merupakan hasil kerja di kota. Setelah pengakuan hutan adat, Ego merasakan kelegaan menanam pohon, berkebun dan bersawah buat kehidupan sehari-hari dan bekal masa depan kedua anaknya.

Dia berharap, pasca pengakuan ini ada peluang ekonomi selain bertani. Iti Octavia, Bupati Lebak menyakini, penetapan hutan adat memberikan angin segar dalam upaya peningkatan ekonomi, pemberdayaan masyarakat tanpa merusak kearifan lokal mereka.

Kepercayaan ini, katanya, perlu dijaga dengan mengelola hutan adat dan tetap lestari. ”Pekerjaan rumah sekarang itu, gimana tak ada penebangan liar, hutan dijaga buat anak cucu dan,” katanya saat Festival Hutan Adat Leuweung Adat Kasepuhan Karang, baru-baru ini.

Melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan dari Kabupaten Lebak ini, jadi dasar penetapan hutan adat.

Setelah Kasepuhan Karang, menyusul Kasepuhan Cirompang, Pasir Erih, Cibeduk, Citorek, Cisitu dan Cibarani.

Iti berjanji, konsisten memperjuangkan hak masyarakat adat. Dia sadam, masyarakat Kasepuhan banyak tinggal di sekitar hutan. Bedasarkan catatan pemkab, ada 551 kasepuhan di Lebak dengan satu suku, yakni Baduy.

Mardha Tillah, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia mengatakan, perlu ada sosialisasi menyeluruh soal pengakuan Kasepuhan Karang ini. Karena, masih ada pihak-pihak yang memahami penuh soal pengakuan kasepuhan ini.

”Pendampingan dan dukungan dari pemda maupun pemerintah pusat jadi pekerjaan rumah selanjutnya,” katanya.

Dia rasa penting menambah mata pencaharian masyarakat, misal, pengelolaan produk hutan non kayu, pengembangan ekowisata, permodalan dan kelembagaan keuangan lokal.

Selain itu, katanya, perlu ruang dan peran perempuan terlibat dalam pengelolaan hutan. Perlu juga terbangun safe guard, agar persepsi masyarakat dalam mengelola hutan dan komoditas tetap di jalur tatali paranti karuhun alias tak eksploitatif.

Masyarakat, katanya, jangan pernah tergiur investor yang ingin menguasai hutan dengan janji-janji kesejahteraan dan pembangunan desa.

Berdasarkan data RMI 2016, warga Desa Jagakarsa hanya 23% menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun, 65% hanya tamatan sekolah dasar, dan 80% penduduk bekerja sebagai petani ataupun buruh.

Pada 2018, para pemuda desa adat akan menginventarisasi batas-batas wilayah penggarap setiap warga, komoditas dan potensi di wilayah itu.

 

Ekowisata persona Meranti Cepak Situ, Kasepuhan Karang. Foto: Lusia Aruningtyas/ Mongabay Indonesia

 

Potensi ekowisata

Dalam rangkaian festival adat itu, Bupati Lebak juga meresmikan Kawasan Wisata Pesona Maranti Cepak Situ. Ia jadi salah satu potensi di Kasepuhan Karang. Turis bisa menikmati alam dan mempelajari adat Kasepuhan Karang.

Menurut Tilla, ekowisata, bisa jadi salah satu upaya menjaga hutan sekaligus mendapatkan manffat ekonomi bagi masyarakat.

”Paling tidak yang subsisten terpenuhi, jangan langsung lompat ke skala ekonomi besar,” katanya.

Engkos Kosasih mengatakan, dengan ada pengakuan hutan adat menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam melakukan kegiatan.

Saat festival itu, mulai ada pengenalan dan penawaran paket ekowisata kepada masyarakat. ”Ini baru pertama kali yang menginap, kalau yang datang ke Cepak Situ paling desa tetangga. Kemarin Dinas Pariwisata juga mau menginap tapi penuh,” katanya.

Suguhan ekowisata itu, antara lain, Glamour Camping, menyediakan tempat kemah dilengkapi fasilitas lengkap dengan pemandangan sawah di sekeliling.

Turis juga dapat berinteraksi dengan penduduk desa, melihat masyarakat Kasepuhan memanen nira di kebun hingga jadi gula aren. Bahkan, bisa berkunjung ke imah gede atau tempat tinggal Tetua Kasepuhan. Kita pun bisa berjalan menuju kebun kopi dan ke curug.

 

Padi produksi Kasepuhan Karang. Foto: Lusia Aruningtyas/ Mongabay Indonesia
Gula aren, produksi Kasepuhan Karang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version