Mongabay.co.id

Jalan Panjang Perempuan Nelayan Demak Peroleh Kesetaraan

Uminatus Sholikah, mengumpulkan kembali berkas administrasi milik 30 nelayan perempuan dari dua dukuh di Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Demak, Jawa Tengah. Rabu, 10 Januari 2018, dia dapat kabar dari Musakori, Ketua Kelompok Nelayan Jaya Bahri, bahwa Kades Purworejo bersedia mengubah status pekerjaan para perempuan ini jadi nelayan.

“Katanya Pak Lurah minta berkas besok Kamis (11 Januari-red) dikumpulkan, kata buruh akan dicoret,” tulis Umi dalam pesan singkatnya, Rabu itu.

Siti Darwati, perempuan nelayan yang tengah memperjuangkan status nelayan senang mendengar kabar itu. Pada kolom pekerjaan di KTP, tertulis ibu rumah tangga. Bersama-sama perempuan nelayan lain mereka menuntut status jadi nelayan. Pemerintah desa waktu itu belum menyetujui sebagai nelayan.

Tiga minggu lalu Umi masih pontang panting mengenggam setumpuk berkas administrasi milik 30 perempuan nelayan di pesisir laut Jawa ini.

Berkas itu berisi KTP dan kartu keluarga asli beserta fotokopi, surat pernyataan bermaterai dari desa tentang perubahan identitas kependudukan, surat yang menandakan sudah membayar lunas Pajak Bumi dan Bangunan, bukti sumbangan PMI, dan surat kelengkapan lain.

Sejak Juni tahun lalu, dia bolak balik ke kantor desa mengurus surat pernyataan yang menyebut mereka sebagai nelayan. Seingat dia, sudah enam kali bertemu Ahmad Saifullah Al Asadul Usud, Kepala Desa Purworejo, bertanya dan mengurus berkas. Sejak itu, hampir tiap hari dia mendatangi kantor desa.

 

Bukan buruh nelayan

Jumat pagi, 15 Desember, dia kembali ke Kantor Desa Purworejo. Umi diminta datang memastikan tanggal pertemuan antara warga dan perangkat desa.

“Saya dikasih pilihan Sabtu pagi atau Minggu sore. Saya bilang Minggu sore saja Pak, saya kan perlu nyebar undangan,” ucap Umi.

Perempuan nelayan ini aktif di Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) dan Puspita Bahari, organisasi perempuan nelayan di Kecamatan Bonang. Umi bikin aneka olahan hasil laut, seperti kerupuk cumi (kerupuk warna hitam).

Para perempuan nelayan yang dia dampingi kebanyakan tinggal di Dukuh Tambak Polo, sebagian di Tambak Malang. Mereka tak selalu berada di rumah. Selain mengurus rumah tangga, para perempuan itu juga pergi melaut bersama suami. Berangkat pukul 3.00 pagi, kembali pukul 6.00 usai matahari terbit.

Pekerjaan itu diulangi lagi sore hari hingga petang. Saat siang, beberapa dari mereka harus ke pasar menjual hasil tangkapan.

Sama seperti para suami mereka, para nelayan kecil. Mereka rentan mendapat risiko kecelakaan selama bekerja. Bedanya, karena status pencatatan sipil menyebut sebagai ibu rumah tangga mereka tak bisa mengurus kartu nelayan. Dengan kartu itu, perempuan nelayan mendapat jaminan dan perlindungan sebagai nelayan. Mereka juga bisa mengakses program bantuan pemerintah untuk nelayan.

 

 

Di hari yang dijanjikan 30 perempuan nelayan bersama suami berbondong-bondong memakai sepeda motor mendatangi Kantor Desa Purworejo. Sepeda motor satu-satunya alat transportasi darat dari lingkungan mereka tinggal ke luar dukuh.

Barang lebih besar, misal, perabot rumah tangga atau bahan bangunan hanya bisa diangkut pakai perahu. Barang-barang itu diangkut mendekat ke rumah-rumah warga yang terletak di sepanjang muara sungai yang terhubung ke laut Jawa.

“Ada tokoh masyarakat yang meragukan kemampuan perempuan jadi nelayan. Dia juga tak percaya perempuan bisa disebut nelayan menurut UU. Mereka kan berhak mendapat perlindungan sama seperti nelayan laki-laki. Saya pun tunjukkan UU-nya,” kata Umi kesal.

Akhirnya, surat perubahan disetujui kepala desa disertai materai, disaksikan perangkat desa. Surat dicetak pihak desa, warga menyediakan materai.

“Setelah diserahkan, belakangan kami baru menyadari, status pekerjaan berubah dari ibu rumah tangga jadi buruh nelayan. Bukan nelayan perikanan seperti yang kami minta.”

Menyadari ada kesalahan, kembali mereka meminta pihak desa mengubah bunyi surat pernyataan itu. Setelah melewati percakapan dan komunikasi lewat pesan pendek yang alot, akhirnya kades setuju bertemu.

 

 

***

Jumat, 22 Desember 2017, adalah Hari Ibu. Di banyak tempat, banyak merayakannya. Di Desa Purworejo, sejumlah perempuan nelayan ditemani organisasi masyarakat sipil, dan wartawan bertemu kepala Desa Purworejo, demi pengakuan status.

Dalam pertemuan singkat Kades Purworejo, Ahmad Saifullah masih menolak permintaan perempuan nelayan mengubah status kependudukan yang sudah tercetak. Perubahan hanya ibu rumah tangga jadi buruh nelayan. Asumsinya, para istri membantu suami. Dia mengumpamakan, suami istri melaut seperti pemilik kapal dan anak buah kapal (ABK).

“Ada beberapa asumsi yang ingin kami sampaikan. Nelayan dan ABK nelayan itu pekerjaan sama. Tetapi nelayan dan ABK nelayan itu dibuktikan dari kepemilikan kapal. Jika bapak ibu bisa membuktikan itu dengan pas maka bisa disebut nelayan,” katanya.

Penyebutan buruh nelayan, kata Saifullah, bukan berasumsi merendahkan pekerjaan buruh. Pada kesempatan itu dia meminta surat edaran bahwa istri nelayan yang ikut suami melaut bisa disebut nelayan.

“Kalau dari DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan), kementerian, ibu bisa dikategorikan nelayan monggo. Kami minta surat edarannya supaya kami bisa membaca hingga bisa menjadi tolok ukur kebijakan,” kilahnya.

Susan Herawati Romica, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) yang hadir dalam pertemuan itu merespon dengan menyatakan nelayan atau bukan untuk ibu-ibu Tambak Polo tak bisa diukur dari kepemilikan kapal.

“Mereka melaut bersama-sama, dan jadikan laut sumber kehidupan. Tak ada kontrak kerjasama antara suami istri. Skema juragan dan buruh tak bisa diterapkan pada mereka. Kalau kembali ke UU, mereka jelas disebut nelayan kecil.”

Pengakuan itu, katanya, jadi kunci bagi eksistensi nelayan kecil terutama perempuan. Kalau negara tak mengakui mereka, kata Susan, janji menyejahterakan mereka jadi tanda tanya besar.

 

Kustiah, perempuan nelayan dari Tambak Polo, memperlihatkan ikan hasil tangkapan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Tak paham

Masnuah, Sekjen PPNI, melihat ada persoalan di tingkat bawah. Perangkat desa di wilayah nelayan justru kurang memahami UU Perlindungan Nelayan. Buntutnya, perempuan nelayan tak mendapat hak sepenuhnya.

“Saya sudah jelaskan, ini lho pak, lihat UU. Nelayan adalah pekerjaan mencari ikan. Mencari ikan tak harus pakai perahu. Kerang, cari kepiting, ubur-ubur, semua masuk definisi nelayan. Saya kemarin seperti tutor. Karena kepala desa tidak bisa menjelaskan.“

Kenyataan ini, katanya, makin sulit kala pandangan stereotip yang memposisikan perempuan di sektor domestik. Hal itu membuat eksistensi perempuan nelayan makin tersingkir. Padahal, ada banyak perempuan jadi tulang punggung keluarga nelayan.

Belum lagi, tafsir ajaran agama yang keliru, melihat istri harus melayani suami dalam pengertian sempit.

“Sering ketemu orang-orang yang menafsirkan agama bahwa perempuan jangan melebihi laki-laki. Perempuan itu membantu.”

Menurut UU No 7/2016, tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, dalam ketentuan umum sudah terang menyebutkan nelayan adalah setiap orang yang mata pencaharian melakukan penangkapan ikan.

Dalam Pasal 6, menyebut termasuk nelayan adalah nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh, dan nelayan pemilik kapal 10 GT sampai 60 GT.

Dalam Pasal 9, ada kewajiban bagi pemerintah daerah mencantumkan pekerjaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam dalam pencatatan administrasi kependudukan.

Pasal inilah yang menimbulkan persoalan di Purworejo. Perempuan nelayan di desa itu menganggap pemerintah desa cukup menuliskan pekerjaan sebagai nelayan, bukan memerinci apakah mereka nelayan kecil, nelayan tradisional, buruh, atau pemilik kapal.

 

Uminatus Sholikah, membawa berkas milik para perempuan nelayan yang menuntut pengakuan nelayan sebagai pekerjaan mereka dalam administrasi seperti KTP dan kartu keluarga. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Berbeda di desa tetangga, Morodemak, hanya terpisah sungai. Perempuan nelayan di Purworejo, belum seberuntung rekan mereka di sana. Pengajuan status pekerjaan mereka sebagai nelayan disetujui cepat Kades Morodemak.

Menjelang malam, kami menemui Mujahidin, Kades Morodemak. Sambil disuguhi camilan kerupuk ikan hasil olahan warga setempat, lurah Morodemak menjawab beberapa pertanyaan kami.

“Saat mereka mengajukan itu saya tanya perangkatnya. Memang mereka sering ikut suami. Ada dua perempuan yang mengajukan. Sebenarnya tiga, tapi tidak meneruskan,” kata Mujahidin.

“Kalau melanggar UU ya nanti dikembalikan. Faktanya, mereka memang nelayan. Saya memberi keterangan sesuai yang ada. Dalam pengajuan KTP ada surat pengantar dari RT RW, disebutkan pekerjaan dan pekerjaan sehari-hari nelayan. Ya sudah. Staf saya juga tidak ada yang menolak,” katanya.

Penyebutan status pekerjaan sebagai nelayan di KTP secara administratif penting untuk mengurus kartu nelayan. Guna mendapatkan kartu nelayan warga harus mengurus ke DKP, dengan membawa surat pengantar dari desa. Mulai tahun ini, Kades Morodemak menerangkan, pemohon harus berstatus nelayan di KTP.

Dengan memiliki kartu nelayan, pemegang kartu juga menerima premi asuransi, program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Program yang disebut Bantuan Premi Asuransi Nelayan (BPAN) memberikan santunan kecelakaan akibat aktivitas penangkapan ikan Rp200 juta apabila menyebabkan kematian, maksimal Rp100 juta apabila cacat tetap, dan maksimal Rp20 juta untuk biaya pengobatan.

Santunan juga diberikan untuk kematian selain aktivitas penangkapan ikan. Sejumlah Rp160 juta apabila kematian baik kecelakaan atau sebab lain, misal,sakit. Sebesar Rp100 juta untuk cacat tetap, dan biaya pengobatan maksimal Rp20 juta.

Pengamatan dia, perempuan melaut belum lama terjadi. Dulu, warga enggan kalau kolom pekerjaan di KTP disebut nelayan. Setelah ada bantuan dari pemerintah orang mau menyebut diri sebagai nelayan.

“Mungkin terdesak karena suami tenaganya kurang. Atau mungkin ingin meningkatkan ekonomi. Kalau saya melihatnya itu biasa, perkembangan.”

 

Musakori, Ketua Kelompok Nelayan Jaya Bahri, memperlihatkan kartu asuransi nelayan. Perempuan nelayan belum diakui, hingga mereka tak mendapatkan hak sama seperti nelayan lelaki, antara lain dapat asuransi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version