Mongabay.co.id

Kompleksitas Banjir, Alam Murka atau Salah Kelola?

Rio Nanda misuh-misuh. Sudah tiga hari genangan air semata kaki masuk rumahnya. Karpet telah digulung, barang-barang elektronik pun sudah dinaikkan ke meja. “Dulu, cuma halaman saja, sekarang air masuk rumah,” ujar warga Sungai Jawi Dalam, Pontianak, ini. Rio dan keluarga sudah mendiami daerah tersebut akhir 1990-an. Lokasinya memang tidak jauh dari Sungai Jawi, anak Sungai Kapuas. Sungai yang membelah Kota Pontianak, Ibu Kota Kalimantan Barat menjadi dua.

Tursih, warga Jalan HM Suwigyo mengalami hal serupa. Lebih tiga puluh tahun tinggal di gang Empat Lima, ia tidak pernah mengalami banjir separah ini. “Kelinci-kelinci peliharaan terpaksa masuk rumah,” ujarnya.

Kota Pontianak sejak pekan kedua Januari diguyur hujan lebat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Bandara Supadio telah mengeluarkan peringatan dini, sejak 9 Januari 2018. Disebutkan, akan terjadi curah hujan tinggi di sebagian besar wilayah pesisir barat Kalimantan Barat.

Kondisi ini akibat siklon tropis di Australia, TC Joyce, yang membuat pertemuan angin memanjang dari Sumatera, Kalimantan Barat, hingga Laut Jawa. Pertemuan angin ini menyebabkan terjadinya pola pertumbuhan awan hujan di sebagian wilayah Kalbar, selain juga karena kelembaban udara yang tinggi.

Akibatnya, Minggu 14 Januari, Pontianak tergenang air. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Pontianak mencatat, ada 20 titik yang mengalami banjir, tertinggi di Jalan Letnan Jenderal Sutoyo, 40 centimeter.

Dulu, di Kota Pontianak terdapat waduk untuk menampung air luapan Sungai Kapuas. Namanya diabadikan menjadi jalan, Waduk Permai. Letaknya di kelurahan Parit Tokaya, Pontianak Selatan. Waduk dan parit atau kanal tersebut, dibuat sejak zaman Belanda.

 

Baca: Kota Seribu Parit, Sejarah Pontianak yang Kembali Dihidupkan

 

Pegiat ekosistem parit, Syamhudi, menilai masih banyak yang menganggap parit sebagai saluran air kotor. “Harus ada koneksi, antara parit primer, tersier dan sekunder,” kata Yudi, panggilan akrabnya.

Kota Pontianak sebagian besar dikelilingi kawasan lindung gambut. Ini sudah tertuang di Peraturan Daerah Tata Kota tahun 2013. Maka, menjaga kawasan gambut untuk mempertahankan fungsinya adalah hal yang mutlak untuk mengatasi masalah drainase perkotaan. “Begitu juga halnya dengan menjaga fungsi parit.”

Modifikasi parit menggunakan turap beton perlu dipikirkan. Parit, sejatinya selain saluran keluar-masuk air, berfungsi sebagai penyerap. Penggunaan beton menghilangkan fungsi ini. “Masing mending jika menggunakan (kayu) belian,” tambahnya.

 

Sungai Kapuas tempo dulu yang sudah digunakan sebagai jalur transportasi air. Sumber: Wikipedia/Roeiwedstrijden met prauwen op de rivier Kapuas-TROPENMUSEUM 1920

 

Akademisi Universitas Tanjungpura, Kiki Prio Utomo, menambahkan parit adalah salah satu solusi mengatasi banjir di kota. Banjir merupakan hal kompleks, berskala makro dan multi dimensi. “Banjir bagian siklus alam, umumnya dianggap masalah ketika ada kepentingan manusia yang bersinggungan atau beririsan atau terkena dampaknya.”

Banjir dapat berubah secara ukuran (magnitude) atau durasi (frekuensi) karena tindakan manusia. Namun, banjir juga terjadi alamiah karena diperlukan alam, bagian proses “regenerasi” dan “revitalisasi” alam. “Hal-hal ini menurut saya bisa menjadi pijakan untuk menentukan solusi,” tambahnya.

Membahas solusi banjir, perlu dilihat apa penyebabnya. “Harus jujur, nirpolitik dan berdasarkan data,” kata Kiki. Setelah itu, baru dipilih solusi. Pada tahapan ini, barulah politik dan kebijakan berperan, dimasukkan sebagai salah satu variabel dalam model pengelolaan banjir.

Banjir pun kerap dihubungkan dengan kondisi hulu Sungai Kapuas. Kiki mengatakan, berdasarkan teori Lag Time (waktu tunda) aliran dan teori neraca air (water balance) banjir di hilir identik dengan kondisi di hulu sungai.

Sejak 2016, Pemerintah Kota Pontianak telah menertibkan bangunan di atas parit. Camat dan Lurah dikerahkan untuk sosialisasi. Pemerintah berhak membongkar bangunan tersebut karena tidak sesuai aturan, bahkan tanpa ganti rugi. Namun, diberikan bantuan sewa rumah setahun bagi warga yang mengalami pembongkaran.

Sutarmidji, Wali Kota Pontianak, menyebutkan ada tujuh saluran parit primer yang terakses ke Sungai Kapuas dan harus terjaga. Yaitu, Parit Sungai Raya Dalam, Parit H Husin, Parit Perdana – Media, Parit Tokaya, Diponegoro, dan Sungai Jawi. “Seluruh saluran itu harus terkoneksi baik, dihubungkan satu dengan lainnya,” ungkapnya.

 

Suasana Kota Pontianak tahun 1920. Sumber foto: Wikipedia/Straatgezicht met watertonnen-TROPENMUSEUM/1 January 1920/CC BY-SA 3.0

 

**

Di tempat lain, 300 kilometer dari Pontianak, di Desa Sijang, Kecamatan Galing, Kabupaten Sambas, sebanyak 60 rumah warga terendam air. Intensitas hujan yang tinggi menyebabkan air Sungai Sijang meluap. “Pemerintah Kabupaten Sambas, sudah menindaklanjuti kondisi ini,” kata Wakil Bupati Sambas, Hairiah. Ini banjir pertama di 2018. Dua tahun sebelumnya, banjir juga terjadi di Sambas. Sebanyak 265 rumah di Desa Lubuk Dagang dan Dusun Lubuk Lagak terendam air setinggi 1,5 meter.

Pada 2017, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalimantan Barat melansir 11 kabupaten dan kota rawan banjir. Kawasan rawan banjir adalah kawasan yang berbatasan langsung dengan laut atau sungai dengan kelerengan dua hingga delapan persen. Jumlah ini menjadikan hampir seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Barat memiliki kondisi rawan banjir. “Faktor yang memengaruhi adalah permukaan tanah yang rendah, berada di daerah aliran sungai, penggunaan lahan yang tinggi, serta pasang surut air laut,” kata TTA Nyarong, Kepala BPBD Kalbar.

 

Sungai yang merupakan sumber air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dijauhkan dari limbah, sampah, dan bahan kimia yang mencemarkan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Anton Priyani Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar menyatakan, pemerintah belum mengambil langkah nyata. Banjir kerap dipandang bencana alam. “Padahal, ini bencana ekologis. Banjir terjadi karena daya dukung lingkungan yang menurun.”

Eksploitasi sumber daya alam adalah sebabnya. Tambang, perkebunan monokultur skala besar, alih fungsi hutan dan lahan, terus dilakukan. Data Walhi menyebutkan, Kalbar seluas 14,7 juta hektar, sebanyak 13 juta hektar telah diperuntukkan perkebunan sawit, hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, dan tambang.

Anton mendefinisikan bencana ekologis sebagai akumulasi krisis ekologis yang disebabkan ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam. “Pada dasarnya, bencana ekologis terjadi karena ulah manusia yang merusak lingkungan hidup. Banjir Kalbar saat ini adalah bencana ekologis yang disebabkan tindakan manusia.”

Bencana ekologis ini dapat diatasi dengan tiga tindakan. “Kesadaran masyarakat dibina agar mau menjaga lingkungan, pemerintah menegakkan kebijakan yang dibuat, serta penegakan hukum dikedepankan,” ulasnya.

 

 

Exit mobile version