Mongabay.co.id

Kawasan Ekosistem Leuser, Mengapa Penting Dimasukkan Dalam Rencana Tata Ruang dan Pembangunan Aceh?

Potensi Panas bumi di Kappi, Zona Inti Leuser inilah yang ingin di bangun listrik tenaga panas bumi. Padahal, wilayah ini penting dan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan satwa liar kebanggaan Indonesia di sana. Foto: Junaidi Hanafiah

Kawasan Ekosistem Leuser atau yang kita kenal dengan sebutan KEL merupakan bentang alam dengan keanekaragaman hayati luar biasa. Luasnya sekitar 2,6 juta hektar. Terbentang di Aceh sekitar 2,25 juta hektar dan di Sumatera Utara, sisanya. KEL pun telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional oleh Pemerintah dikarenakan perannya yang vital.

Ada empat juta manusia yang berada di sekitarnya, yang mendukung kehidupan mereka dengan memberikan jasa ekologis untuk dimanfaatkan. KEL juga memiliki fungsi sebangai pengatur air sekaligus pelindung dari hadirnya bencana ekologis. Pastinya, KEL merupakan habitat bersama bagi harimau, badak, orangutan, dan gajah sumatera yang keempatnya satwa kebanggaan Indonesia.

Penting untuk kehidupan manusia dan lingkungan, nyatanya KEL tidak dimasukkan dalam RTRW Aceh. Bukan hanya itu, KEL juga tidak dimasukkan dalam RPJM Aceh 2017-2022 yang akan disahkan DPR Aceh pada Februari 2018 nanti.

Terkait kondis KEL dan pembangunan di Aceh, Mongabay Indonesia telah mewawancarai Chairman Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh, Teuku Irwan Djohan, di kantor DPR Aceh, Banda Aceh.

Irwan yang dikenal memiliki kepedulian pada Aceh ini, sebelum menjadi anggota dewan merupakan pengusaha media. Lelaki kelahiran Kuala Simpang, Aceh Tamiang, 1 September 1971, terpanggil pulang dari perantauan untuk kembali membangun Serambi Mekah, pasca-tsunami 2004.

Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh sendiri merupakan forum pertemuan periodik (triwulan) anggota DPR Aceh lintas fraksi dan komisi bersama yang membahas isu pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan yang dimaksud merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, serta ekonomi dalam strategi pembangunan.

Kaukus merupakan inisiatif DPR Aceh sebagai forum multi pihak yang berada di level provinsi yang dibentuk pada 15 Juni 2015. Hampir semua kebijakan publik yang dihasilkan, dipastikan mendapat persetujuan dan pertimbangan dewan. Sebagai gambaran, 81 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2014-2019, merupakan anggota Kaukus.

 

Teuku Irwan Djohan, Chairman Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Menurut Anda secara umum, bagaimana kondisi pembangunan Aceh saat ini, apakah sudah memperhatikan kelestarian lingkungan?

Teuku Irwan Djohan: Pembangunan di Aceh yang berpihak pada lingkungan, sudah terlihat lebih baik. Pemahaman Pemerintah Provinsi, DPR Aceh, hingga level kabupaten dan kota juga masyarakat akan lingkungan makin menguat. Aceh pasca-tsunami, punya tuntutan untuk melakukan pembangunan yang memperhatikan lingkungan dan antisipasi bencana, sebagai hal yang diutamakan. Namun begitu, untuk dikatakan sempurna itu belum, karena pembangunan sedang mengarah ke sana.

Poin penting yang ada saat ini adalah Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh yang sejauh ini, sepemahaman saya, belum ada di provinsi lain. Para anggota DPR Aceh, terlibat dalam sebuah forum atau Kaukus yang peduli pada pembangunan berkelanjutan. Ini sangat penting untuk meningkatkan pemahaman DPR Aceh yang diharapkan bisa melahirkan kebijakan-kebijakan, dalam bentuk perda atau anggaran yang berpihak pada lingkungan.

Kami telah menghasilkan sejumlah perda pro-lingkungan dan sekarang, kami tengah membahas perihal pertanian berkelanjutan. Jangan sampai terjadi lahan pertanian untuk hal lainnya yang mengganggu lingkungan dan ketahanan pangan di masa mendatang.

Saya pikir, progres Aceh cukup positif. Peraturan daerah yang berkaitan lingkungan berkelanjutan akan kita perhatikan penuh dan dimasukkan dalam program legislasi Aceh kedepannya.

 

Deklarasi Leuser telah dirumuskan pada 12-13 Agustus 1997. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Apakah koordinasi pembangunan yang mengedepankan kelestarian lingkungan antara DPR Aceh dengan SKPA (Satuan Kerja Pemerintahan Aceh) sudah berjalan?

Sejak saya berada di DPR Aceh, 2014, hampir setiap bulan selalu ada pembahasan mengenai pembangunan lestari berkelanjutan. Baik antara DPR Aceh dengan SKPA, juga dengan Bappeda dan elemen sipil.

Kerja sama antara Pemerintah Aceh dengan elemen sipil masyarakat, akademisi, dan DPR Aceh juga lancar. Cukup banyak kegiatan yang dilakukan mulai dari diskusi publik hinga rapat kerja yang tentunya membahas kemajuan pembangunan berwawasan lingkungan. Perhatian Gubernur Aceh juga sangat bagus terhadap lingkungan.

Saya berharap, seluruh pembangunan yang ada nantinya memiliki dokumen analisa mengenai dampak lingkungan. Dibuat jauh hari sebelum rencana pembangunan dicanangkan.

 

 

Mongabay: Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang disebutkan dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, nyatanya tidak dimasukkan dalam RTRW Aceh. Apa yang Anda pahami akan kondisi ini? Mengingat, KEL memiliki biodiversitas yang tinggi!

Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan KEL sudah masuk dalam undang-undang di tingkat pusat, sehingga tidak perlu dicantumkan lagi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh.

Namun, menurut saya, agak absurd bila KEL yang merupakan Kawasan Strategis Nasional tidak dimasukkan dalam RTRW Aceh. Ini sangat penting, terutama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan semua pihak guna menjaga sekaligus melindunginya. KEL adalah kekayaan sekaligus masa depan Aceh. Bahkan sumber kehidupan untuk Indonesia dan dunia luas.

Saya pribadi dan kami yang ada di Kaukus Aceh mendorong agar Qanun atau Perda RTRW Aceh direvisi. Kami sudah mensahkan Qanun No 19 Tahun 2013, dan di 2018 ini sudah saatnya lagi dimasukkan dalam Program Legislasi Aceh sebagai prioritas untuk direvisi.

Saya sudah mendorong anggota Komisi 4 DPR Aceh yang terkait tata ruang, juga Badan Legislasi untuk memasukkan revisi Qanun RTRW Aceh ini di 2018. Meskipun, ada juga pihak-pihak yang tidak antusias akan hal ini.

Harusnya, di tingkat pusat pun, KEL sudah memiliki zonasi atau tata ruang tersendiri. Ini isu penting yang tidak mungkin kita abaikan. Awal Desember 2017, kami sudah komunikasikan soal ini ke Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil. Beliau juga ingin, KEL dimasukkan dalam revisi Tata Ruang Aceh kedepannya.

 

Ibrahim, ahli tumbuhan dan satwa liar di Leuser. Pegiat dan peneliti di Leuser menjulukinya Profesor karena kemampuannya yang pilih tanding. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Apakah Kaukus mampu mempengaruhi revisi RTRW Aceh, agar KEL dimasukkan dalam perubahan tersebut?

Kaukus secara kelembagaan tidak memiliki pengaruh untuk merevisi RTRW Aceh, karena sifatnya forum. Bukan lembaga resmi dalam struktur pemerintahan Aceh. Namun, seluruh anggota Kaukus Pembangunan Aceh merupakan anggota DPR Aceh yang keberadaannya didukung akademisi Universitas Syiah Kuala.

Ini kolaborasi luar biasa guna membuka pemahaman anggota DPR Aceh yang sebelumnya kurang mengerti permasalahan lingkungan. Termasuk saya sendiri yang tidak ada latar lingkungan hidup. Saya seorang arsitek yang merupakan pengusaha media, tidak ada concern sama sekali pada lingkungan sebelum berada di DPR Aceh.

Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh bisa menjadi model bagi provinsi lain. Dalam beberapa pertemuan di Jakarta yang dihadiri perwakilan Eksekutif dan Legislatif tersebut, mereka tertarik dengan ide Kaukus yang mungkin diadopsi di provinsi masing-masing.

Kaukus merupakan pertemuan informal pada angota DPR Aceh. Di sini, kami belajar dan berdiskusi betapa pentingnya lingkungan.

 

Sungai Manggamat di Aceh Selatan, Aceh, yang penting sebagai sumber air bersih sekaligus digunakan sebagai transportasi masyarakat setempat. Menjaga Leuser berarti menjaga kehidupan masyarakat dan makhluk hidup yang ada. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Pemerintah Aceh juga tidak memasukkan pengelolaan KEL dalam RPJM Aceh, apa pendapat Anda? Sebagai catatan, RPJMA 2017-2022 akan disahkan DPR Aceh pada Februari 2018.

Rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2017-2022 sudah diserahkan Eksekutif kepada kami, DPA Aceh. Tugas kami adalah membahasnya dan berharap bisa disahkan Februari 2018.

Terkait belum masuknya isu KEL dalam RPJM Aceh bukan hanya mengejutkan kami di DPR Aceh, tapi juga teman-teman sipil yang peduli lingkungan. Bahkan, beberapa orang yang terlibat dalam penyusunan tersebut. Ini jadi tanda tanya.

Inilah fungsi kami di Kaukus untuk menyempurnakan rancangan tersebut. Jadi, setelah dokumen tersebut kami terima, selanjutnya rapat koordinasi kami lakukan. Dalam RPJM Aceh yang merupakan penjabaran visi misi Gubernur sekarang, Irwandi Yusuf, sudah ada program Aceh Hijau (Aceh Green). Ini merupakan dasar pembangunan yang harus mendapat perhatian kuat untuk lima tahun kedepan.

Untuk itu, kami menerima masukan berbagai pihak, semua unsur. Kami juga berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, serta Bappenas, agar isu penting yang bisa masuk RPJM Aceh diprioritaskan. Dengan begitu, DPR Aceh nanti bisa menyempurnakannya sebagaimana harapan kita bersama.

 

Badak sumatera yang hidup di Leuser bersama orangutan, gajah, dan harimau sumatera. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Kaukus pada sidang ke-5 nya, akan mengangkat isu “Menuju Aceh Hebat Dalam Bingkai RPJM Hijau”. Ada 3 poin yang ditekankan di sini: mengawal luas kawasan hutan yang lestari dan berkelanjutan, terjaganya keanekaragaman hayati, dan menguatnya kelembagaan KPH. Apakah semua poin ini dapat dipastikan?

Saya belum bisa menjabarkan apakah tiga poin tersebut bisa dimasukkan dalam RPJM Aceh kedepan. Tapi, kita harapkan bisa. Saya sendiri bukan pengambil keputusan individu di DPR Aceh.

Pembahasan qanun bukan hanya pemikiran murni Legislatif, tapi kolaborasi dengan Eksekutif. Dalam pembahasan memang sering terjadi perdebatan cukup alot dalam finalisasi sebuah peraturan daerah (perda). Pada akhirnya, Sidang Paripurna DPR Aceh sebagai pengambil keputusan tertinggi yang akan memutuskan beberapa daftar isian masalah (DIM) terkait masalah yang dianggap penting tapi belum tercantum, karena masih ada perbedaan pendapat.

Untuk itu, keputusan berdasarkan musyawarah dalam Badan Musyawarah akan dilakukan. Jika tidak bisa, akan diputuskan dalam sidang paripurna. Bila “deadlock” akan dilakukan voting.

Sebagai gambaran, Gubernur memiliki 15 prioritas kegiatan dalam RPJM Aceh, termasuk Aceh Green. Kaukus Pembangunan tentunya punya harapan agar Aceh Green menjadi salah satu prioritas. Dalam proses pembahasan nanti, yang diperkaya dengan masukan dari sidang Kaukus ke-5, diharapkan bisa menyempurnakan RPJM Aceh tersebut.

 

Gajah sumatera yang berada di CRU Trumon, Aceh Selatan, Aceh yang difungsikan untuk memitigasi konflik antara gajah dengan manusia yang tak jarang terjadi karena habitat gajah terganggu. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Apakah Kaukus akan terus berkomitmen mengawal pembangunan berkelanjutan di Aceh, terutama sektor hutan dan lingkungan?

Fungsi utama dibentuknya Kaukus adalah meningkatkan pemahaman anggota DPR Aceh mengenai pembangunan berkelanjutan, yang mengedepankan kepentingan lingkungan. Keberadaan Kaukus direspon baik oleh seluruh anggota DPR Aceh, meski tidak semua bisa terlibat penuh.

Saya selaku Chairman Kaukus diberikan restu oleh Ketua DPR Aceh, karena posisi saya di DPR Aceh adalah sebagai Wakil Ketua. Bahkan, Ketua DPR Aceh, Muharuddin, menjadi pemimpin sidang Kaukus ke-2 yang saat itu membahas Manajemen Risiko Bencana Alam. Ini menunjukkan, pimpinan dan anggota DPR Aceh memang terlibat dalam Kaukus.

Harapan kedepan adalah setiap kebijakan yang dikeluarkan DPR Aceh memang berpihak pada lingkungan. Ini tugas berat yang harus dilakukan. Dukungan semua pihak sangat diharapkan.

 

Banner: Kawasan Ekosistem Leuser yang kaya akan keanekaragaman hayati. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version