Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Upaya Benahi Karut Marut Tata Lahan Tesso Nilo (Bagian 3)

Menandang hutan alam di Taman Nasional tesso Nilo, yang terbabat dan berubah menjadi kebun sawit, Minggu (12/11/17). Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

Presiden Joko Widodo menetapkan target perhutanan sosial secara nasional 12,7 juta hektar. Dari angka itu 1,4 juta hektar di Riau. Taman Nasional Tesso Nilo, salah satu percontohan realisasi kebijakan yang dinilai pro rakyat ini.  Meskipun begitu, tak semudah membalik telapak tangan menjalankan perhutanan sosial di taman nasional di Riau ini. Beragam masalah menumpuk menahun, karut marut tata lahan terlanjur terjadi dan sulit terurai.

Pertengahan November lalu, Mongabay masuk ke Dusun Toro Jaya, Pelalawan, Riau, menyusuri Toro Makmur dan Toro Regar. Ia sebutan lain dari RW 02 dan RW 03. Tak mudah masuk perkampungan ini. Pintu depan berpalang portal dan berpenjaga. Kami perlu empat jam untuk diterima meliput.

Baca juga: Fokus Liputan: Cerita dari Toro, Dusun Sawit di Tesso Nilo (Bagian 1)

Sepanjang perjalanan, kawasan yang dua dekade lalu masih berhutan itu telah jadi kebun sawit. Perumahan dan fasilitas umum terlihat di beberapa titik di sepanjang jalan poros. Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga ini berada dalam areal perluasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).

Kehancuran Tesso Nilo bukan saja terjadi di Toro, tetapi hampir 65% dari taman nasional seluas 81.000 hektar ini. Kini, hanya sekitar 20.000 hektar masih berhutan. Migrasi ribuan keluarga ke taman nasional tak terbendung.

Bahkan,  hampir dua dekade sekelompok kecil warga yang mendiami hutan telah membangun dusun terpadat dengan 4.500 keluarga. Dusun itu terus membangun kebun sawit.

“Kondisi di sana sudah pembiaran sistematis. Sudah berlarut-larut. Ini ada satu kondisi luar biasa yang harus (gunakan) pendekatan khusus,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jaringan Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) awal Desember.

Pendekatan hukum, katanya, diterapkan kasus per kasus. “Pendekatan hukum semua, akan banyak orang yang kena, dampak sangat masif,” katanya, seraya bilang, setelah penegakan hukum, kawasan itu diperbaiki.

Saat ini, katanya, pemerintahan Joko Widodo berusaha menyelesaikan masalah melalui pendekatan yang dapat menyelamatkan taman nasional tanpa menyakiti belasan ribu warga yang bermukim di sana.

Kompleksitas masalah di Tesso Nilo juga disampaikan Direktur Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, Yuliantony. Sebelum 2010, dia menyaksikan,  hanya terlihat beberapa rumah milik warga setempat. Sejak itu, populasi meningkat tajam mulai 2010.

“Istilah masyarakat lokal, mereka itu bukan pendatang, tapi didatangkan. Ada orang-orang yang sengaja mendatangkan mereka, yang menawarkan di sana ada lahan jadi berbondong-bondong ke sana. Belum teridentifikasi siapa yang mengajak mereka ke Toro,” katanya.

Berbeda yang disampaikan Kepala Desa Lubuk Kembang Bunga, Rozi C Slamet kepada wartawan termasuk dari Mongabay,  Ayat S Karokaro, Rabu (20/12/17).

 

Tampak seorang warga tengah membersihkan kebun sawit di Tesso Nilo, Minggu (12/11/17). Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Sebelum tahun 2000, katanya,  sudah ada masyarakat tinggal di TNTN, termasuk Toro. Mereka sudah berkebun.

“Masyarakat saya sudah berdomisili di sana, sudah membuat kebun. (kawasan) Itu hasil penebangan perusahaan. Setelah habis logging, sisa-sisa yang terbuka, masyarakat pengen bertani, berkebun. Itulah dimanfaatkan. Sampailah berkembang. Maka RT-RW itu sudah terbentuk sejak 2000. Artinya,  pemerintahan itu sudah ada,” ucap Rozi.

Seiring waktu, masyarakat mulai berkembang. Bukan saja populasi meningkat pesat, fasilitas umum sudah lengkap. Luas Desa Lubuk Kembang Bunga sekitar 115.000 hektar, melebihi luas gabungan 11 desa (kelurahan) di Kecamatan Ukui, Pelalawan.

“Kalau saya melihat, tidak ada lagi hutan selain lautan sawit. Seluas mata memandang kanan-kiri, depan belakang semua kebun sawit. Ada masyarakat. Ada fasilitas umum, lengkap, tentu saya sebagai kepala desa bagaimanapun tugas mengayomi, melindungi masyarakat,” katanya.

Dia meminta,  semua pihak tak mencari kambing hitam. Masyarakat, katanya,  jangan disalahkan karena mereka tak tahu apa-apa soal status lahan yang mereka beli.

 

Penunjuk arah ke dusun-dusun di dalam Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Bersedia pindah, asal…

Rozi berpendapat,  bisa saja masyarakat dipindah dengan banyak persyaratan harus dipenuhi pemerintah, seperti kejelasan lokasi pemindahan.

Dia juga meminta pemerintah pusat membangun terlebih dahulu modal ekonomi warga yang ingin dipindahkan.

“Prinsipnya kita setuju dengan catatan tadi. Mana lahan relokasi. Yang tau saya lahan relokasi itu hampir jadi sawit 90%. Pastikan dulu ekonomi mereka terbantu.”

Di luar dari warga dalam Tesso Nilo, Rozi meminta, warga di luar kawasan yang belum mempunyai kebun bisa masuk dalam program itu.

Soal kebun sawit yang akan ditinggalkan setelah pindah, katanya, biarkan warga mendapat akses memanen selama satu daur tanaman yakni 25 tahun.

“Biarkan mereka manen, tapi sudah ditata (dulu) perumahan-perumahannya. Kebun dibuat, tetapi mereka bisa memanen kebun yang ada sampai jatuh daur. Kalau itu diterapkan tentu kita sepakat, kita sangat mendukung. Sosialisasi itu belum sampai ke bawah.”

 

Warga Toro usai ibadah gereja di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Pendapat berbeda disampaikan Kepala Dusun Toro Jaya, Suryadi. Mereka, katanya, akan mempertahankan pemukiman dan kebun-kebun sawit di dalam taman nasional. Alasannya, sudah banyak modal keluar untuk membangun kehidupan di sana.

“(Kami) korban. Kami pendatang ini ndak tau. Udah kejadian kayak gini, ibarat nasi telah jadi bubur,  apa boleh buat. Terpaksa harus dipertahankan,” katanya.

Sejumlah warga Toro Regar pun pesimis, program ini bisa berjalan mengingat sudah banyak modal dan sumberdaya untuk membangun harapan baru di taman nasional ini.

“Kalau terpaksa mau aja (dipindahkan). Masalahnya, lahan itu mau dikemanakan? Seratus ribu hektar hutan lindung tertanam (sawit) 80.000 hektar, ke mana lagi mau dipindahkan? Ke Kalimantan-lah?” kata Sitorus, pengumpul buah sawit dari Toro, pertengahan November lalu.

 

Restorasi

Guna menyelesaikan keruwetan Tesso Nilo, pemerintah membentuk program restorasi ekosistem Tesso Nilo (RETN) berbasis masyarakat. Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah mengatakan,  RETN dibentuk bersama sejumlah pihak berikut tugas masing-masing.

Yayasan TNTN, misal, bertugas mengurusi bagian inti Tesso Nilo. Begitu juga WWF. Jikalahari, Yayasan Mitra Insani dan Walhi mengurusi bagian luar kawasan yakni di eks konsesi dua perusahaan kayu. Skemanya, perhutanan sosial.

Sederhananya RETN dirancang untuk memulihkan kawasan yang kini kebun sawit jadi hutan kembali dan merelokasi seluruh warga dalam taman nasional ke luar kawasan. Mereka akan relokasi ke lahan eks konsesi perusahaan kayu. Namun lahan eks konsesi itu pun sudah dipenuhi kebun-kebun sawit. (Selesai)

Keterangan foto utama: hutan Tesso Nilo yang tergerus, menjadi kebun sawit. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Penduduk sedang mengumpulan sawit hasil panen. Foto: Rony Muharrman / Mongabay Indonesia
Warga berhasil menangkap rusa di Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman / Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version