Mongabay.co.id

Kopi Konservasi dari Jangkat, Seperti Apa?

Panen kopi di Jangkat, Jambi. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

Kecamatan Jangkat, dataran tinggi di Kabupaten Merangin, merupakan penghasil kopi robusta cukup terkenal di Jambi. Ia berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Baru, merupakan salah satu desa di Kecamatan Jangkat, dengan 85% penduduk adalah petani kopi. “Dulu hasil kopi kami ditukar (barter) dengan beras,” kata Syofyan Ali, petani kopi dari Desa Baru.

Dia bilang, kopi robusta ada di Jangkat,  sejak zaman Belanda. Mulai tahun 90-an, perkebunan kopi makin meluas karena harga lumayan tinggi.

Kala panen tiba,  Syofyan dan para petani memanen kopi keseluruhan, baik yang matang, setengah matang bahkan masih hijau.

Setelah panen, seluruh biji dijemur pada terpal sampai kering dan dipisahkan dari kulit, lalu dijual ke tengkulak. Pasar kopi dari Desa Baru dan desa lain di Jangkat ini ke Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu.

“Dalam seminggu bisalah panen kopi hingga 100 kilogram,” katanya yang punya kebun kopi dua hektar.

Dia bilang, hasil panen kopi naik setelah ikut sekolah lapang. “Sekarang saya tak lagi pakai pupuk kimia untuk pohon kopi,” kata Syofyan.

Menurut dia, salah satu kendala bercocok tanam kopi adalah hama, seperti , hama penggerek buah. Hama ini, katanya, agak sulit terdeteksi karena menyerang buah dan berdampak fatal karena sangat mempengaruhi cita rasa kopi.

Berkat sekolah lapang kopi,  Konsorsium Pundi Sumatera,  Syofyan dan para petani kopi di Jangkat, berhasil mengatasi hama penggerek buah dengan pestisida nabati. Bikin pestisida nabati, katanya,  juga mereka pelajari di sekolah lapang.

“Sebelum mengikuti sekolah lapang, hasil panen para petani hanya 0,8-1,2 ton per hektar per tahun” kata Edyanto, fasilitator wilayah konsorsium Pundi Sumatera.

Sekarang, hasil panen kopi petani rata-rata adalah satu sampai dua ton per hektar per tahun.

 

 

“Selain  mendapat pengetahuan soal pengelolaan tanaman kopi agar hasil panen meningkat, petani juga dibekali proses pasca panen,” kata Edyanto.

Pasca panen, katanya, proses pengelolaan kopi setelah panen. Peserta sekolah lapang mengenal empat proses pasca panen, yaitu full wash, semi washed, natural dan honey.

Sebelum pasca panen, katanya,  harus diseleksi kopi terlebih dahulu. Hanya kopi yang benar-benar matang akan dipetik dan dapat melalui pasca panen.

Proses pasca panen full washed adalah proses kopi direndam dalam bak berisi air untuk menyeleksi buah. Buah bagus, katanya, mengendap di dasar bak sementara buah kopi yang mengambang dipisahkan.

Setelah seleksi selesai, buah kopi masuk dalam mesin giling basah guna memisahkan biji dari kulit buah. Lalu biji direndam dalam air selama sekitar satu malam (proses fermentasi).

Setelah perendaman, katanya,  biji dicuci hingga daging bersih lalu biji kopi dijemur. Proses penjemuran rata-rata dua hingga empat minggu. Setelah itu, biji kopi dipisahkan dari kulit ari dengan mesin giling kopi kering dan menjalani seleksi biji.

Proses semi washed hampir sama dengan full washed, hanya sedikit perbedaan pada penjemuran. Ketika biji kopi setengah kering kulit ari (dipisahkan dari biji  dan kembali dijemur hingga kering.

Proses honey adalah dimana kopi proses perendaman melalui giling basah untuk memisahlan biji dengan kulit luar. Lapisan daging buah yang lengket dan manis (mucilage) masih menempel pada biji kopi. Biji kopi tidak melalui proses fermentasi dalam air dan pencucian tetapi langsung dijemur hingga kering. Setelah kering baru kulit ari dipisahkan dari biji.

Proses natural, dimana buah kopi dipanen diseleksi melalui proses perendaman kemudian langsung dijemur hingga kering. Setelah kering buah kopi melalui proses giling kering bertujuan memisahkan biji dari kulit.

Semua proses ini, katanya, hasilkan biji robusta yang populer disebut fine robusta. Pasca panen ini, katanya,  akan pengaruhi cita rasa kopi.

Dia contohkan, kopi melalui pasca panen honey. Proses ini akan menghasilkan kopi bercita rasa lebih manis dibandingkan dari full washed.  Karena daging  buah yang lengket dan manis (mucilage) terserap oleh biji kopi.

“Biji kopi fine robusta kami jual Rp45.000 per kg” kata Syofyan.

Harga ini, katanya,  jauh lebih tinggi dari biji kopi yang tak melalui seleksi buah dan proses pasca panen (asalan).

Biji kopi asalan, katanya,  dihargai Rp20.000-Rp22.000 per kilogram.

Menurut dia, pasca panen mulai hadapi kendala seperti sarana dan prasana untuk proses pasca panen (mesin giling kopi basah dan kering).

Saat ini, katanya,  mesin giling Syofyan dilengkapi motor penggerak bertenaga listrik hasil modifikasi sendiri. Dulu,  mesin giling ini digerakkan tangan.

“Mesin giling basah harga Rp12 jutaan, kami belum punya modal untuk membeli” katanya.

Dalam memasarkan fine robusta para petani Jangkat,  Pundi Sumatera bekerja sama dengan Koperasi Kopi Solok Radjo.

“Kami mencoba menghubungkan teman-teman petani di Jangkat langsung dengan pembeli,” kata Alfadrian Syah, pengurus Koperasi Kopi Solok Radjo.

Beberapa warung kopi di Kota Jambi dan Padang, katanya, biasa hanya menghidangkan arabika mulai menjual fine robusta dari Jangkat.

Konsorsium Pundi Sumatera memperkirakan, luas perkebunan kopi di Merangin, Jambi, di luar TNKS 50.000-80.000 hektar.

“Kami berharap dengan ada perbaikan pengelolaan kopi ini dapat memaksimalkan hasil perkebunan dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat hingga tak lagi membuka lahan untuk berkebun di taman nasional,” kata Edyanto.

 

Potensi robusta

Tren ngopi di masyarakat jadikan peluang pasar lokal kopi fine robusta makin terbuka lebar. “Permintaan warung kopi untuk menyediakan campuran (blend) kopi robusta dan arabika terus meningkat,” kata Deny Ichsan, pemilik Koffiekopi, usaha sangrai biji kopi di Kota Jambi.

Dengan kopi campuran, kataanya, membuat harga lebih terjangkau dan pas di lidah para penikmat di Jambi yang lebih akrab dengan cita rasa robusta.

Selain buah, bunga robusta memiliki potensi ekonomi cukup menjanjikan. Di Jepang, kata Alfadrian, tengah tren minum teh bunga kopi (coffee blossom).

Robusta yang memiliki siklus sekali musim panen akan hasilkan bunga kopi yang lebih banyak dibandingkan arabika. Jadi, katanya, keperluan bunga kopi dapat dipenuhi.

“Petani tak perlu khawatir karena musim panen berikutnya tetap bisa memanen kopi.”

Alfadrian berharap, pasca panen robusta Jangkat makin ditingkatkan terutama sarana dan prasarana agar citarasa makin baik.

Keterangan foto utama: Panen kopi di Jangkat, Jambi. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Kopi dari Jangkat, Jambi. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia
Proses penjemuran biji kopi. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version