Mongabay.co.id

Hutan Lindung Sungai Lesan Terjepit, Ruang Gerak Orangutan Menyempit

Hutan Lindung Sungai Lesan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, terjepit. Hutan seluas 11 ribu hektar lebih ini, dikepung perkebunan sawit yang membuat wilayah jelajah orangutan menyempit.

Manajer Program Perlingungan Habitat Centre for Orangutan Protection (COP), Ramadhani mengatakan, data lapangan menunjukkan, sejak 2005 hingga 2017 jumlah orangutan yang ditemukan berkurang. Padahal, hutan yang ada di Kutai Timur dan Kabupaten Berau berdampingan dan bisa disatukan, demi keberlangsungan hidup orangutan.

“Kondisi Hutan Lindung Sungai Lesan sudah terisolasi. Di sebelah kanan bawah, hutan ini berbatasan langsung dengan konsesi sawit yang sedang gencar-gencarnya melakukan pembukaan. Sementara bagian kanan, terpotong sungai yang juga berbatasan langsung dengan sawit. Akibatnya, ruang jelajah orangutan berkurang, pada 2017 hanya 0,3 persen dalam satu kilometer persegi. Sedangkan penelitian 2005 menunjukkan, hutan tersebut dihuni hampir 4 orangutan dewasa dalam tiap kilometernya,” jelasnya.

 

Orangutan ini menderita luka di kepalan. Ruang geraknya juga menyempit akibat habitatnya di Hutan Lindung Sungai Lesan mulai dikelilingi sawit. Foto: Centre for Orangutan Protection (COP)

 

Ramadhani melanjutkan, pada Agustus 2017 lalu misalnya, COP bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur telah menyelamatkan satu individu orangutan kalimantan jantan subspesies Pongo pygmaeus morio, yang tersesat di Jalan Poros Samarinda – Berau. Ketika ditemukan, dia kelaparan. Di beberapa bagian tubuhnya juga terdapat luka sayatan serta bekas bacokan di kepala.

“Orangutan yang kami namai Joni ini, keluar dari habitatnya yaitu Hutan Lindung Sungai Lesan di Kecamatan Kelai, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Habitatnya menyempit akibat datangnya perkebunan sawit,” ujarnya.

Kini, Joni sudah dikembalikan lagi ke Hutan Lindung Sungai Lesan yang memang habitatnya orangutan. Di sini, pakan masih tercukupi meski ruang jelajahnya mulai menyempit. “Luas hutan lindung Sungai Lesan menurut SK yang baru seluas 11 ribu hektar. Tapi sampai saat ini, kami belum dapatkan SK terbaru, jadi masih pakai SK lama seluas 13 ribu hektar,” terangnya.

Orangutan adalah satu dari sekian fauna yang hidup di Hutan Lindung Sungai Lesan. Satwa lainnya adalah beruang madu, macan dahan, dan rangkong.

 

Grafik keberadaan orangutan dari 2005 hingga 2017 di Sungai Lesan. Sumber: Centre for Orangutan Protection (COP)

 

Pengelolaan

Kepala BKSDA Kalimantan Timur, Sunandar Trigunajasa menjelaskan kasus pembacokan orangutan tersebut telah diusut. Namun, pihaknya kesulitan menemukan pelaku, lantaran Joni ditemukan di tepi jalan. “Kasus ini sudah lama, kami juga sudah melepasliarkan kembali,” katanya, Rabu (24/1/2018).

Sebelum dilepaskan, Sunandar menegaskan, pihaknya telah merawat Joni hingga sembuh. Luka-luka menganga di tubuhnya, sudah mengering. “Dia sudah sehat dan masih liar, sehingga akan bertahan hidup di habitatnya,” ungkapnya.

Disinggung soal Hutan Lindung Sungai Lesan yang terancam sawit, Sunandar mengatakan, hutan tersebut memang dekat perkebunan sawit dan tidak begitu jauh dari jalan poros. Sehingga, ketika orangutan tidak menemukan pakan atau ruang jelajahnya berkurang, dia akan melihat dunia luar terdekat.

“Orangutan sangat mudah keluar, apalagi dalam kondisi lapar. Bisa saja dia berpikir menjelajah ke luar adalah hal termudah mendapatkan makanan. Sewaktu Joni pertama kali ditemukan, ia berada di tengah jalan,” jelasnya.

 

Peta sebaran orangutan kalimantan di dalam dan sekitar Hutan Lindung Sungai Lesan. Peta: Centre for Orangutan Protection (COP)

 

Niel Makinuddin, Senior Manager for Governance and Partnership TNC East Kalimantan, membenarkan bila Hutan Lindung Sungai Lesan merupakan habitat penting orangutan. Menurut dia, saat ini luasnya hanya 11 ribu hektar lebih.

Awalnya, status kawasan adalah APL (Areal Penggunaan Lain) atau KBNK (Kawasan Budidaya Non Kehutanan) yang kewenangannya di bawah Pemerintah Kabupaten Berau. “APL atau KBNK ini kawasan yang secara legal (aturan) boleh dan bisa dibuat kebun sawit atau tambang batubara. Sehingga, sangat rawan dan tidak aman bagi kehidupan orangutan di sini,” sebutnya.

Niel mengatakan, Pemkab Berau dan TNC mengusulkan ke Menteri Kehutanan, saat itu, untuk merubah dan menaikkan statusnya menjadi hutan lindung. Akhirnya, pada 2013 SK Menteri Kehutanan keluar dan status Sungai Lesan menjadi Hutan Lindung. Sebelumnya, Bupati Berau telah membentuk kelembagaan yang bertanggung jawab terkait Hutan Lindung Lesan. “Kita perjuangkan bersama Pemkab Berau, akhirnya menjadi Hutan Lindung Sungai Lesan yang di SK-kan pada 2013,” katanya.

Saat ini, Niel melanjutkan, pengelolaan Hutan Lindung Lesan merupakan kewenangan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Berau Barat, yang bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. Bahkan, belakangan ini, pengelolaannya mendapat dukungan dari OWT (Operation Wallacea Trust).

“Dalam pelaksanaannya, OWT maupun TNC bekerja sama dengan KPH Berau Barat, sebagai pemegang mandat kawasan. Salah satu fokus OWT adalah menemukenali opsi pengembangan ekonomi masyarakat sebagai sumber pendapat alternatif.”

Disinggung masalah kondisi hutan yang terisolasi, Niel menjelaskan, pihaknya sedang mencari cara agar hutan tersebut bebas dari kepungan sawit. TNC coba membantu KPH Berau Barat untuk mengembangkan koridor yang menghubungkan Hutan Lindung Lesan dengan bentang alam di sekitarnya, agar orangutan dan berbagai satwa dilindungi bisa survive. “Koridor tersebut masih pengembangan konsep.”

Niel juga memberikan empat solusi yang dapat dilakukan untuk penyelamatan Hutan Lindung Sungai lesan. Yakni, pelibatan dan pengembangan ekonomi masyarakat, sehingga masyarakat merasa dapat manfaat. Pengembangan koridor untuk connectivity antar-habitat yang disertai penegakan hukum (untuk mencegah pelanggaran). Terakhir, penggalangan dukungan publik terhadap kawasan ini. “Masyarakat perlu dilibatkan agar dapat bersinergi,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version