Mongabay.co.id

Kepedulian Suleman Miting pada Petani Kopi di Toraja

Sekilas benda itu seperti belanga biasa dengan tungkupnya. Terbuat dari tanah liat, berwarna coklat kemerahan. Bedanya, di bagian tengahnya berlubang persegi mengikuti lekukan belanga. Ditempatkan di atas kompor gas. Belanga itu berfungsi sebagai alat sangrai atau roasting kopi.

“ini adalah teknologi terkini dalam dunia kopi. Saya menamainya kurinlitak. Berasal dari kata kurin yang berarti belanga dan litak yang berarti tanah. Temperaturnya dikontrol dengan alat yang dinamakan thermokopel,” ungkap Suleman, pemilik alat tersebut.

Thermokopel juga merupakan gabungan dua kata, yaitu thermometer dan kopel. Fungsinya untuk mengukur panas api yang ada dalam belanga.

Belanga sangrai ini bukanlah belanga biasa. Di salah satu sisinya membentang jaringan kabel yang disambungkan ke sebuah laptop. Dari layar laptop itu terlihat gambar grafik yang bergerak secara dinamis.

 

Suleman Miting, pengusaha kopi di Kabupaten Tana toraja, membuat sendiri alat roasting kopi memadukan peralatan tradisional dan modern, menggunakan belanga tanah liat yang disambungkan ke laptop sebagai alat pengukur temperature. Dengan teknologi ini ia bisa mendapatkan informasi ukuran pemanasan yang tepat untuk setiap kopi yang dipanggangnya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Kurinlitak buatan Suleman bisa dikatakan unik. Perpaduan antara peralatan tradisional dan modern. Menggabungkan belanga dengan komputer yang berisi software pengukur suhu panas. Ia yang merancang alat roasting tersebut, yang dipelajarinya secara otodidak di internet.

“Kebetulan anak saya juga bisa utak atik komputer yang membantu merakit alat tersebut,” katanya, sambil menambahkan bahwa komputer dan software-nya dibeli di Amerika Serikat secara daring.

Penggunaan belanga yang terbuat dari tanah liat sebagai alat roasting bukanlah tanpa maksud. Cita rasa kopi melalui roasting belanga tanah liat jauh lebih baik dibanding penggunaan besi atau logam.

“Itu menurut saya, dan banyak juga orang-orang yang bilang demikian,” tambahnya.

Belanga roasting Suleman ukurannya tak besar, tak seperti mesin roasting pada umumnya. Hanya berkapasitas 1,5 kg kopi. Butuh waktu sekitar 25 menit untuk memanggang kopi untuk mencapai hasil yang diinginkan.

“Tak banyak,” katanya. “Kalau terlalu banyak malah pemanggangannya tak merata. Saya sudah coba berkali-kali dan ternyata ukuran 1,5 kg ini yang paling pas,” tambahnya.

Suleman Miting adalah pengusaha kopi, pemilik Warung Kopi Toraja di Rantepao, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Ia meracik sendiri kopi buatannya, mulai dari pemilihan biji kopi, roasting (sangrai) hingga penggilingannya. Tak hanya dijual dalam bentuk minuman jadi, ia juga mengemas kopi dalam bentuk bubuk, dikemas secara modern agar cita rasanya bisa bertahan lama. Pengemasannya pun dilakukan sendiri, dengan sedikit bantuan dari istri dan anaknya.

Cita rasa kopi Suleman memang tak biasa. Meski diminum tanpa campuran gula tetap terasa ada rasa manis. Memberinya gula justru akan menghilangkan cita rasanya. Warna kopinya tak terlalu hitam. Warna coklat kental. Aromanya juga khas. Harus diseduh dengan air yang benar-benar panas untuk mendapatkan rasa terbaik.

“Biji kopinya di-roasting secara terukur dan tidak terlalu gosong sehingga cita rasa kopinya tidak hilang,” tambahnya.

 

Suleman mengerjakan seluruh proses peracikan kopi sendiri dan kadang dibantu anak dan istrinya, termasuk dalam proses pengemasan. Menurutnya, pengemasan kopi harus dilakukan secara baik untuk menjaga agar kualitas kopi Toraja tetap terjaga. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Menurutnya, rahasia cita rasa kopinya yang enak ada pada alat Kurinlitak buatannya tersebut. Dengan alat ini ia bisa mengetahui temperatur yang tepat kopi di-roasting. Ia jadinya memiliki standar temperatur yang disukai pelanggan. Baginya, sangat penting proses pemanggangan itu dilakukan dengan panas yang tepat dan tidak berubah-ubah.

Suleman selanjutnya menjelaskan empat jenis roasting yang dikenal luas penikmat kopi, yaitu light, medium, dark atau fullroast.

“Kalau light itu bijI kopinya agak cerah, acid-nya agak muncul. Kalau medium ya balance, pahitnya ada, dan terasa ada asamnya. Aromanya juga masih bagus. Kalau terlalu lama itu jadinya dark, agak gosong, aroma rasanya tidak terangkat. Ini kopi standar.”

Kopi yang diolah secara fullroast biasanya sangat berminyak. Ini yang banyak dijual di pasar-pasar tradisional.

“Ya, sudah terlalu gosong, tapi masih banyak yang suka. Masalah menikmati kopi ujung-ujung memang tergantung selera.”

Suleman sendiri lebih senang medium dan light. Kopi dengan rasa terbaik. Inilah yang banyak dijual di kedai kopinya dengan beragam macam varian.

 

Membantu Petani Kopi

Ketertarikan Suleman terhadap dunia kopi baru-baru saja. Pada tahun 2014 ia menemani seorang pejabat dari Kedutaan Selandia Baru mengunjungi petani kopi di Sapan, sebelah barat Tanah Toraja. Ia menjadi miris karena banyak petani kopi yang sudah meninggalkan kebun. Harga anjlok di harga Rp9.000 per kg di tingkat petani.

Ia pun mulai memikirkan bagaimana cara mengajak petani untuk kembali berkebun. Ia menawarkan diri untuk membantu menaikkan harga. Caranya dengan membeli langsung dari petani dengan harga yang lebih baik, dua kali dari sebelumnya. Hargapun perlahan naik dari Rp9.000 per kg, naik menjadi Rp15.000. Sekarang harga kopi telah mencapai Rp20.000-Rp22.000 per kg.

“Ini yang membuat banyak pedagang kopi yang tak senang karena saya dianggap merusak harga kopi. Saya beli lebih mahal.”

Untuk menjamin kualitas kopinya, Suleman datang sendiri membeli kopi di kebun petani. Lazim terjadi banyak kopi didatangkan dari luar tapi kemudian diklaim sebagai kopi Toraja.

“Itu dalam bisnis kopi ada juga mafianya. Kopi dari Seko misalnya dijual diakui sebagai kopi Toraja. Toh kita tidak tahu. Padahal mimpi saya bagaimana mengangkat standarisasi kopi di Toraja ini.”

Pilihan Sulaaeman untuk terjun di bisnis kopi didasari pada keinginannya membantu petani. Ia merasa memiliki tanggungjawab karena punya ikatan dengan dunia kopi. Kakeknya dulu adalah pendatang dari Teteaji di Kabupaten Sidrap yang datang ke Toraja untuk bisnis kopi. Datangnya pedatang kopi dari luar menyebabkan ‘perang kopi’. Sejarah kopi ini menambah keingintahuannya akan perdagangan kopi. Pembicaraan tentang kopi selalu menjadi topik yang menarik baginya.

Menurutnya, kopi Toraja datang sejak tahun 1600-an berupa kopi Arabika, yang dibawa oleh pedagang muslim. Kopi yang dianggap kopi asli Toraja ini disebut kopi Kaa atau Kawai. Karena serangan hama penyakit, kopi ini sempat hilang dan hanya tersisa sedikit di pegunungan, hingga kemudian datanglah kopi robusta, yang dibawa oleh Belanda. Kopi robusta ini kemudian dikenal dengan nama ‘Kopi Belanda’.

“Kopi Toraja yang ada sekarang punya citarasa khusus karena perkawinan antara kopi tua dengan varietas baru. Kalau ibarat ayam, kopi Toraja itu mirip ayam kampung.”

Totalitas Suleman dalam usaha kopinya juga ditunjukkan melalui pengemasan yang baik. Ia mengakui khusus membeli plastik kemasan dari Taiwan.

“Biarpun kopinya bagus tapi kalau kemasan tak bagus juga jadi masalah,” ia menambahkan.

 

Kopi kemasan Suleman dijual dalam beberapa varian dan ukuran. Ia mengakui harga kopinya lebih mahal dibanding di tempat lain, namun dari segi kualitas ia berani memberi jaminan. Pelanggannya banyak dari wisatawan dalam dan luar negeri yang berkunjung ke Toraja. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Kelebihan kemasan impor yang dibelinya itu adalah memiliki klep penutup yang bagus, terdiri dari tiga lapis klep yang tak mudah tembus. Kelebihan lainnya adalah adanya lubang pelepasan tekanan udara searah.

“Kopi yang bagus akan keluarkan gas. Kalau tekanannya tinggi ia akan keluar sendiri, tapi udara dari luar takkan masuk.”

Meski kopi produk Suleman sudah dikenal luas, termasuk wisata mancanegara yang berkunjung ke Toraja, namun ia masih kesulitan memasarkannya ke luar, karena biaya pengiriman yang tinggi, jauh melebihi harga kopi itu sendiri.

“Banyak pemesanan dari luar negeri biaya pengiriman sangat mahal. Anehnya karena pengiriman dari luar justru biayanya murah. Ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk mendukung usaha seperti kami ini.”

Suleman sendiri merasa bangga dengan pencapaiannya selama ini. Para petani sudah kembali ke kebun, karena harga kopi yang semakin membaik, meski tetap menyayangkan bahwa sebagian besar petani berasal dari generasi tua.

“Anak muda tak lagi mau jadi petani, mereka lebih senang merantau.”

 

Exit mobile version