Mongabay.co.id

Cerita Kala Kepercayaan Adat Orang Mentawai Dilarang, dan Pindah Paksa dari Hutan (Bagian 1)

Darmanto, sikerei di Bekkeiluk. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Kala Orde Baru, orang Mentawai sudah dipaksa meninggalkan kepercayaan dan ritual adat mereka. Setelah itu, orang Mentawai dipaksa pindah ke pesisir, jauh dari hutan…

 

Malam itu, rumah Yohannes Nake tak sepenuhnya gelap. Satu bola lampu cas digantung di pintu depan menerangi rumah.

Beberapa tetangga duduk di selasar, menunggu kata dari dua pria berkabit (cawat) yang masih sibuk menggoncang-goncangkan jejeneng (lonceng).

Mereka muurai (menyanyi), muturuk (menari) dengan seikat daun taipotsala di tangan kiri. Sesekali kaki mereka menghentak keras ke lantai. Ada roh jahat dalam tubuh Aventina Sagulu yang harus diusir.

Sementara gadis kecil itu terkulai lemas menyandar pada dada ibunya, Maria Victoria Sanambaliu. Tatapan sayu dan napas berat.

Sikerei Petrus Sagulu membuat liontin daun aileleppet, untuk mendinginkan tubuh Aventina. Sudah dua hari bungsu Yohannes Nake Sagulu itu didera demam batuk.

Malam itu dua, Sikerei Rereiket melakukan ritual penyembuhan. Beberapa lembar daun palakudu direndam air dalam mangkok. Sikerei Petrus, terus menyanyikan mantra-mantra dalam bahasa Mentawai, terus menari, dan menggoncang-goncangkan jejeneng.

Setengah jam, Sikerei Yohanes Tatebburuk mendadak turun dari rumah, berjalan terburu-buru ke Sungai Silaoinan, menghayutkan palakudu yang terendam dalam mangkuk—cara sikerei membuang roh jahat agar tak kembali mengganggu.

Tak lama dia kembali ke rumah, duduk bersila memarut batang pelekak, palakokoai’, simakainau’ dan buah simakainau’ dicampur tumbukan daun teteloinak, pangasabau dan babagga’. Ramuan itu diusapkan ke tubuh Aventina.

Ritual belum selesai. Ayam hitam dibakar di tungku hingga bulu habis dan memotong jadi beberapa bagian sebelum direbus dengan air bergaram. Lewat usus ayam, Petrus melihat apakah penyakit Aventina bisa disembuhkan. “Ada tanda yang terlihat dari usus ayam, hanya sikerei (tabib) yang bisa membacanya,” kata Yohanes.

 

***

Lima dekade silam, terjadi pemberangusan Arat Sabulungan (kepercayaan adat orang Mentawai). Pemerintah bersama aparat menebar teror. Hampir di seluruh Kepulauan Mentawai dicekam rasa takut. Sikerei dicap terlarang!

Pemaksaan itu datang tiba-tiba. Sibeleng lari masuk hutan di Bekkeiluk, berhari-hari tidak pulang ke rumah, sembunyi dari kejaran polisi. Keluarga Darmanto dalam ketakutan. Beberapa kali polisi datang, menanyakan Sibeleng Salimu, bapaknya.

Dia masih muda saat itu. “Kalau pejabat Mentawai, polisi lihat luat (ikat kepala) dan tudak, dibakar. Orangnya (sikerei) ditangkap,” kata Darmanto.  “Adat Mentawai mau dihilangkan, karena dianggap mengganggu pembangunan.”

Pemberangusan Arat Sabulungan meluas hingga ke Puro, Kepulauan Siberut, tiga setengah jam naik perahu dari Bekkeiluk.

Batista Teu Lakka, 78 tahun dari Suku Sabulukkungan menjadi korban bagaimana Arat Sabulungan yang diimani orang Mentawai itu berusaha dihancurkan. Batista masih ingat betul saat ditangkap karena jadi sikerei, ditodong senjata, kabit dilucuti dan digelangdang ke kantor polisi tanpa perlawanan.

Era Soeharto, pada 1970-1980an,  upaya penghancuran Arat Sabulungan terjadi besar-besaran. Mentawai diselimuti ketakutan.

Gelombang penghancuran itu menajam. Aparat berbaju loreng datang bersama teror. Mereka masuk Siberut dan menggeledah setiap uma. Barang-barang ritual, peralatan sikerei dibakar, pakaian adat Mentawai pun dirampas dan dibakar. Arat Sabulungan dicap sesat, pasca rapat tiga agama digelar pada 1954.

“Pemerintah memberikan mandat pada polisi untuk memusnahkan kami,” kata Batista.

“Apalagi pakai ti’ti’ (tato) ini, sampai bapak ini dipenjarakan,” kata Markus Tatebburuk, seraya menunjuk Batista. Seingatnya aparat berbaju loreng datang ke Puro sekitar 1982.

 

Kampung Bekkeiluk, kala musim penghujan tak luput dai banjir. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Tarida Hernawati sudah 15 tahun mendampingi masyarakat adat Mentawai. Antropolog ini cerita, jika upaya penghancuran Arat Sabulungan dimulai sejak Orde Lama. Semasa Soeharto pemberangusan lebih repesif dengan kekuatan polisi dan militer.

Dia bilang, waktu itu semua lelaki berambut panjang ditangkap, dan dipotong paksa. Kabit, luat, lekkeu (kalung) dilucuti.  “Kalau pakai cawat disuruh ganti pakai celana, alat-alat budaya dibakar.”

Landasan pemusnahan aliran kepercayaan dibuat pada masa Soekarno. Ali Sastroamidjojo, yang menjabat perdana menteri kurun 1953-1955 membentuk panitia interdepartemental peninjauan aliran kepercayaan di masyarakat (interdep pakem) dengan SK No.167/PROMOSI/1954.

RHK Sosrodanukusumo, Kepala Jawatan Reserse Pusat Kejaksaan Agung jadi ketua panitia. Melalui SK Ali, pemerintah memberi mandat kejaksaan mengawasi, menyelidiki bahkan melarang semua kepercayaan yang tak sesuai dengan agama yang akui pemerintah: Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha.

Aturan pemusnahan aliran keperacayaan terus berkembang sampai muncul UU No.1/PNPS/1965.

Rapat tiga agama menganggap Arat Sabulungan di Mentawai sama dengan aliran kepercayaan, karena percaya pada roh Tai Kaleleu (penguasa hutan), Tai Kabagatpolak (penguasa tanah), Tai Kabagatoinan (penguasa sungai). Juga Tai Kamanua (penguasa langit), Tai Kabagatkoat (penguasa laut), dan Ulau Manua (penguasa alam semesta yang disebut Tuhan).

Dasar itu jadi alasan kuat bagi pemerintah memusnahkan Arat Sabulungan. Masyarakat adat Mentawai dipaksa meninggalkan budaya sikerei yang erat melakukan ajaran Arat Sabulungan.

Mereka diberi waktu tiga bulan untuk memilih agama—waktu itu hanya ada Islam dan protestan di Mentawai. Jika menolak, budaya mereka akan dimusnahkan.

Pada 1952,  Islam masuk ke Siberut. Tiga tahun setelah itu banyak misionaris Katolik menyebarkan agama di Siberut.

Kata Tarida, Batista dan banyak masyarakat adat di Puro, masuk katolik pada 1956. Islam baru populer di Siberut era 1990an.

Sejak itu, budaya Mentawai cepat menghilang. Di Pagai dan Sipora, hampir tak ada lagi. Masyarakat adat di sana banyak memeluk Protestan yang keras melarang kepercayaan lama. Meskipun begitu, budaya Mentawai terus hidup di pulau-pulau kecil yang jauh dan sulit dijangkau.

 

Perempuan di Bekkeiluk membuat jaring untuk menangkap ikan di Sungai Silaoinan. Foto: Yitno SUprapto/ Mongabay Indonesia

 

***

Malam di akhir November, saya mengunjungi Darmanto. Rumah kedua di ujung Kampung Bekkeiluk itu terlihat lebih gelap. Lampu minyak di meja selasar menerangi rumah.

Sebelum masuk Islam, Darmanto beragama Bahai. Dia percaya Bahaullah sebagai nabi. Darmanto belajar Bahai dari Warijan, pria asal Jawa Tengah yang merantau ke Mentawai. Bahai juga dilarang zaman Soekarno.

Sikerei di Bekkeiluk ini menunjukkan kepada saya bagaimana dia sembahyang. Dia memejamkan mata, dan mulai megucapkan semua kata pengagungan pada Tuhannya—dalam bahasa Indonesia. Darmanto percaya jika Tuhan itu satu.

“Sebenarnya semua agama itu sama, ujungnya pada yang di atas, Tuhan Yang Maha Esa.”

 

 

Memindahkan dari hutan

Sekitar 1970, dari hutan Bekkeiluk Pemerintah Orde Baru mulai memindahkan Suku Sagulu, Tatebburuk, Sakalio, Saumanuk dan Salebbai, ke perkampungan tak jauh dari uma Tatebburuk.

Pada 1981, pemerintah kembali memindahkan mereka ke wilayah lebih hilir, di Mongan Lupa. Perpindahan belum berhenti, mereka kembali direlokasi ke Dusun Puro II, Desa Muntei, Muara Siberut. Saat itu,  ada sembilan keluarga dari Suku Sagulu ikut pindah.

Pemindahan sistematis, lewat program pembinaan kesejahteraan masyarakat terasing (PKMT)—sebelumnya bernama pemukiman kembali masyarakat terasing. Dinas Sosial membangun pemukiman macam perkampungan di pesisir pantai dan pinggiran sungai yang jauh dari hutan.

Mereka dipaksa meninggalkan uma, pindah ke perkampungan dan mulai bercocok tanam. Bagi masyarakat Mentawai, uma adalah simbol budaya dan tempat upacara adat. Pemerintah mengiming-imingi rumah, ladang dua hektar, beras dan mie instan selama dua tahun.

Markus Tatebburuk tak kuasa menolak. Dia terpaksa hidup di perkampungan bersama suku yang berbeda. Markus tidak nyaman, dan merasa jadi korban politik. “Kami (masyarakat adat  Mentawai) diperlakukan layaknya anak emas, tapi bohong.”

Meski pindah ke Puro, anggota uma Sagulu sering kembali ke Bekkeiluk, Silaoinan, melihat kebun sagu dan ternak: babi dan ayam. Lokasi yang jauh, membuat sebagian besar anggota uma Sagulu kembali menetap di Bekkeiluk.

Sampai sekarang, puluhan masyarakat adat Mentawai di Puro tak juga mendapatkan hak milik atas tanah yang mereka tinggali.

Konflik justru muncul tatkala keturunan Suku Sabulat, Sakerenganlelegu, Saurei,  yang jadi pewaris tanah adat menggugat dan berniat menjual.

Daniel Tonggilak, Tetua Adat Uma Sabulukungan bilang, Bupati Edison pernah janji memberikan sertifikat tanah untuk 80 rumah. Seminggu, dia dan puluhan orang adat di Puro menduduki kantor DPRD menuntut hak mereka, menagih janji Edison.

Daniel minta,  pemerintah bertanggungjawab dan tak membiarkan Suku Sabulukkungan dan suku lain berkonflik. Dia minta, pemukiman di Puro jadi hak milik, dan pemerintah mengakui wilayah adat mereka.

“Ini bentuk tanggungjawab pemerintah, kenapa kami dipaksa pindah. Sudah terlalu banyak pengorbanan kami dulu meninggalkan hutan, meninggalkan adat, kenapa pemerintah sekarang tidak bertanggungjawab?” (Bersambung)

Keterangan foto utama:  Darmanto, sikerei di Bekkeiluk.

 

Dusun Bekkeiluk banjir saat musim hujan, banjir terus meninggi seiring banyak hutan di jarah perusahaan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version