Mongabay.co.id

Melihat Perjuangan Para Penjaga Alam di Festival Film Indigenous di Bali

Dinja Jakesika, 32 tahun dari suku Dongria Kondh di India disebut perempuan pertama dari sukunya yang mendapat paspor dan bepergian ke luar negeri. Ia disebut salah satu pejuang dari warga adatnya yang mempertahankan tanah adat dari pertambangan dan akan hadir di Indigenous Film Festival yang dihelat pada 26- 29 Januari 2018 di Paradiso, Ubud, Bali.

Sejak tahun 2005, Video Republic telah terlibat membantu warga menggunakan video dan multimedia untuk memerangi penjarahan sumber daya alam dan kekejaman hak asasi manusia. Niyamgiri, The Mountain of Law sebuah film documenter memperlihatkan bagaimana perjuangan para perempuan adat menghadapi barikade polisi. Mereka menari dan orasi sebagai bentuk protes untuk menolak usaha tambang di gunung yang mereka sakralkan dan jadi lahan kehidupan dengan menanam bahan pangan dan kayu hutan.

Video dinilai senjata anti kekerasan yang bisa dimanfaatkan masyarakat adat dalam melawan korporasi yang merampas tanah serta perusakan lingkungan. Hal ini diakui Emmanuela Shinta, perempuan muda suku Dayak di Kalimantan Tengah ini berkisah jika video menjadi medium untuk menyuarakan kegelisahan atas masalah di sekitarnya.

 

 

Shinta mengelola Ranu Welum, sebuah lembaga pemberdayaan warga khususnya lewat pengembangan media dan video sebagai advokasi. Ia akan bicara di salah satu forum diskusi festival film yang untuk kali pertama diadakan ini.

Ranu Welum artinya air kehidupan. “Sesuai dengan masalah kami di Kalteng, sering kebakaran hutan tapi tak banyak diekspos media,” urainya di sesi jumpa pers pada Mongabay Indonesia.

Ia merasakan perbedaan antara menjadi tokoh dalam film dan membuat film sendiri. Sejumlah film tentang Kalimantan menurutnya kadang berisi stigma atau cap buruk walau maksudnya baik. Misalnya orang Kalimantan makan manusia, tidak pakai pakaian, atau petani lah yang bakar hutan. “Kalau kami sendiri yang bikin, ada perspektif yang berbeda. Tak hanya menyuarakan tapi penguatan identitas kita sebagai masyarakat adat,” urai Shinta.

Namun ia mengakui film-film yang dibuat tentang Kalimantan termasuk dari orang asing membuka mata mengenai masalah yang tak banyak diketahui karena walau daerahnya disebut paru-paru dunia karena hutannya namun tak banyak yang mendiskusikannya dalam keseharian. Ia menyontohkan film tentang kebakaran lahan gambut parah “Heart of Haze” di Kalimantan Tengah.

Ranu Welum kemudian fokus mendorong anak muda mendokumentasikan tanah kelahirannya sendiri beserta segala masalah terutama masalah lingkungan, adat, dan sosialnya. Hasil karya ditayangkan dalam sejumlah event misalnya peringatan hari masyarakat adat.

 

 

Festival film indigenous di Bali ini dilaksanakan bekerja sama dengan Ranu Welum, Handcrafted Film, If Not Us Then Who, dan Infis. Pembukaan dimulai 26 Januari malam dengan tari Dayak dan film Long Saan, disutradarai Eric Est, pembuat film yang mukim di Bali. Mengisahkan Philius, anak suku Dayak dari Omah Long yang kembali ke hutan melihat tanah leluhurnya.

Ada sekitar 32 film yang diputar di festival ini, sebanyak 17 film dari Indonesia dan sisanya dari 12 negara lain yakni India, Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Peru, Panama, Honduras, Brasil, Nikaragua, Kongo, Kanada, dan New Zealand.

David Metcalf, inisiator festival ini menyebut hasil dari tiket masuk akan dimanfaatkan untuk pengembangan keterampilan membuat film bagi anak muda masyarakat adat. Menurutnya sangat penting anak muda komunitas sendiri memiliki keterampilan dan membuat videonya sendiri untuk mengabarkan tantangan yang terjadi di sekitarnya. Misalnya soal perebutan lahan dan perusakan lingkungan.

Pria ini memiliki perhatian pada isu masyarakat adat terutama di Kalimantan dan ikut membantu sejumlah organisasi seperti Ranu Welum, Ransel Buku, dan akademi tari Dayak.

Panitia menyeleksi dan menghubungi sutradara film-film yang akan ditayangkan ini. Dikelompokkan menjadi sejumlah bagian seperti dokumenter dan yang bertemakan solusi atas masalah yang terjadi di tempat tinggal masyarakat adat.

“Tujuan utamanya menunjukkan perjuangan dan tantangan masyarakat adat atas kerusakan kebudayaan dan alamnya,” urai David. Dari festival film yang direncanakan akan dihelat tahunan ini ada ribuan anak muda yang menyelamatkan alam dan budayanya melalui karya-karyanya.

Sejumlah workshop dan diskusi antar para pembuat film dan tokoh masyarakat menurutnya akan sangat penting agar tiap aktor tahu apa yang terjadi di daerah lain. Termasuk ide-ide mendukung gerakan pendokumentasian oleh warga dan penayangan karya mereka.

Erik Est, sutradara muda ini mengakui masalah utama selain kurangnya pendanaan adalah bagaimana cara atau strategi menayangkan film yang dibuat karena banyak yang kemungkinan memantik protes. Ia menyontohkan rekannya Adi dari Aceh, ia membuat film untuk menelusuri apakah Aceh memang memiliki hukuman cambuk. Namun takut menayangkan.

“Banyak anak muda yang tertarik pada isu masyarakat adat ini,” ujar Erick. Salah satu komunitasnya adalah Sinema Orang Indonesia.

Pada 29 Januari ada sesi lokakarya untuk para pembuat film tentang bagaimana membuat dokumenter yang efektif dan menarik. Harga tiket masuk adalah Rp50 ribu per film dan Rp800 ribu untuk tiket terusan 3 hari dan akses ke semua forum.

Film-film yang ditayangkan dan didiskusikan akan memperkaya batin dan perpektif melihat bagaimana alam memberikan manfaat besar dan salah satu penjaganya adalah masyarakat adat. Namun persoalan hadir ketika negara memberikan izin perusahaan melakukan eksploitasi di lahan-lahan ulayat adat yang selama ini dijaga dan memberi pangan.

Beradaptasi dan hidup selaras alam membuat warga memiliki keahlian istimewa. Misalnya film berjudul Jago, A Life Underwater produksi 2015 tentang suku laut Bajo berkategori pendidikan dan budaya ini. Dokumenter tentang Rohani, pemburu berusia 80 tahun yang menyelam seperti ikan dengan satu nafas, turun ke kedalaman laut dalam selama beberapa menit. berlatarbelakang Kepulauan Togian di Indonesia di mana dia tinggal, film pemenang penghargaan ini menciptakan kembali peristiwa yang dapat menangkap titik balik yang luar biasa dalam hidupnya. Disutradari James Reed dan James Morgan, menonton film ini bak menikmati fotografi lanskap yang menakjubkan.

Sementara dari hutan Kalimantan ada Desa Tembak yang menyuguhkan siasat perlawanan pada ekspansi sawit. Solusi tetap memiliki hutan dan memberikan nilai tambah, dibanding dibabat jadi kebun sawit. Tengkawang Factory, Solution from the Jungle tahun 2016 ini memperlihatkan upaya sekelompok warga mengelola sebuah pabrik pengolahan buah Tengkawang yang menghasilkan minyak dan aneka produk ikutannya yang berguna.

Disutradarai Willie Smits, pabrik ini juga dioperasikan dengan upaya ramah lingkungan melalui teknologi tepat guna mengikuti proses pengolahan buah dari pohon Tengkawang ini. Misalnya proses pembakaran sisa ranting menghasilkan arang kayu yang bermanfaat menyuburkan kebun, hawa panasnya membantu pengeringan buahnya, dan limbahnya jadi thiner pelapis kayu ramah lingkungan.

Dari Peru, ada film dokumenter berjudul Our Fight karya Paul Redman. Kisah Edwin Chota dan tiga pemimpin adat Asháninka dibunuh saat membela hutan mereka. Dengan kemampuannya mereka melawan pembalak liar yang semakin kejam beroperasi di tanah leluhur mereka selama lebih dari satu dekade.

 

Exit mobile version