Mongabay.co.id

Budidaya Ikan dan Bertani di Lahan Sempit. Seperti Apa?

Bangunan tua itu sekilas terlihat tak terawat. Dindingnya terkelupas dimakan usia. Di bagian depan dindingnya malah telah diganti dengan bambu. Bersebelahan dengan sejumlah bangunan lain yang jauh lebih modern. Bagian atasnya pun sudah terbuka lebar memberi akses yang luas bagi cahaya matahari dan hujan ke bagian dalam ruangan tersebut.

Bangunan tua itu memang sudah berubah fungsi. Bukan lagi sebagai tempat tinggal, tapi dijadikan kolam ikan dan kebun cabai. Puluhan tahun tak terawat membuat bagian dalam bangunan itu ditumbuhi rerumputan dan tempat bernaung kambing. Baru setahun terakhir bangunan itu disulap hingga menjadi seperti sekarang.

Adalah Jabal Nur (39) yang memiliki ide memanfaatkan bangunan terbengkalai tersebut menjadi seperti sekarang. Ketika sebuah program pemberdayaan masyarakat pesisir yang disebut Coastal Community Development Project – International Fund Agriculture Development (CCDP-IFAD) menawarkan program untuk mereka, Jabal Nur dan sejumlah warga lainnya mengambil peluang tersebut.

Mereka membentuk kelompok yang dinamakan Je’ne Tallasa dan memilih budidaya ikan sebagai kegiatan utama mereka di Kelurahan Balang Baru, Tamalate, Makassar, Sulsel. Kini terbangun lima kolam ikan yang masing-masing berisi ikan nila, lele dan patin.

 

Kelompok Je’ne Tallasa di Balang Baru, Tamalate, Makassar, Sulsel memanfaatkan bangunan tua di sekitar rumahnya untuk budidaya ikan dan bertani cabe. Potensi budidaya ikan lele cukup besar karena pasar yang semakin meluas dan harga yang bagus. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Para anggota kelompok ini sendiri sebelumnya sudah berkecimpung pada usaha budidaya ikan sejak tiga tahun silam. Hanya saja dulunya mereka tak berkelompok. Jabal Nur sendiri memiliki usaha keramba ikan di daerah Benteng Somba Opu, Kabupaten Gowa.

Alasan Jabal Nur dan anggota kelompok lainnya memanfaatkan lahan tidur tersebut sebagai tempat usaha karena prihatin melihat bangunan rumah tersebut terbengkalai tak terurus. Padahal luas lahannya cukup memadai untuk dimanfaatkan. Alasan lainnya adalah faktor jarak, di mana lokasi tersebut dekat dengan rumah anggota kelompok.

“Kalau kita pakai keramba di bantaran Sungai Je’ne Berang kan itu lokasinya agak jauh, sementara budidaya seperti ini butuh kontrol setiap saat, maka kita pilih wilayah sekitar sini. Cuma untuk ikan nila tetap kita pembibitan di keramba, karena ikan ini memang agak beda dengan ikan lele. Butuh sirkulasi air yang baik. Kalau di sungai ikan-ikan ini bisa memperoleh makanan dari plankton-plankton,” ungkapnya.

Kelompok Je’ne Tallasa sebenarnya fokus pada budidaya ikan lele. Ikan nila dan patin hanya sampingan saja. Pemeliharaan ikan lele dianggap lebih mudah, begitupun dengan pemasarannya. Harga ikan per kg biasanya fluktuatif, antara Rp11 – 13 ribu.

“Sekarang ikan lele banyak peminatnya, tak seperti dulu. Sekarang saya lihat rata-rata oramg sudah makan ikan lele. Kalau mau dijual tinggal hubungi pedagang pengumpul yang langsung beli semuanya. Ikan besar dan kecil dihargai sama.”

Untuk memperoleh bibit, Jabal Nur membelinya di Kompleks Angkatan Laut Depan Pasar Panampu. Konon bibit tersebut dibeli dari Surabaya. Bibit lele biasanya berukuran 3,4 cm atau 4,5 cm. Harga akan tergantung pada ukuran bibitnya. Dengan pembelian sekitar 5000 bibit, modal usaha yang dibutuhkan sekitar Rp1,25 juta.

 

Ketua Kelompok Je’ne Tallasa, Jabal Nur, bersama anggota kelompok lainnya memanfaatkan bangunan tua di sekitar rumahnya untuk budidaya ikan dan bertani cabe. Kini mereka memiliki lima kolam dengan ribuan ikan lele, nila dan patin. Di kelilingi lahan cabe yang siap panen. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Agar bisa panen tiap bulan, Jabal Nur menerapkan strategi dengan mengisi ketiga kolam tidak sekaligus, namun bertahap sejumlah kolam yang tersedia. Hingga saat ini Jabal Nur mengaku sudah panen hingga belasan kali.

“Dulu tak pernah seperti ini, kita panennya empat bulan sekali. Setelah ada bantuan IFAD, butuh waktu empat bulan untuk panen perdana, setelah itu kita mulai panen setiap bulan. Bulan ini kita panen sekitar 470 kg, hasilnya sekitar Rp5 juta. Malah kita pernah dapat penjualan hingga Rp7 juta sekali panen. Cuma harga juga fluktuatif. Kalau lagi banjir ikan, biasanya harga juga turun, seperti sekarang ini.”

Pengalaman tiga tahun budidaya ikan secara mandiri membuat Jabal Nur banyak belajar, termasuk jenis penyakit apa yang biasa menyerang ikan dan bagaimana pengobatannya. Termasuk jenis makanan yang bagus bagi pertumbuhan ikan. Setelah mendapat dukungan IFAD Jabal mengakui mendapat banyak pengetahuan tambahan dari berbagai pelatihan yang diikutinya.

Dari usaha ini Kelompok Je’ne Tallasa bisa memperoleh keuntungan bersih minimal Rp1,5 juta per bulan. Dari lima kolam yang ada, hanya empat kolam yang dijadikan tempat pembesaran ikan, sementara kolam satunya lagi dijadikan kolam pembibitan ikan patin.

 

Minim Polusi Bau

Untuk menjamin kebersihan air maka Jabal membuat sistem sirkulasi air. Di bagian bawah kolam diberi pipa dan slang untuk mengalirkan air keluar, yang kemudian ditampung dalam sebuah ember. Sisa air buangan ini kemudian digunakan untuk menyiram tanaman.

“Jadi, semua limbah itu kita manfaatkan untuk kebutuhan lain, yaitu untuk menyiram tanaman cabai. Kebetulan juga di lokasi ini kita bangun kebun cabai.”

 

Tanaman cabai di sekeliling kolam ikan tumbuh subur karena mendapat pupuk dari limbah ikan yang dibuang secara rutin. Dalam satu lahan, kelompok ini bisa mendapatkan keuntungan dengan biaya yang terbatas. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Dengan adanya sistem sirkulasi air bisa meminimalkan dan bahkan bisa meniadakan polusi bau, yang selama ini menjadi tantangan bagi pembudidaya ikan lele. Setahun setelah adanya kolam ini, Jabal mengakui tak pernah mendapat komplain dari warga sekitar.

“Kalau pun ada bau, itu hanya sedikit dan tak cukup sejam, karena akan segera dibersihkan. Kami rutin membersihkan. Tempat pembuangannya pun kita tutup rapat. Kalau habis panen, kolam juga kita bersihkan betul hingga tidak ada kotoran yang tersisa. Kita alirkan air hingga benar-benar bersih sebeljum digunakan kembali.”

Budidaya ikan lele bukannya tanpa resiko dan tantangan. Tantangan terbesarnya adalah munculnya penyakit berupa sirip merah, ekor busuk dan kumis putih. Penyebabnya antara lain pada kondisi cuaca dan air yang kotor karena sirkulasi air terganggu.

Khusus untuk penyakit kumis putih, gejalanya bisa dilihat dari kumis ikan yang putih. Kalau sudah rontok menandakan kondisinya agak membaik. Pengobatannya selain menggunakan obat yang disebut Entroplox juga kadang memberikan garam.

Seluruh anggota kelompok aktif, dimana setiap anggota kelompok memiliki giliran mengontrol kolam dan memberi pakan. Sementara untuk pembagian keuntungan ke anggota kelompok biasanya dilihat dari kinerja mereka.

Jabal optimis budidaya ikannya ini akan berkembang pesat karena setiap hari permintaan pasar meningkat.

“Selama ini saya lihat budidaya ikan lele itu kendalanya di pemasaran. Iya jadi kalau saya pemasaran tidak ada masalah jadi ini prospeknya akan sangat bagus ke depan,” katanya.

Untuk hasil panen cabai, Jabal belum bisa merinci penghasilan mereka dari tanaman tersebut, karena masih menunggu panen pertama. Ratusan polybag berisi tanaman di tersebut terlihat sangat padat dan siap panen.

“Kebun cabai ini memang kita bikin belakangan, kita uji coba siram menggunakan limbah ikan, dan ternyata berhasil. Kalau dilihat kondisi sekarang panennya akan banyak.”

 

Exit mobile version