Mongabay.co.id

Citarum Sebagai Sumber Air Potensial, Bisakah Diandalkan?

Pencemaran di Sungai Citarum merupakan potret buram masa depan ketersediaan air. Peningkatan lahan kritis akibat perubahan tata guna lahan yang berpadu dengan sampah dan limbah, menyebabkan kualitas dan kuantitas air Citarum menurun.

Berdasarkan data Badan Pengelolaan DAS Citarum – Ciliwung tahun 2006, luas keseluruhan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum mencapai 731.973.25 hektar. Sekitar 454.340 hektar, berada di kawasan hulu Citarum di Kabupaten Bandung. Namun kini, hulunya mulai gundul.

Kondisi ini berdasarkan data Puslitbang Sumber Daya Air Kementerian PUPR, menunjukan terjadinya alih fungsi kawasan hutan ke non-hutan sekitar 80.000 hektar. Berdasarkan hasil citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), disimpulkan kondisi yang sama. Di sub-DAS hulu, hutan seluas 230.000 hektar kini hanya tersisa 5.980 hektar. Atau hanya ada 8,6% di 2017.

“Kerusakan Hulu Citarum merupakan persoalan serius. Warga Jawa Barat dan DKI Jakarta terancam kehilangan sumber mata air,” kata Pangdam III/Siliwangi Mayjen Doni Monardo yang juga mulai bergerak melakukan penanaman pohon di kawasan hulu. Kodam Siliwangi berencana merelokasi pemukiman penduduk di hulu, yang diawali sosialisasi pada Minggu (28/1/2018).

 

Baca: Sungai Citarum, Saatnya Ditata Menjadi Harum!

 

Sejatinya, DAS Citarum masuk prioritas skema penanganan DAS Kritis. Seperti halnya yang tertuang dalam Recana Pembanguan Jangka Menangah 2010-2014 Kementerian Kehutanan (2009), saat itu. Bahkan, program rehabilitasi telah dicanangkan beserta dana pemulihan hutan.

Awal 2017, Citarum pun kembali jadi pusat perhatian. Pemerintah pusat menganggarkan Rp257 miliar guna rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) kawasan hulu DAS Citarum dan DAS Cimanuk. Pertumbuhan penduduk telah mendorong meningkatnya kebutuhan air baku. Sehingga ketersediaan air bersih sangat mendesak, mengharuskan masalah di DAS Citarum segera diatasi.

 

Dua anak tampak bermain di Sungai Citarum di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu. Ketika debit air dari hulu berkurang kawasan tersebut dilanda kekeringan, sebaliknya saat musim penghujan luapan sungai Citarum mimbulkan banjir setinggu 1 – 2 meter. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sungai yang berhulu di Gunung Wayang, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung dan bermuara di Kabupaten Karawang ini memang memiliki nilai strategis. Airnya tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat tetapi juga pembangunan, mulai dari air baku, irigasi, industri, hingga dimanfaatkan untuk tiga waduk pembangkit listrik terkoneksi Jawa-Bali.

Bukan hanya itu, Sungai Citarum juga memasok 80% air minum untuk Jakarta. Dikutip dari Antara, Ahli Hidrologi Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengatakan Jakarta memerlukan sekitar 26.938 liter air per detik, namun yang tersedia hanya 17.700 liter air per detik. Diperkirakan pada 2020, defisit air di Jakarta sebesar 19.000 liter per detik.

 

Kondisi Sungai Citarum di Desa Pataruman, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Balai Besar Wilayah Sungai Citarum rencananya akan membuat terowongan di Curug Jombol untuk mengendalikan banjir yang kerap terjadi ketika musim hujan datang. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Budaya hilang

Persoalan Sungai Citarum dari hulu hinggi hilir, berkaitan erat dengan pendidikan dan ekonomi masyarakat yang diikuti pergeseran budaya. Budaya nyampah masyarakat yang berada di hulu, masuk ke Waduk Saguling yang didiperkirakan sekitar 250.000 meter kubik per tahun. Hal yang dikhawatirkan menyebabkan pendangkalan serta mempercepat umur waduk.

“Di tempat tinggal kami tidak ada tempat pembuangan sampah (TPS). Kadang sampah menumpuk di pinggir jalan, sehingga buang sampah ke sungai dianggap lumrah,” tutur Usron (60), warga Kampung Jembatan, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Berkembangnya pusat industri tekstil di wilayah Bandung Raya juga, menjadikan limbah sebagai sumber pencemar signifikan bagi Citarum. Hampir 2.700 industri beroperasi di sepanjang sungai yang sekitar 53% tidak mengelola limbah sesuai aturan.

Data Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat menyebut, 90% industri tidak memiliki instalasi pengelohan limbah (IPAL). Akibatnya, 340.000 ton limbah cair mengalir di Sungai Citarum setiap harinya.

Situasi ini membuat air yang asalnya jernih dari hulu, terkontaminasi bahan berbahaya beracun. Dari berbagai penelitian menunjukkan, kandungan Biological Oxygen Demand (BOD), COD, dan oksigen terlarut melebihi baku mutu air. BOD merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air.

Pertengahan Januari 2018, Kodam III/Siliwangi bekerja sama dengan instansi terkait serta masyarakat, telah menertibkan 31 pabrik yang membuang limbah secara langsung ke sungai di beberapa lokasi di Kabupaten Bandung. Pimpinan salah satu perusahaan tekstil, Billy Salim berdalih, pihaknya telah menjalankan pengolahan limbah sesuai peraturan.

“Andaikan melanggar, mungkin kami sudah ditegur Dinas Lingkungan Hidup. Untuk limbah, kami sudah maksimal memperbaiki pengelolaannya sejak pabrik berdiri 1993. Bila perusahan ditutup, bagaimana dengan karyawan yang bekerja?,” ucapnya.

 

Gambaran pemukiman penduduk di bantaran Sungai Citarum di Kabupaten Karawang, belum lama ini. Pertumbuhan penduduk di sepanjang sungai menjadi masalah pelik, pasalnya buruknya sanitasi serta kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai menyebabkan pencemaran sulit diatasi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ahli Hidrologi Institut Teknologi Bandung, Lambok Hutasoit, sebelumnya kepada Mongabay Indonesia mengatakan, kawasan industri bukan saja menimbulkan pencemaran, tapi juga krisis air tanah. Di Kawasan Rancaekek, misalnya, ketersediaan air tanah sudah masuk kategori krisis. Akibatnya, warga sulit mendapat akses air.

“Dampak makin berkurangnya muka air tanah akibat pengambilan tanpa batas oleh industri menyebabkan land subsidence (penurunan tanah). Hal ini semestinya juga diawasi pemerintah,” kata Lambok. Terlebih embung tadah hujan sudah banyak yang hilang sehingga cekungan Bandung makin rawan banjir.

Pemerintah memang pernah menjalin kerja sama dengan Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk memulai program pembersihan Sungai Citarum. Dana yang dikucurkan untuk membiayai program Integrated Citarum Water Resource Management Investment Program   (ICWRMIP) mencapai 500 juta dolar AS atau Rp6 triliun pada 2008 lalu.

Hampir satu dekade lamanya, keberhasilan program tersebut belum terukur dan belum dikaji komperhensif. Meski begitu, program baru terkait Citarum kembali digulirkan. Diprediksi, program Citarum Harum yang digulirkan ini membutuhkan dana sekitar Rp608 miliiar.

“Anggaran ini akan dibagi secara poroposial mulai dari pusat hingga tingkat kabupaten/kota. Semua unsur mesti terlibat dan dilibatkan dalam penanganan Citarum. Terlebih program ini didukungan pemerintah pusat,” jelas Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

 

 

Exit mobile version