Mongabay.co.id

Kala Hutan Mentawai Terus Jadi Incaran Pemodal (Bagian 2)

SIkerei Stefanus usai mencari ramuan di hutan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Pada Maret 1981, saat pemerintah sibuk merelokasi masyarakat adat, dan tentara membakari budaya sikerei, Gubernur Sumatera Barat, Azwar Anas dalam sebuah pidato berkata, jika sejak awal tahun pembangunan lima tahun (Pelita) pertama, hutan di Kepulauan Mentawai sebagai hutan produksi. Ia akan menghasilkan devisa dan sumber pendapatan negara.

Meskipun begitu, eksploitasi hutan Mentawai telah mulai satu dekade sebelumnya. Pada 1971, pemerintah mengeluarkan izin HPH pada enam perusahaan besar: PT.Cirebon Agung, PT Jaya Sumber Indah, PT CPPS, PT Bhara Union, CV Minas Lumber Corporation, dan PT Kayu Siberut.

Masuknya perusahaan ke Mentawai mengundang masalah, konflik muncul antara perusahaan dan masyarakat adat. Pada 2 Maret 1997, lebih 200 warga Desa Betumonga,  marah dan mengeroyok camat, kapolsek dan anggota Koramil Pagai Utara Selatan, serta manajer lapangan PT Fajar Mentawai Sakato—anak perusahaan Mudan Sakti Grup. Mereka dipukuli, ditendang ke sana-kemari. Keributan terjadi saat perusahaan yang menebang kayu tanpa izin itu diminta berhenti, tetapi tak menggubris.

Dalam laporan Yayasan Citra Mandiri, yang dibukukan dengan judul “Yang terus di garis lurus” bercerita bagaimana orang Mentawai berulang kali menolak perusahaan yang ingin mengeksploitasi hutan mereka.

Kurun 1996-2012,  belasan kali masyarakat adat Mentawai melawan untuk tujuh rencana penguasaan hutan oleh perusahaan.

Pada pertengahan November 1996, Selester Saguruwjuw, Kepala Desa Madobag menunjukkan sebuah dokumen yang lama membuat warga Rogdok resah.

Dokumen berisi penyerahan lahan dari empat suku: Samalelet, Sukulok, Sarogdok dan Saluluni, seluas 360 hektar pada Kantor Wilayah Departemen Sosial Sumbar untuk proyek PKMT Rogdok, Siberut Selatan. Dokumen itu ditandatangani 14 Januari 1992 oleh Rokdak, wakil Suku Samalelet, Benediktus Suku Sakulok, Malaikat dari Suku Sarogdok dan Albertus wakil Suku Saluluni.

Dokumen yang tak sengaja ditemukan di kantor sementara Depsos itu menyulut amarah 11 suku lain. Sementara perwakilan keempat suku merasa hanya menyerahkan 36 hektar untuk lokasi 56 rumah. Selester dituduh menjual tanah pada pemerintah, tetapi dia merasa tak bersalah.

Masyarakat menuntut ke pengadilan, lantaran tandatangan dan cap jempol empat orang perwakilan suku di Madobag dipalsukan. Buktinya, dua orang di antara mereka tak bisa baca tulis.

Upaya jalur hukum justru ditentang Camat Siberut Selatan, Khaidir. Dia mempermasalahkan mengapa persoalan tanah sampai ke pengadilan. “Saya katakan bukan tanda tangan saya di surat itu,” kata Malaikat dan langsung kepalanya ditempeleng Khaidir.

Sidang di pengadilan berlanjut sembilan kali, namun masalah ini akhirnya diselesaikan damai. Tanah 360 hektar diserahkan kembali pada 15 suku pemilik.

 

***

Pada perayaan Natal akhir Desember 1996,  di Gereja Katolik Stasi Desa Sabili, Siberut Tengah, berlangsung pertunjukan teater yang menceritakan kehidupan warga porak-poranda karena perkebunan sawit. Cerita tak selesai. Jemaah gereja ribut dan saling tuding ada yang terima suap.

Teater dilakoni aktivis Yayasan Cinta Mandiri (YCM) dan Walhi Sumatera Barat ini menolak perkebunan sawit masuk di Siberut. Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin mengeluarkan dua izin prinsip perkebunan sawit di Siberut Selatan dan Utara seluas 70.000 hektar, untuk PT Maharani Puri Citra Lestari dan PT.Citramandiri Widyanusa.

Menurut Kortanius Sabeleake, aktivis YCM—belakangan jadi Wakil Bupati Mentawai 2017-2022—mengatakan, kedua perusahaan ini milik Siti Hediati Soeharto.

Pada Agustus 1997, kedua perusahaan mulai pembibitan di Peipei dan Katurei.  Penolakan terus belanjut, aktivis YCM dan Walhi melawan lewat kesenian teater. Pasca pertunjukan teater, muncul penolakan masyarakat dan gereja. Akhirnya, pemerintah menghentikan izin prinsip kedua perusahaan ini.

Sebelum itu, 13 Mei 1997,  saat pagi masih buta, 80 pria pakai belasan perahu mengarungi Sungai Bosua, Sipora Selatan. Mereka meninggalkan Bosua menuju hulu, jauh ke pedalaman di Pangareuruat.

Sebagian mereka menggenggam parang.  Ada pula yang menyandang panah. Perahu berisi orang-orang siap perang.

 

Sagu, salah satu sumber pangan Orang Mentawai di Pulau Siberut. Foto: Rachmadi/ Mongabay Indonesia

 

Rombongan yang dipimpin pendeta, kepala desa, dan tokoh masyarakat ini datang ke kamp PT Bahara Union, perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 43.000 hektar di Sipora sejak 1971. Perusahaan milik Yayasan Polri ini sudah lama bikin masyarakat resah. Perusahaan menebang kayu-kayu besar di hutan Pangareuruat—di luar izin HPH.

Awal Desember 1996, Bhara Union mau masuk Bosua,  selama dua minggu perusahaan membuat tapal batas. Pada 30 Januari 1997, perusahaan justru mengambil kayu di tanah adat Bosua. Perusahaan mengklaim tanah adat masuk izin HPH. Warga protes. Menurut mereka tanah adat itu sudah jadi hak mereka sejak lama.

Warga Bosua sempat menyandera Syarif Erijon,  manajer lapangan Bhara Union dan tujuh pegawai. “Kami pulang seperti pemburu yang baru mendapat buruan, disambut warga kampung yang sudah cemas menunggu,” kata Rijel Samaloisa, aktivis YCM. Dia pernah jadi Wakil Bupati Mentawai 2011-2016.

Pasca penyanderaan, Rijel jadi buronan polisi. Kamar kos di Jalan Enggang, Air Tawar, Padang, digeledah dan diobrak-abrik. Karena tak ketemu, polisi menangkap lima tokoh masyarakat Bosua, mereka disiksa, dipaksa menunjukkan persembunyian Rijel.

Bhara Union, jadi salah satu dari enam perusahaan yang mendapatkan izin HPH dari Kementerian Kehutanan sejak hutan di Kepulauan Mentawai ditetapkan sebagai hutan industri pada 1971.

Data Dinas Kehutanan Sumbar 2001, jatah produksi tahunan Bhara Union mencapai 73.800 meter kubik. Pada 2005, Menteri Kehutanan tak lagi mengeluarkan rencana kerja tahunan perusahaan Polri ini.

 

***

Namanya Parabatu. Ia dusun di Desa Makalo, Pagai Selatan,  sekitar empat jam perjalanan dengan perahu motor dari Sikakap. Tujuh suku di Parabatu hidup bergantung pada hutan.

Pada 1996, PT Minas Pagai Lumber Corporation (MPLC) menebang kayu di hutan mereka. Suku di Parabatu tak tahu kalau 6.000 hutan adat mereka wilayah HPH MLPC. Warga marah dan mengusir pegawai perusahaan.

Sampai Juni 1997,  enam kali warga Parabatu mengusir pekerja MPLC. Warga sempat menyandera manajer lapangan MPLC, Pardede dan dipukuli. Setelah itu,  sembilan warga ditahan polisi selamat lima hari.  Mereka dipaksa menandatangi surat yang berisi setuju MPLC menebang di hutan Parabatu.

MPL didirikan di Jakarta 4 November 1975. Sebelumnya perusahaan berbentuk CV.  Pada 13 April 1971,  Menteri Pertanian mengeluarkan surat keputusan HPH dan addendum SK pada 26 Desember 1976, dengan luas kelola 90.000 hektar. Ia terbagi 38.390 hektar di Pulau Pagai Utara dan 51.610 hektar di Pagai Selatan.

Pada 11 Oktober 1995,  Menteri Kehutanan memperpanjang izin HPH sampai 13 April 2013, luas areal kerja 83.330 hektar, 60% saham MPL milik Titik Soeharto.

Pada 18 Juli 2013, MPL kembali mendapat perpanjangan izin HPH dari Kementerian Kehutanan melalui seluas 78.000 hektar hingga 2056.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kepulauan Mentawai, Binsar Saleleubaja, MPL mendapatkan izin rencana kerja tahunan untuk 14 petak seluas 1.500 hektar.

Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), mengatakan, pada 2001, empat tahun setelah keributan di Parabatu, warga Saibi marah.

Batista masih ingat, bagaimana dia dan masyarakat adat Mentawai melawan Koperasi Andalas Madani (KAM) dan PT Sinar Minang Sejahtera dengan beringas.

Duapuluh satu Mei pagi, 100 laki-laki memegang parang dan kapak.  Mereka menaiki empat perahu motor bertenaga 40 PK memecah perairan Saibi di Siberut Selatan menuju Teluk Subelen, Siberut Utara.

Masyarakat adat di Saibi,  marah setelah mendapat kabar ponton milik KAM merapat membawa 22 alat berat. Mereka dapat dukungan dari masyarakat adat di Rogdok, Maileppet dan Puro.

Universitas Andalas di era Rektor Marlis Rahman mulai ‘main kayu’ setelah mendapatkan lahan hibah dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan, lewat program Land Grant Colleage (LGC) seluas 49.650 hektar di Pulau Siberut pada 1999.

Program  LGC bertujuan agar Unand bisa memanfaatkan hutan untuk penelitian dan pendidikan. Namun, Maret 2001 Menteri Kehutanan, Nur Mahmudi Ismail mengganti izin LGC jadi hak penguasaan hutan alam, yang diterjemehkan pihak kampus sebagai izin HPH.

Untuk mengelola kawasan hutan, Unand membentuk KAM dan menggandeng PT Sinar Minang Sejahtera (SMS) untuk penebangan kayu hutan.

Warga Saibi gusar. KAM dianggap ancaman serius. Di hutan Saibi ada wilayah sangat sakral, Lulut Utek—hutan dari pembayaran denda untuk tebusan bagi anggota Suku Sanenek yang dibunuh suku lain.

Tanah ini hanya bisa untuk menebus kasus sama, dan tidak bisa dipindahtangankan pada orang lain.

Kemarahan warga Saibi meledak saat SMS tak mau menarik kembali semua alat berat. Mereka ngamuk, membakar base camp dan merusak alat berat.

Situasi tak terkendali. Pegawai perusahaan lari pontang-panting menyelamatkan diri ke Kampung Subelen. Petugas kapal ponton bergegas memutus tali ponton dan melarikan diri.

Rombongan Besman Saleleubaja, Kades Maileleppet dan Puro datang ke Saibi sekira pukul 12,00. Encu, operator perahu melihat asap hitam mengepul ke langit di Teluk Subelen.

“Kami cemas dan khawatir dengan nasib kawan-kawan dari Saibi,” katanya, seperti tertulis dalam laporan YCM.

Sebagian dari rombongan menuju Subelen mencari kabar. “Ketika kami datang semua terlihat bersemangat, mereka berlompatan ke dalam perahu bagaikan jatuh dari langit.”

Batista bilang, pembakaran itu tak akan terjadi kalau perusahaan mau menarik seluruh alat berat. Mereka khawatir,  KAM dan SMS akan mengambil hutan mereka. “Mengambil hutan berarti merampas kehidupan kami,” katanya.

Markus bilang, anggota uma pernah melayangkan surat keberatan pada pemerintah, tetapi diabaikan. “Seandainya mereka kabulkan permintaan kami, tidak terjadi kejadian itu,” katanya.

Pada 28 Desember 2005,  Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan SK.5431/Menhut-VI/BRPHP/2005 tentang persetujuan dan pengesahan rencana kerja lima tahun HPH atas nama KAM untuk periode 2006-2010.

Rencana kerja pada 2006 ditetapkan seluas 945 hektar dan volume 40.362 meter kubik. Pada 2007,  KAM resmi menutup operasional HPH di Siberut, sebelum izin HPH berakhir. Meskipun begitu, hutan di Saibi dibiarkan gundul tanpa pemulihan—belakangan kawasan ini jadi izin HTI PT. Biomass Andalan Energi.

 

Kampung relokasi (PKMT) Orang Mentawai di Bekkeliuk. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

***

WWF didukung UNESCO menerbitkan laporan berjudul Saving Siberut, yang menunjukkan hutan di Sipora Utara dan Pagai Selatan,  hancur karena penebangan perusahaan. WWF meminta hutan Siberut jadi cagar biosfer.

Frans Siahaan dari YCM mengatakan, penebangan hutan di Siberut,  merenggut hak-hak adat masyarakat Siberut Utara, karena mereka bergantung hutan.

Menteri Kehutanan Muhammad Prakoso pada 2004,  justru mengeluarkan izin HPH untuk PT Salaki Summa Sejahtera (SSS) seluas 48.420 hektar di Siberut Utara. SSS adalah metamorfosa PT Tjirebon Agung, sudah 22 tahun menguras kayu di hutan Mentawai lewat izin HPH seluas 70.000 hektar pada 1970. Belakangan, 20.000 hektar wilayah jadi Taman Nasional Siberut.

Putusan Prakoso banyak ditentang. YCM dan Walhi Sumbar mengirimkan surat penolakan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Walhi juga melayangkan gugatan perdata di PN Padang, namun ditolak.

Sepulang dari Korea Selatan, Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, pernah mengumumkan pemerintah akan mambuka hutan akasia mengium 70.000 hektar untuk perusahaan kertas multinasional Kore Selatan, Morin Paper. Pembukaan HTI ini mendatangkan investasi US$105 juta. HTI batal.

Dinas Kehutanan Sumbar menyebutkan IUPHHK-HA PT SSS seluas 47.605 hektar  baru berahir pada 2049.

Pada 2010, setahun di ujung masa jabatan periode kedua, Edison Saleleubaja sebagai Bupati Kepulauan Mentawai, mengeluarkan izin pada empat perusahaan sawit: PT Swasti Siddi Amgra, PT Rajawali Anugrah Sakti, PT Golden Plantation Pratama, PT Siberut Golden Plantation Pratama, total 73.500 hektar.

November 2011, masyarakat Mentawai dan masyarakat sipil Sumbar mengeluarkan petisi bahwa 29 kampung di Mentawai terancam jadi sawit. Sekitar 763 orang, 20 kepala suku dari 23 kampung, 15 organisasi mahasiswa, 102 organisasi peduli Mentawai, dan 130 akademisi sepakat menolak sawit masuk Mentawai.

Anggota uma di Puro tak pernah tahu rencana pemerintah yang ingin menyawitkan hutan adat mereka. Menurut Markus, masalah tanah dan hutan adat adalah hak mereka. Dia mengaku, tak mengerti bagaimana tanah adat itu bisa ada izin sawit dan HTI.

“Tiba-tiba dapat kabar orang dari Padang, Jakarta dari mana-mana yang mengatakan ‘kami (investor) sudah lihat peta tanah kalian, itu akan masuk perusahaan sawit,’ tentu kami terkejut, kok tanah kami mau jadi sawit, terus kami mau hidup dari mana?” kata Markus.

Sekitar 2013-2014, keluarga Cendana juga gencar mencari tanah di Mentawai untuk izin perkebunan sawit “Baru penjajakan, orang-orangnya Tomi Soeharto,” kata Rifai, Direktur YCMM—sebelumnya bernama Yayasan Citra Mandiri.

Yudas Sabggalet dan Rijel Samaloisa yang memenangi pilkada pada 2011, kedua mantan aktivis YCM itu sepakat menghentikan investasi sawit. Hal itu diperkuat dengan keluarnya Perda Rencana Tata Ruang Wilayah 2012-2032 pada April 2014, bahwa tak ada lagi ruang untuk sawit, perkebunan hanya untuk coklat, cengkih, pala, kelapa dan gaharu.

“Kami lebih memikirkan generasi Mentawai mendatang, kami tidak bicara hari ini atau beberapa tahun ke depan dengan keuntungan ekonomi, kami lebih memikirkan untuk mewariskan sumber daya alam  Mentawai yang berkesinambungan dan lingkungan yang baik buat anak cucu kami,” kata Rijel, waktu itu.

Saya menghubungi Rifai, lebih dari 20 tahun YCMM mendampingi masyarakat adat Mentawai. Tiga tahun terahir, YCMM juga didukung Kemitraan. Dia cerita, sejak perusahaan masuk Mentawai pada 1970an, kayu hutan dikuras habis, hanya sedikit tersisa di Siberut. Saat itu,  banyak hutan kosong, ditinggalkan warga yang  relokasi lewat program PKMT. Budaya Mentawai juga hilang, dimusnahkan.

Rifai tak bisa memastikan jika semua keributan yang terjadi di Mentawai, satu dekade awal masa Presiden Soeharto itu saling berkaitan. Namun tak menutup kemungkinan jika itu suatu yang terencana. “Skenario ini sangat mungkin, tapi sulit dibuktikan.”

Pemerintah menebar ketakutan lewat kekuatan militer. Putusan Rapat Tiga Agama digunakan untuk memaksa masyarakat adat meninggalkan Arat Sabulungan, agama kehidupan yang menghubungkan mereka dengan Tuhan sekaligus alam lingkungan.

“Dengan dihabisi agamanya, hubungan dengan alam juga habis.”

 

Kembali memanas

Pada 2 Mei 2017,  Badan Koordinasi Penanaman Modal mengeluarkan izin prinsip untuk PT Biomass Andalan Energi (BAE). Pemerintah Sumbar merestui biomasa menebang 20.030 hektar hutan di Siberut Tengah dan Utara, dan mengubah jadi perkebunan kaliandra. Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno ikut mendukung dengan mengeluarkan izin lingkungan seluas 19.876,59 hektar.

Warga menolak. Mahasiswa, LSM demo, dan 40 suku menentang. Rieke Diah Pitaloka—penulis, artis, cum anggota DPR RI dari PDIP—turun ke Siberut, mendukung penolakan. Pemerintah Mentawai juga ikut menolak.

Kortanius Sabeleake, Wakil Bupati Mentawai mengatakan Pemerintah Mentawai konsisten menolak HTI.

“Tanah di Mentawai tanah ulayat, tanah kaum, itu pengikat keluarga Mentawai dan sumber hidup bagi seluruh turunannya. Bila jadi HGU (hak guna usaha-red), otomatis status tanah ulayat hilang,” katanya lewat pesan elektronik.

Menurut dia, sudah puluhan perusahaan membabat kayu di hutan Mentawai lewat izin HPH, namun tak juga masyarakat sejahtera. Kehadiran perusahaan kayu, katanya,  justru memicu timbul konflik suku.

Para tetua Suku Saunene’, Sabulukkungan, Satoutou, Saguruk, Sabaggalet, Satoko dan 34 suku lain, mengganggap BAE masuk ke Siberut,  sebagai ancaman bagi hutan adat mereka.

Saya mengunjungi Suku Sabulukkunggan di Uma Puro, Desa Muntei, Muara Siberut. Di sana,  ada beberapa suku hidup satu perkampungan, Suku Sabulukkungan masih satu klan dengan Tatebburuk.

Tetua suku di Puro marah!

Saya tanya, jika HTI diizinkan apa yang akan terjadi?

“Perang!”

“Akan ada tumbal, karena itu tanah adat kami,” kata Markus, tanpa ragu.

“Kami tak mau hutan kami diperlakukan seenaknya, karena kami tak bisa hidup tanpa hutan.”

Damien, pembina besar Suku Sabulukungan mengatakan kedatangan perusahaan akan memicu amarah bagi masyarakat adat Mentawai. Sebelumnya, ada kesepakatan bahwa semua perusahaan ke wilayah adat harus seizin mereka.

Mereka merasa, merekalah yang berhak menentukan bagaimana pengelolaan untuk wilayah hutan adat.

“Kamilah yang menentukan bagaimana pengelolaan, bukan mereka (pemerintah)yang menentukan. Karena kami yang tahu persis buat apa hutan itu untuk kehidupan kami. Mereka kan tidak tahu itu buat kami, yang tahu arti hutan buat kami hanyalah kami. Jadi ketika ada investor atau program-program apapun, harus kami yang diajak bicara,” kata Daniel Tonggilak.

Tetua Adat Uma Sabulukkungan ini bilang, anggota uma telah meminta wartawan menyampaikan pada pemerintah lewat berita, bahwa mereka keras menolak HTI.

“Tetapi kalau ternyata usaha itu tidak berhasil, mungkin yang terakhir ya itu ambil panah, parang, membakar apa yang bisa kami lakukan, apabila kami mati ya mati, apa boleh buat.” (Bersambung)

 

Keterangan foto utama: SIkerei Stefanus usai mencari ramuan di hutan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version