Mongabay.co.id

Teknologi: Dapatkah Dampak Pembalakan Kayu Dikurangi?

Teknologi Reduce Impact Logging (RIL) dianggap mengurangi dampak penebangan yang terjadi di hutan alam.

 

Pagi itu beberapa pekerja bersiap di area penebangan. Sebuah traktor berjalan membuka jalan sarad. Jalan sarad adalah jalan yang akan digunakan untuk menarik batang kayu yang sudah ditebang. Lebar jalan ini lima meter dan dibuat sedemikian rupa agar tak terlalu menimbulkan kerusakan yang lebih luas.

Tak lama setelah jalan sarad selesai dibuat, seorang pekerja bergegas menuju sebatang pohon meranti yang telah ditandai. Langkahnya tegap dengan helm pelindung di kepalanya. Dia menenteng gergaji mesin. Seketika, suara gergaji mesin berderu.

Bruukk…

Pohon tumbang dalam hitungan detik. Seorang pekerja segera menempelkan label berisi barcode identifikasi asal muasal batang. Barcode serupa pun ditempel pada tunggul bekas tebangan. Batang kayu lalu diikat dengan tali baja dan ditarik dengan traktor. Perlahan tapi pasti, tali kawat menarik batang pohon tersebut melewati jalan sarad yang ada.

Selesai dengan satu pohon, para pekerja beranjak lagi ke pohon lain yang akan ditebang. Semua titik pohon mana saja yang akan ditebang, terpampang dalam peta yang sudah dibuat beberapa waktu sebelumnya.

Samroni orang yang bertanggungjawab untuk seluruh operasi penebangan itu. Dia Kepala Seksi Perencanaan di PT Dwima Jaya Utama. Baginya penebangan hanya satu aspek dari seluruh aktivitas pengelolaan hutan. Penebangan jelasnya tidak boleh sembarangan tanpa adanya perencanaan yang jelas.

“Kita ada data pohon dan data peta sebaran pohonnya. Semua data yang kami peroleh di lapangan diolah menjadi peta sebaran pohon dan peta rencana pemanenanan. Pohon yang kita ambil hanya yang diameternya 50 cm ke atas,” jelasnya.

Menurutnya di HPH-nya setiap pohon telah memiliki koordinat secara tepat sehingga memungkinkan untuk dapat dilacak. Juga dalam merencanakna sistem pengangkutan kayu dari lokasi tebang.

“Kita manfaatkan jalan lama jadi tak membuka jalur baru, kita buat jalan cabang dan jalan saradnya. Pokoknya cari jalan yang paling aman. Tentukan tempat penumpukan kayunya dimana. Hindari jalan yang dekat sungai. Buffernya 20 meter dari kanan dan kiri sungai. Yang dekat sungai, kita kasih batasan melintang agar stop di sana,” lanjut Samroni.

 

Seorang pekerja sedang melakukan scan barcode batang kayu yang ditebang. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Usaha eksploitasi HPH (hak pengelolaan hutan), atau lazim disebut IUPHHK-HA (Izin Usaha Pengelolaan Hasil Huan Kayu Hutan Alam) memang telah lama disorot oleh berbagai pihak sebagai agen perusak hutan tropis. Indikasinya, karena potensi hutan terus menurun sehingga tingkat produksi lestari (sustainable yield) pun dipertanyakan. Ditambah luas hutan pun semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Jumlah HPH juga terus menurun. Jika pada tahun 1992 terdapat 580 unit manajemen dengan luas areal kerja 61 juta hektar, pada tahun 2016 hanya tersisa 265 unit manajemen dengan luas 20 juta hektar. Itu pun yang aktif beroperasi hanya 75 persennya saja.

Stigma negatif itu yang ingin ditepis oleh Dwima Group, HPH yang berlokasi di Kabupaten Katingan, Kalteng. Group ini terdiri dari beberapa perusahaan yang membawahi konsesi yang cukup luas. Diantaranya PT Dwima Jaya Utama seluas 127.300 hektar, PT Hutan Mulya 52.100 hektar, PT Kayu Waja 38.450 hektar, PT Carus Indonesia 72.170 hektar, PT Sikatan Wana Raya 49.400 hektar, PT Hutan Domas Raya 99.870 hektar, PT Fitamaya Asmapara 43.880 hektar, PT Sarana Piranti Utama 49.700 hektar dan PT Graha Sentosa Permai 44.970 hektar.

“Sebagai seorang rimbawan, lingkungan terjaga, itu termasuk keuntungan. Meski kita paham bahwa yang namanya perusahaan itu profit itu nomor satu. Tapi karena yang kita kelola ini hutan, maka lingkungan dan hutan juga kerusakannya harus diminimalisir sehingga tetap utuh sehingga hasilnya berkelanjutan,” jelas Lasmari, Wakil Area Manager PT Dwimajaya Utama.

 

Survey inventarisasi, bagian awal dari metode reduce impact logging (RIL). Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, dalam mengelola HPH itu harus ada keseimbangan antara kegiatan produksi, lingkungan dan sosial. Itu pula alasan, sejak tahun 2012 Group Dwima menerapkan model pembalakan yang meminimalisir dampak atau yang disebut RIL (Reduce Impact Logging). Lasmari mengklaim sistem ini lebih ramah lingkungan karena mengurangi dampak akibat penebangan kayu. Dengan RIL, 75 persen aspek kelestarian lingkungan telah diatur.

“Mulai dari model pengurangan tingkat erosi, pembukaan areal dan sebagainya. Hasil pemanenan juga lebih baik daripada metode konvensional. Dengan RIL ibaratnya jemput kayu. Lewat perencanaan matang tidak ada lagi cari kayu kesana kemari pakai alat berat,” paparnya.

Perencanaan di dalam RIL dibuat sedemikian detail. Mulai dari inventarisasi tegakan blok tebangan, sebaran pohonnya, penggambaran pola sarad dan lainnya. Juga setelah penebangan ada upaya rehabilitasi yaitu menanami areal terbuka agar tidak timbul erosi berlebihan.

Lewat perencanaan, pemetaan wilayah yang dikeramatkan warga juga tak boleh diganggu. Termasuk menghindarkan konflik sosial di area kebun warga yang didalamnya banyak tanaman seperti karet dan lainnya.

Lasmari mengklaim RIL mampu menekan biaya dan meningkatkan efisiensi. Dia menyebut, penekanan RIL adalah pada upaya survey yang terukur. Biaya survey dengan metode RIL setidaknya membutuhkan dana sebesar Rp. 679.500 per hektar jauh diatas survey metode konvensional yang hanya Rp.300 ribu per hektar. Hal ini dikarenakan, survey dilakukan dua kali. Survey lokasi, dan survey pola jalan saradnya.

Namun biaya survey yang meningkat hampir dua kali lipat ini jelasnya, dapat ditutup dengan penghematan di kegiatan lainnya.

“Penggunaan BBM, membandingkan metoda konvensional dan RIL selisihnya 2 liter per meter kubik. Itu cukup besar. Kalau diakumulasikan signifikan. Harga kayu mungkin tak mengalami perubahan, tapi lewat RIL kami bisa berhemat banyak. Termasuk biaya service sparepart alat berat bisa kita tekan. Pergerakan manuver traktor bisa kita minimalisir juga,” jelasnya.

 

Para pekerja memperhatikan peta wilayah kerja. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Dalam kegiatan RIL waktu yang dibutuhkan untuk melakukan survey untuk area 100 hektar, adalah 24 hari yang dikerjakan delapan orang pekerja terlatih. Setelah data hasil survey didapatkan, perencanaan pembuatan jalan utama pengangkutan, jalan cabang dan jalan sarad tebangan disesuaikan dengan titik pohon dan peta kontur.

“Hasilnya dari segi penghasilan ada peningkatan signifikan. Produktivitas operator chainsaw maupun traktor jauh lebih tinggi. Dengan metode konvensional rata-rata menebang hanya 25-30 meter kubik per hari. Dengan RIL, bisa naik jadi 60 meter kubik lebih. Keterbukaan areal juga bisa diminimalisir di bawah 10 persen. Kalau tanpa RIL tingkat kerusakaan areal bisa 20 persen,” ujarnya.

Atas penerapan konsep berkelanjutan lewat RIL, PT Dwimajaya Utama telah mendapatkan beberapa sertifikasi. Pada tahun 2002, perusahaan ini pernah diujicoba oleh Lembaga Ekolabel Indonesia hingga sekarang mengantongi sertifikat PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi Lestari) dan FSC (Forest Stewardship Council).

Lasmari mengakui, tak mudah menerapkan RIL di perusahaannya. Tantangan utamanya adalah kemauan berubah dari pihak manajemen. Awalnya owner tidak langsung tertarik dan percaya begitu saja dengan cara ini.

“RIL tak bisa diterima di awal-awal. Ada pro dan kontra karena ada peningkatan di biaya survey. Tapi kami punya pemikiran RIL sistem yang tepat. Kami tetap maju terus. Kami mulai ujicoba RIL dari area kecil. Merembet terus sampai 100 persen akhirnya.”

Dengan RIL pemetaan kawasan HCV (High Conservation Value) pun sekaligus dilakukan. Lokasi yang memiliki keragaman hayati yang tinggi dilindungi untuk tidak ditebang. Di konsesi PT Dwimajaya Utama kawasan HCV seluas 12 ribu hektar.

Hasil pemetaan di dalamnya ada orangutan, rangkong, enggang dan satwa liar lainnya. Flora lainnya yakni meranti merah, meranti putih dan berbagai jenis pohon khas Kalimantan lainnya ada di kawasan tersebut.

“Kami terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar kawasan HCV tak diganggu. Pelibatan masyarakat juga sangat penting. Juga ada kerjasama dengan aparat pemerintah dan jajaran Pemda,” ucap Lasmari.

Dalam sebuah studi disebut RIL mampu meningkatkan produktifitas 19-33%, dan menurunkan kerusakan tegakan tinggal 18-32%, serta menurunkan limbah kayu 10-12%. Sehingga demikian, teknik RIL disebut dapat menurunkan biaya produksi dan sekaligus ramah lingkungan. Teknik RIL juga menurunkan emisi karbon 40% dari pada teknik pembalakan konvensional.

Meski berdampak positif, hingga saat ini jumlah HPH yang secara penuh telah melaksanakan teknik RIL tercatat baru 22 unit manajemen atau 8% dari jumlah HPH yang ada, atau 11 % dari HPH yang aktif.

Padahal dengan teknik RIL yang lebih ramah lingkungan, produk kayu yang dijual di pasar internasional akan semakin mudah untuk diterima oleh buyer karena dapat dibuktikan asal-usul dan model penebangan ramah lingkungannya.

Dalam sebuah acara sosialisasi penerapan RIL di Palangkaraya beberapa waktu lalu, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan IB Putera Parthama menyebut, pihaknya sedang mengkaji untuk membuat aturan yang mendorong kewajiban perusahaan HPH untuk menerapkan sistem RIL.

“RIL dapat mendukung pencapaian target penurunan emisi Indonesia sebesar 29% pada tahun 2020. Karena 17,2% target penurunan emisi berasal dari sektor kehutanan. Pengurangan emisi pada setiap HPH tentunya nantinya bisa dihitung,” tutupnya.

 

Banner:  Seorang pekerja sedang menebang kayu. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version