Mongabay.co.id

Polda Kalteng Tangkap Dua Orang dalam Kasus Pembunuhan Orangutan Tanpa Kepala

Hukum yang maksimal diharapkan bisa diterapkan untuk memberi efek jera bagi pelaku kejahatan satwa liar untuk tidak mengulangi perbuatannya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Polda Kalteng berhasil menangkap dua orang pria yang diduga melakukan pembunuhan terhadap orangutan pada Senin, 29 Januari 2018 yang lalu. Mereka adalah T (41), warga Gunung Rantau dan M (32), warga Montalat. Penangkapan keduanya merupakan pengembangan dari kasus penemuan mayat orangutan tanpa kepala pada tanggal 15 Januari di Sungai Kalahien, Barito Selatan. Keduanya merupakan petani karet.

“Tepat pada hari ke 13 kasus penemuan mayat orangutan ini terjadi, alhamdulilah kami berhasil menangkap dua orang ini,” jelas Kapolda Kalteng Brigjen Anang Revandoko dalam acara konferensi pers di Palangkaraya, Rabu (31/1/2018).

Anang mengatakan, keduanya melakukan aksi keji tersebut pada tanggal 29 Desember 2017 sekitar pukul 08,00 WIB. T membunuh orangutan jantan dewasa tersebut dengan cara melepaskan 17 kali tembakan ke tubuh satwa malang itu. Alasan penembakan sebut pelaku karena merasa terancam dan terganggu dengan adanya orangutan tersebut.

Baca juga: Hasil Nekropsi, 17 Peluru Bersarang di Jasad Orangutan yang Mengambang Tanpa Kepala

“Setelah ditembak menggunakan senapan angin, orangutan tersebut bertambah beringas. Kemudian saudara T meminta bantuan saudara M, dan saudara M menebas kepala  sampai dagu orangutan menggunakan parang. Kepalanya putus,” katanya.

Setelah orangutan tersebut mati, M masuk ke dalam pondok miliknya. Sementara T menyeret orangutan tersebut menuju kelotok dan dibawa ke muara sungai Barito. Tubuh orangutan tersebut kemudian dibuang di sungai. Sementara kepalanya dikubur di belakang rumah tersangka.

Karena galian kubur untuk kepala orangutan tersebut hanya 30 cm, ia mengeluarkan bau menyengat tak sedap. Seminggu kemudian, kepala orangutan itu dibuang ke pinggir sungai Maduru.

 

Penelusuran

Lebih lanjut Anang mengatakan, keberhasilan pihaknya dalam mengungkap aktor pembunuh orangutan adalah hasil kerjasama yang erat dengan berbagai pihak. Diantaranya BKSDA Kalteng, COP (Centre for Orangutan Protection), dan BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation). 

“Setelah mendapatkan laporan penemuan mayat orangutan tanpa kepala ini, Kami menurunkan tim, untuk bersama-sama mengecek beberapa lokasi. Setelah sebelumnya dilakukan otopsi terlebih dahulu pada tanggal 18 Januari.”

Sehari setelah proses otopsi dilakukan, Tim kepolisian melakukan penyisiran di Desa Parapak, Desa Teluk Mampun, Desa Tanjung Jawa dan daerah sungai Maduit selama tiga hari.

Penelusuran terus dilakukan. Pada tanggal 22 Januari, Tim melakukan penyusuran ke Desa Pendang, Desa Merawan Lama, Desa Merawan Baru, Desa Gunung Rantau, Desa Tarusan dan Dusun Mampaing selama empat hari. Lalu pada tanggal 27 Januari, tim meneruskan penyisiran ke arah perbatasan Mampaing, Malegoi, Montalat, Tumpung Laung Hilir, Tumpang Laung Hulu, Sikan, Rubei dan Desa Pepas selama dua hari.

Hasil penelusuran membuahkan hasil pada tanggal 29 Januari. Tim melakukan penangkapan kepada T dan M di pinggiran sungai Maduru Desa Maligoi Kecamatan Montalat, Barito utara. Penangkapan terjadi di perkebunan karet milik tersangka.

 

Kapolda Kalteng Brigjen Anang Revandoko menunjukkan barang bukti tengkorak orangutan dalam acara konferensi pers di Palangkaraya, Rabu (31/1/2018). Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Anang mengatakan, kedua tersangka melakukan hal tersebut karena faktor pendidikannya yang rendah. Hanya pernah duduk di bangku Sekolah Dasar. Keduanya mengaku, baru kali pertama melakukan pembunuhan terhadap orangutan.

Atas perbuatannya, keduanya didakwa dengan pasal 40 ayat 2 juncto pasal 21 ayat 2 huruf a Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman pidananya penjara paling lama lima tahun dan denda Rp.100 juta.

Dalam kesempatan sama, Dirkrimum Polda Kalteng Ignatius Agung Prasetyoko mengatakan, kedua tersangka mengaku tidak setiap hari membawa senjata senapan angin ke kebun karetnya. Senjata itu jelasnya hanya digunakan untuk perlindungan mereka sendiri.

“Ketika melihat orangutan dan merasa terancam. Penembakan lalu terjadi,” katanya.

Agung mengatakan, alat bukti yang disita kepolisian diantaranya sebuah senapan angin merek Canon, 17 peluru senapan angin yang bersarang di tubuh orangutan, satu buah tengkorak kepala orangutan, dan sebilah senjata tajam jenis parang sepanjang 50 cm.

Kepala BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kalteng Adib Gunawan, mengapresiasi langkah cepat Polda Kalteng dalam mengusut kasus pembunuhan orangutan tersebut.

“Kasus ini akan kami jadikan bahan evaluasi lebih lanjut dengan meningkatkan penyuluhan, penyadartahuan, dan sosialisasi kepada masyarakat bersama-sama stakeholder terkait,” katanya.

Apresiasi kepada pihak kepolisian disampaikan Manager Perlindungan Habitat COP, Ramadhani. Menurutnya,  ini menjadi kali pertama dalam sejarah konservasi orangutan, kasus pembunuhan orangutan yang rumit bisa terungkap dengan serius.

Dia menyebut, dengan tertangkapnya dua pelaku pembunuhan orangutan ini maka kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum akan semakin tinggi. Efek jera juga akan menjadi perhatian masyarakat. Masyarakat akan menjadi lebih peduli dan tidak berani untuk menangkap, memelihara dan membunuh orangutan.

“Ini adalah kasus yang kedua mayat orangutan mati di sungai. Tahun 2016 pernah ditemukan satu individu mayat orangutan mengapung di Sungai Sangatta dan kasusnya hingga sekarang belum terungkap,” sebutnya.

 

Menghindarkan Konflik

Deni Kurniawan, Manajer Program BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation) Nyaru Menteng menyebut konflik antara orangutan dengan warga sebenarnya dapat dihindarkan. Menurutnya, jika orangutan sudah memberikan tanda terusik oleh kehadiran manusia, sebaiknya warga menghindar, karena sejauh tidak ada aksi berlebihan manusia, orangutan tidak akan menyerang manusia.

“Itu perilaku alami orangutan. Tak langsung menyerang tanpa memberikan peringatan atau tanda terlebih dahulu kepada kita. Biasanya goyang-goyang pohon, kalau kita masih ada di sana dan merasa keberadaan kita jadi ancaman, dia akan mematah-matahkan dahan dan melemparkannya kepada kita. Itu isyarat. Dia akan turun dan menyerang kita kalau dia merasa benar-benar terancam,” katanya.

Langkah ke depan, Deni mengatakan, tindakan preventif sangat penting dilakukan. Diantaranya dengan terus melakukan edukasi dan memetakan wilayah hutan yang menjadi habitat orangutan.

“Sebenarnya di Indonesia ada Forina (Forum Orangutan Indoensia), di Kalimantan juga ada Forka. Peta sebaran orangutan sebenarnya sudah ada. Peta konflik orangutan dengan manusia juga sudah ada. Tinggal didistribusikan kepada pihak kepolisian, BKSDA, Gakkum. Dengan peta ini sama-sama kita bisa saling bekerjasama, melibatkan semua pihak,” tandasnya.

 

Banner: orangutan kalimantan. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

 

Exit mobile version