Mongabay.co.id

Sulit Kayu? Bambu Bisa jadi Solusi Bahan Baku Kapal

Kerangka kapal bambu Heri Supomo. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

Hutan makin menipis. Kayu, yang biasa jadi bahan baku pembuatan kapal pun makin sulit. Kondisi ini seperti dialami perajin kapal kayu di Jambi.  Adakah solusi mengatasi kesulitan bahan baku ini?

“Dari hasil analisis citra satelit oleh tim GIS (global information system-red) pada 2017,  luas hutan Jambi tinggal  930.000 hektar atau 18% luas daratan Jambi’. kata Rudy Syaf, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia  (Warsi).

Kegiatan manusia mengakibatkan alih fungsi hutan jadi pemukiman, perkebunan dan pertambangan ilegal masih penyebab utama hutan Jambi, terus berkurang.

“Dulu bahan baku kapal mudah,  sekarang tidak lagi” kata Thalib, perajin kayu asal Nipah Panjang, Tanjung Jabung Timur, Jambi.

Para pembuat kapal di Nipah Panjang, katanya,  banyak pindah ke Desa Sungai Aur, dalam Taman Nasional Berbak–Sembilang.

Dari Desa Sungai Aur,  lebih mudah mengeluarkan kayu dari Taman Nasional. Sekarang,  para pembuat kapal banyak kembali lagi ke Nipah Panjang. Mereka ditertibkan petugas Balai Taman Nasional Berbak–Sembilang karena Sungai Aur dalam taman nasional.

Pasokan kayu para pembuat kapal kapal di Nipah Panjang mayoritas dari kawasan lindung, baik hutan lindung gambut, Taman Hutan Raya dan taman nasional yang berbatasan langsung dengan kecamatan ini.

Tanwir, perajin pembuat kapal dari Nipah Panjang, mengaku sudah tiga tahun terakhir sulit dapatkan kayu buat kapal.

Untuk membuat kapal kayu 35 GT, dia perlu waktu satu tahun. Kondisi ini, katanya, karena bahan baku kayu sulit. “Saya tidak berani memakai kayu ilegal” katanya.

Untuk mengatasi kesulitan itu, dia terpaksa menumpang membeli kayu meranti yang berbentuk balok pada pemilik usaha kapal kayu skala besar. Mereka, katanya, dapat kayu legal dengan membeli langsung dari perusahaan kayu yang memegang izin resmi.

Sulitnya usaha kerajinan kayu, diapun terpaksa harus mencari sumber penghidupan lain. Padahal, katanya,  usaha kapal ini sudah turun menurun dalam keluarga Tanwir.

“Untung sedikit lahan saya sudah tanami sawit, sekarang mulai berbuah” katanya. Perajin lain, katanya, ada juga tanam sawit atau jadi buruh pabrik sawit.

Kelangkaan bahan baku kayu sudah lebih dulu dirasakan perajin di Jawa. “Sejak 2005 kelangkaan kayu pembuatan kapal di Jawa Timur sudah terasa dan mengakibatkan biaya pembuatan makin mahal,” Kata Heri Supomo, dosen jurusan Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS).

 

Bambu, bahan baku pengganti kayu

Melihat kesulitan ini, Heri mencoba mengembangkan bambu sebagai material alternatif pembuatan kapal dan berhasil. Dia pakai metode cold press planking system. Ia metode pembuatan bilah bambu dilaminasi dengan perekat khusus.

Bambu adalah tanaman rumput-rumputan yang memiliki kemampuan tumbuh cepat. Ada lebih 1.450 spesies bambu bisa tumbuh di berbagai iklim. Bambu banyak fungsi ekologis seperti menahan tanah agar tak mudah longsor. Juga dapat menyimpan air tanah dan produksi oksigen.

 

Kerangka kapal bilah bambu laminasi. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Pemilihan bambu ini, katanya,  berawal dari pengalaman Heri yang menghabiskan masa kecil di desa. “Ketika saya kecil,  bambu banyak jadi bahan konstruksi tanggul dan usia pemakaian cukup lama” katanya.

Dari hobi memancing di laut, dia tahu selain memiliki daya tahan bagus di darat,  bambu juga memilki kekuatan baik kala direndam di air laut.

Berdasarkan pengalaman ini Heri bertekad mengembangkan bambu sebagai bahan pembuatan kapal.

Untuk menemukan bambu mana yang cocok sebagai bahan baku kapal,  Heri survei ke desa-desa yang masih banyak tanaman ini.

Dari survei, dia menemukan bambu jenis ori (Bambusa arundinacea), betung (Dendrocalamus asper) dan Jawa (Gigantochloa atter) paling banyak digunakan masyarakat desa karena kuat.

Guna memastikan bambu paling cocok,  Heri melakukan penelitian lebih lanjut. Salah satu aspek yang diteliti dari ketiga jenis bambu itu adalah kadar air batang bambu.

“Untuk mengukur kadar air saya pakai alat higrometer,” katanya.

Dari penelitian ini,  Heri berkesimpulan, bambu dengan kadar air di bawah 50% berumur lebih dari tiga tahun memiliki kekuatan baik dan cocok jadi bahan baku kapal.

Selain penelitian kadar air,  Heri juga melihat mambu yang cocok untuk bahan baku dari frekuensi kala dipukul. Heri menyimpulkan, makin tinggi frekuensi, makin bagus kekuatan dan cocok jadi bahan baku kapal.

“Telah kami lakukan pada ketiga jenis bambu, ternyata ori dan betung cocok jadi bahan baku kapal,”  katanya.

Tugas berat berikutnya, membuat bilah laminasi bambu sebagai pengganti kayu. “Bilah bambu ini sebenarnya dapat dengan mesin molding kayu namun harga cukup mahal dan harus impor.”

Dia mengatakan, harga mesin molding kayu yang dapat langsung menghasilkan bilah bambu laminasi Rp400–Rp 700 juta. Untuk menekan biaya, dia terpaksa membuat bilah bambu laminasi manual dan berdampak pada waktu produksi lumayan lama.

“Untung saja sekarang perekat bilah bambu sudah diproduksi di Indonesia jadi saya tak perlu mendatangkan dari Jerman lagi.”

Dari segi kekuatan, katanya,  bilah laminasi bambu tak perlu diragukan. Heri telah melakukan serangkaian uji coba di laboratorium. “Hasil uji tarik dan tekan di laboratorium membuktikan, bilah laminasi bambu lebih kuat dari kayu jati.”

 

Biaya mahal?

Teknologi pembuatan bilah bambu laminasi ini terbilang baru. “Tiongkok yang teknik pengolahan bambu sudah sangat maju belum mengembangkan bilah bambu laminasi ini,” kata Jusupta Tarigan, Direktur Non Timber Forest Product–Exchange Program.

Salah satu faktor pertimbangan mengkomersilkan bilah bambu laminasi ini, katanya,  adalah biaya produksi.

Jusupta khawatir,  biaya produksi jauh lebih mahal daripada pakai kayu. Menurut Heri, harga kapal berbahan bilah bambu laminasi lebih murah dari kapal kayu.

Satu kapal kapasitas 3 GT (gross ton) kayu jati,  Rp150-Rp170 juta di luar pembelian mesin. Untuk kapal, ukuran sama terbuat dari bilah laminasi bambu biaya produksi Rp80 juta di luar beli mesin.

Dalam pembuatan kapal bilah laminasi bambu, Heri menghadapi beberapa kendala seperti dana dan sumber daya manusia yang punya keterampilan bikin bilah bambu laminasi masih sedikit.

“Untung saja penelitian ini banyak mendapat apresiasi dari luar negeri dan memberikan bantuan dana penelitian, seperti Inggris dan Jerman,” katanya.

Kalau sumber daya manusia dan infrastruktur sudah siap, kapal bilah laminasi bambu berkapasitas 3 GT hanya perlu dua bulan.

Berkat kerja keras Heri Supomo beserta tim di ITS pada Maret 2018, kapal bilah bambu laminasi ini akan berlayar ke Selat Madura.

 

Keterangan foto utama: Kerangka kapal bambu Heri Supomo. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Kapal bilah bambu laminasi, lebih kuat dari kayu jati. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version