Mongabay.co.id

Studi: Gajah Kalimantan Telah Ada Sejak Ribuan Tahun Silam

Latar belakang mengenai gajah terkecil di dunia yang saat ini berada di Kalimantan, masih misteri. Untuk satu hal, para ilmuwan tidak yakin kapan tepatnya – dan bagaimana – gajah kerdil Kalimantan (Elephas maximus borneensis) ini sampai ke Pulau Kalimantan dari daerah lain di Asia.

Sebuah penyelidikan di 2003 mengenai genetika menunjukkan, gajah ini secara genetik berbeda dari saudara gajah terdekat mereka yang selama 300.000 tahun tiba di Kalimantan atau beberapa saat setelah masa itu. Dugaan lain adalah, mereka merupakan populasi liar yang berasal dari gajah yang telah dibawa oleh manusia beberapa ratus tahun lalu.

Studi terbaru yang diterbitkan di Jurnal Scientific Reports   edisi   17 Januari 2018 menunjukkan, mereka telah berada di Kalimantan sejak akhir Zaman Pleistosen, sekitar 11.000 sampai 18.000 tahun lalu, ketika Kalimantan menjadi bagian dari wilayah yang jauh lebih besar.

“Gajah di Kalimantan lebih banyak ketimbang populasi yang diketahui dan tidak berasal dari beberapa individu yang diperkenalkan,” kata Benoit Goossens, ahli biologi satwa liar yang juga Direktur Pusat Lapangan Danau Girang di Malaysia dan rekan penulis makalah ini. “Gajah telah berada di sana selama ribuan tahun, dan mereka adalah spesies asli Kalimantan.”

 

Gajah dan keturunannya di perkebunan kelapa sawit di Kinabatangan. Foto: Rudi Delvaux.

 

Penelitian ini menggunakan data genetik luas yang dikumpulkan dari hampir 800 sampel DNA dari penelitian sebelumnya. Tim kemudian membandingkan informasi tersebut dengan serangkaian model statistik yang mencakup skenario historis yang berbeda untuk gajah. Dari perbandingan tersebut, mereka menemukan bahwa gajah Kalimantan melewati “genetic bottleneck”, ketika populasi mereka berkurang jauh ke tingkat rendah – dengan demikian mengurangi jumlah keragaman genetik di dalam populasi – sekitar 11 ribu sampai 18 ribu tahun lalu.

Tim peneliti menyatakan, kondisi permukaan bumi sekitar waktu itu mungkin telah memaksa gajah-gajah Kalimantan melalui jendela genetik ini. Selama era Pleistosen, yang dimulai lebih dari 2,5 juta tahun lalu dan berakhir sekitar 11.700 tahun lalu, permukaan laut rata-rata jauh lebih rendah, dan Kalimantan adalah bagian dari massa daratan yang lebih besar yang terhubung ke bagian lain Asia Tenggara.

Menjelang akhir Pleistosen, permukaan laut yang meningkat mulai menelan jembatan darat antara Kalimantan dan pulau-pulau di Jawa dan Sumatera, serta Semenanjung Malaysia, yang sebelumnya memungkinkan hewan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Begitu jembatan darat lenyap, pulau itu memotong gajah Kalimantan, belum lagi mamalia besar lainnya, dari keluarga spesies mereka, menurut hipotesis Goossens dan rekan-rekannya.

 

Gajah Kalimantan betina di Sungai Kinabatangan. Foto: John C. Cannon/Mongabay

 

Pruthu Fernando, ahli biologi konservasi dengan Centre for Conservation Research di Sri Lanka, yang tidak terlibat dalam studi ini, menyebutnya sebagai “contoh bagus tentang apa yang dapat dijelaskan dari informasi genetik.”

Fernando memimpin penelitian tahun 2003 yang mengarah pada kesimpulan bahwa gajah Kalimantan berpisah secara genetis dari populasi gajah Asia dan Sumatera dari gajah Asia (Elephas maximus) – sekarang dianggap sebagai spesies yang terancam punah oleh IUCN.

Dia juga mengatakan bahwa studi baru ini mendukung kesimpulan timnya, “Populasi gajah di Kalimantan berasal dari pulau ini dan bukan populasi liar, dan penjajahan itu terjadi di waktu Pleistosen.”

 

Gajah di perkebunan kelapa sawit di Kinabatangan. Foto: Rudi Delvaux.

 

Sejarah panjang gajah di pulau ini mengirimkan pesan, “Masyarakat harus bangga dengan gajah, dan mereka seharusnya merasa bagian dari Sabah,” kata Goossens.

“Keunikan keberadaan mereka juga memperkuat kasus perlindungan mereka,” Fernando menambahkan.

“Fakta bahwa ini adalah populasi asli dan bukan penduduk liar, satu dari tiga populasi pulau dan populasi di pinggiran distribusi gajah Asia, membuatnya sangat penting sehingga dilestarikan,” katanya dalam sebuah email, mengacu pada subspesies gajah yang hidup di Pulau Sumatera (E. maximus sumatrensis) dan Sri Lanka (E. maximus maximus). Namun, tambahnya, kesimpulan ini bukan hal baru.

 

Tengkorak dan taring gajah Kalimantan ditemukan di Hutan Ulu Segama. Foto: Departemen Kehutanan Sabah

 

John Payne, ahli biologi yang hampir empat dekade bekerja di Kalimantan (Malaysia), yang juga tidak terlibat dalam penelitian saat ini mengatakan, penelitian tersebut “baik dan menarik.” Tetapi dia menambahkan, tidak menutup kemungkinan bahwa manusia yang memperkenalkan (atau membawa) gajah ke pulau ini beberapa ratus tahun lalu.

Pada 2008, Payne dan beberapa rekan memeriksa catatan sejarah dan menemukan bukti bahwa seorang sultan abad ke-17 di Filipina mungkin telah memperkenalkan beberapa gajah dari Kepulauan Sulu. Garis keturunan hewan-hewan ini kemungkinan bisa ditelusuri kembali ke gajah Jawa (Elephas maximus sondaicus), yang punah pada 1700-an.

“Mungkin saja kemacetan besar yang dialami penduduk bisa terjadi di Jawa,” kata Payne.

Meski begitu, dia berargumen bahwa asal gajah di Kalimantan seharusnya tidak mempengaruhi usaha untuk melindunginya.

 

Gajah berkeliaran di Suaka Margasatwa Kinabatangan. Foto: Rudi Delvaux

 

Gajah-gajah di Australia – yang dianggap oleh beberapa ilmuwan, meski tidak semuanya, menjadi subspesies bonafide (E. maximus borneensis) dari gajah Asia – berada dalam ancaman. Sebanyak, 1.500 sampai 2.000 individu ini ada di hamparan tambal sulam yang terjepit perkebunan kelapa sawit di timur laut Kalimantan. Terlebih lagi, momok perburuan gading tampaknya telah menemukan jalan pemburu ke Kalimantan, dengan dua gajah jantan yang terbunuh karena gadingnya pada 2017.

“Kita benar-benar perlu memastikan mengelola populasi gajah dengan sangat hati-hati dan kita hentikan kematian jantan dari perburuan yang ada,” tandas Goossens.

 

KUTIPAN

Cranbrook, E., Payne, J., & Leh, C. M. U. (2008). Origin of the elephants Elephas maximus of Borneo. Saraw Mus J, 63, 1-25.

Fernando, P., Vidya, T. C., Payne, J., Stuewe, M., Davison, G., Alfred, R. J., … & Melnick, D. J. (2003). DNA analysis indicates that Asian elephants are native to Borneo and are therefore a high priority for conservation. PLoS Biology, 1(1), e6.

Goossens, B., Sharma, R., Othman, N., Kun-Rodrigues, C., Sakong, R., Ancrenaz, M., … & Chikhi, L. (2016). Habitat fragmentation and genetic diversity in natural populations of the Bornean elephant: Implications for conservation. Biological Conservation, 196, 80-92.

Sharma, R., Goossens, B., Heller, R., Rasteiro, R., Othman, N., Bruford, M. W., & Chikhi, L. (2018). Genetic analyses favour an ancient and natural origin of elephants on Borneo. Scientific Reports, 8(1), 880.

 

Penterjemah: Akita Arum Verselita. Artikel berbahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.

 

 

Exit mobile version