Mongabay.co.id

Fasilitator Desa Didorong Jadi Ujung Tombak Program Restorasi Gambut

Peran fasilitator desa dalam program restorasi gambut memegang peranan penting dalam keberhasilan program Desa Peduli Gambut (DPG). Diharapkan keberadaan fasilitator desa (fasdes) akan menjembatani kebijakan yang ada dengan aspirasi masyarakat setempat sehingga dapat dirumuskan sebuah agenda bersama.

Suwignya Utama, Kapokja Edukasi dan Sosialisasi Badan Restorasi Gambut (BRG) menyebut pada tahun 2018 pihaknya akan merekrut 145 fasdes, sebagai lanjutan dari 75 fasilitator desa yang telah direkrut pada tahun 2017.

“Sesuai amanah Perpres Nomor 1/2016, kami mengemban amanah untuk merestorasi gambut seluas dua juta hektar sampai tahun 2020. Ini berat. Sebagaimana kita ketahui lingkungan gambut sudah mengalami kerusakan. Sehingga peran fasdes ini harus kita optimalkan,” katanya.

Adapun BRG menargetkan seribu desa gambut yang terletak di dalam dan sekitar kawasan gambut seluas 1.030.000 hektar sebagai target restorasi. Dari total target tersebut, 300 desa gambut akan dibiayai oleh APBN, 500 desa akan dikerjakan melalui kerjasama dengan sektor swasta dan 200 desa lainnya akan dikerjakan dengan dukungan lembaga donor internasional.

Sekda Pemprov Kalteng Fahrizal Fitri mengapresiasi program penempatan fasilitator di desa-desa peduli gambut. Dia berharap dengan adanya restorasi dan perhutanan sosial di lahan gambut, maka akan mampu mendorong revitalisasi perekonomian masyarakat, lewat penyediaan pelatihan dan dukungan usaha, termasuk perikanan, ternak, walet, dan lebah madu.

“Fasilitator ini akan menjembatani antara program kita dengan masyarakat desa ataupun aparat desa. Peran mereka penting untuk memberikan pemahaman bagaimana cara mengelola gambut. Mengelola kawasan tentu harus sesuai dengan peruntukan budidaya,” ucap Fahrizal.

Dia pun tak menampik jika ada halangan dalam menjalankan restorasi gambut di tingkat masyarakat.

“Misalnya di masyarakat tertentu menganggap pembangunan sekat kanal akan mengganggu kegiatan mereka. Karena ada sebagian masyarakat yang masih menggunakan kanal tersebut untuk lalu lintas transportasi. Atau enggan karena takut lahannya terganggu. Dengan memberikan pemahaman yang baik, mereka akan menyadari. Itu tantangan. Tapi di beberapa lokasi yang saya datangi, sebaliknya masyarakat antusias,” katanya.

Dalam melakukan pelatihan bagi calon fasdes, BRG menggandeng lembaga Kemitraan untuk penyelenggaraan pelatihan bagi 70 orang calon tenaga fasdes DPG yang dilaksanakan di Palangkaraya, pada tanggal 30 Januari – 5 Februari 2018 lalu.

Lewat dukungan dana hibah dari Pemerintah Norwegia, Kemitraan pada 2018 akan mengimplementasikan kegiatan DPG di 109 desa sasaran di 4 provinsi prioritas yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Papua. Kegiatan DPG akan dilaksanakan pada 46 desa di Kabupaten Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), 12 desa di Kabupaten Kabupaten Kubu Raya dan Kayong Utara (Kalimantan Barat) dan 12 desa di Kabupaten Ogan Komering Hilir (Sumatera Selatan).

“Fasilitator berperan memfasilitasi perencanaan desa, proses penyusunan peraturan desa, mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kapasitas warga dan potensi ekonomi desa. Juga memantau pelaksanaan restorasi gambut juga peningkatan penghidupan masyarakat,” jelas Hasbi Berliani, Program Manager Sustainable Environment Governance Kemitraan.

 

Penyekatan kanal di Taman Nasional Sebangau, Kalteng beberapa waktu lalu. Foto: Sapariah Saturi

 

Pemda akan Evaluasi Kebijakan Kontradiktif

Terkait dengan program restorasi gambut, Fahrizal menyebut saat ini Pemprov Kalteng sedang mengevaluasi program pemprov dan dinas yang yang dianggap bertolak belakang dan tidak sinkron dengan upaya restorasi gambut.

“Kami akan review semua kegiatan. Terutama yang berada dibawah DInas Pekerjaan Umum, yang membangun drainase. Juga di Dinas Pertanian terkait dengan program percetakan sawah atau pengembangan lainnya. Juga oleh swasta, pada areal yang diberikan perizinan. Kami akan monitor bagaimana water management di area mereka. Kalau mereka tak memiliki pintu air, kita harus wajibkan mereka untuk membangun hal itu, atau sekat kenal,” tegasnya.

Sejauh ini, jelas Fahrizal, upaya restorasi gambut sudah mulai menampakan hasil yang baik. Daerah-daerah yang dulunya banyak potensi kebakaran hutan dan lahan seperti di Kabupaten Pulang Pisau sejak program restorasi gambut dilakukan, tingkat kebakaran hutan dan lahan bisa ditekan.

Menurutnya, dana desa sebenarnya bisa dijadikan alternatif sumber pendanaan, tergantung karakteristik daerahnya, termasuk mencegah terjadinya kebakaran.

“Misalnya di Pulang Pisau yang karakteristik wilayahnya gambut dan rawan kebakaran. Salah satunya untuk membangun sekat kanal atau digunakan untuk memfasilitasi  Masyarakat Peduli Api misalnya. Itu boleh. Seperti untuk danai biaya operasional, beri honorr petugasnya.”

Sementara itu, Suwignya Utama, menyebut untuk mendorong penggunaan dana desa dalam kegiatan restorasi gambut pihaknya telah melakukan lokakarya perencanaan desa.

“Itu memang diprogram di dalam satu desa, tiga kali dalam setahun. Dalam lokakarya diharapkan muncul kesadaran bersama bahwa restorasi gambut ini merupakan agenda bersama. Sehingga ini bisa masuk dalam anggaran dan perencanaan desa. Sudah ada beberapa desa yang memasukan agenda restorasi gambut dalam rencana desa. Di Jambi dan Riau ada beberapa,” tandasnya.

 

Banner: Hutan gambut di Kalimantan Tengah. Foto: Rhett Butler

 

Exit mobile version