Mongabay.co.id

Warna-warni Bantaran Anak Sungai Musi, Upaya Meningkatkan Kesadaran Masyarakat?

Sekanak adalah salah satu anak Sungai Musi yang memiliki sejarah penting bagi masyarakat Palembang. Namun, sungai ini sejak 30 tahun terakhir, kondisinya kumuh, dangkal, sempit dan kehilangan hulu. Upaya terkini yang dilakukan Pemerintah Palembang adalah mengecat bantaran sungai sepanjang dua ratus meter dan melukis mural badan jalan, pagar seng dan dinding rumah warga. Mampukah upaya ini mengembalikan eksistensi Sungai Sekanak?

Di masa Kerajaan Sriwijaya, sungai ini diperkirakan menghubungkan Bukit Siguntang dengan Sungai Musi. Sehingga, para raja maupun mereka yang ingin mengunjung bukit yang disucikan wong melayu tersebut akan melalui Sungai Sekanak. Di masa Kesultanan Palembang pun, Sungai Sekanak mendapat peran penting. Sungai yang mengelilingi Benteng Kuto Besak, benteng terakhir kekuasaan Kesultanan Palembang ini, dijadikan sarana transportasi ke wilayah pedalaman Palembang.

Bahkan, karakter Sungai Sekanak sebagai sebuah sungai masih dapat dinikmati masyarakat Palembang hingga pertengahan 1970-an. Menurut kesaksian perupa Usa Kismada yang mengabadikan berbagai anak Sungai Musi dalam sketsa, di tepian Sungai Sekanak dipenuhi pohon manggis, durian, kebun dan rawa. Banyak warga juga yang mencari ikan di anak sungai yang kini panjangnya hanya dua kilometer.

 

Baca: Wah! Ada Jejak Anak Sungai Musi di Lukisan Sketsa Usa Kishmada

 

Syafrul Yunardy, Ketua Forum DAS (Daerah Aliran Sungai) Sumsel, Kamis (01/2/2018) mengatakan, pengecatan warna-warni di Sungai Sekanak itu bertujuan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap anak Sungai Musi ini. “Harapannya, masyarakat mau menjaga kebersihan dan keindahan Sungai Sekanak, sehingga tidak lagi terlihat kumuh,” kata Syafrul, yang menyebutkan pengecatan melibatkan Laskar Muda Forum DAS Sumsel.

 

Dinding dam dan badan jalan, serta pagar dan seng rumah warga di tepian Sungai Sekanak dicat warna-warni. Upaya menghilangkan citra anak Sungai Musi ini yang sebelumnya terlihat kumuh. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Amir (56), warga yang menetap di sekitar Pasar Sekanak, mengatakan sangat senang dengan apa yang dilakukan Pemerintah Palembang dengan melakukan pengecatan tersebut. “Ya, jadi indah. Senanglah,” katanya.

Namun, katanya, kalau bisa bukan hanya Sungai Sekanak yang indah, kehidupan masyarakatnya juga makmur. “Kalau terlihat kumuh karena warga di sini hidupnya tidak lagi seperti dulu, sekarang banyak yang miskin. Rumah tidak terurus, sibuk cari duit. Kalau ekonomi kami berkecukupan, mungkin Sungai Sekanak bisa seperti masa lalu,” katanya.

 

Perahu milik warga tampak dicat warna-warni. Akankah kesadaran masyarakat meningkat untuk menjaga kebersihan Sungai Sekanak ini? Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Hanya warna

Idris Lail, perupa Palembang, menilai apa yang dilakukan Pemerintah Palembang masih sebatas pengecatan. “Agar terlihat jreng. Tapi, karakter yang diinginkan sebagai kesadaran lingkungan belum tercermin betul,” katanya di Palembang, Jumat (02/1/2018).

Seharusnya, kata Idris, dilakukan lukisan mural dengan ikon kehidupan sungai, seperti ikan, perahu, atau aktivitas manusia di sungai, sehingga yang melihatnya memiliki kesadaran akan kehidupan sungai. “Lebih jauhnya, mungkin ikon olahraga dan bendera negara yang menjadi peserta Asian Games yang sebentar lagi digelar di Palembang dan Jakarta. Kreatif tampilannya.”

 

Baca juga: Begini Usaha KKP Selamatkan Ikan Belida Endemik di Sungai Musi. Seperti Apa?

 

Di sisi lain, Idris melihat upaya pengecatan warna-warni itu juga harus dibarengi keinginan masyarakat untuk menjaga Sungai Sekanak dari sampah. “Saya lihat masih ada sampah. Bahkan, mereka yang mengunjungi lokasi itu buat berfoto juga membuang sampah sembarangan. Mungkin, bak sampah tidak tersedia banyak dan juga harus ada tenaga pengawas sampah di lokasi.”

 

Sungai Sekanak masih dijadikan tempat pembuangan sampah plastik, meskipun tampilan bantarannya mulai diperindah. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Keindahan sungai itu, kata Idris, lebih terasa jika indah secara alami. Airnya yang bersih atau bebas dari sampah dan limbah, lingkungan sekitar yang bersih dan dipenuhi pohon. “Itu baru indah, yang terakhir kali terasa suasana tersebut pada 1970-an,” jelas Idris.

 

 

Exit mobile version