Mongabay.co.id

Tanpa Hukuman Berat, Kejahatan Satwa Liar Dilindungi akan Terus Terjadi

Sesungguhnya, kukang bukan satwa peliharaan. Hidup kukang itu di hutan rimba. Foto: IAR Indonesia

Fajar Rahayu kaget. Dihadapannya, satu individu kukang terlihat tak berdaya. Mahasiswi Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura ini coba mendekati si empunya. Pemiliknya adalah warga Dusun Madi, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Kebetulan Fajar dan teman-temannya tengah mengikuti kegiatan Sylva Camp, orientasi kemahasiswaan di fakultasnya, pada 28 Januari 2018.

“Fajar menjelaskan bahwa kukang merupakan satwa dilindungi, memeliharanya pun dapat terkena sanksi pidana,” tukas Yanti Sudaryanti, Humas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, 7 Februari 2018. Fajar mengevakuasi satwa tersebut, untuk kemudian diserahkan ke BKSDA di Pontianak.

“Penyerahan satwa ini merupakan kepedulian terhadap kelestarian satwa yang semakin berkurang populasinya,” tukas Yanti. Kukang tersebut kini menempati kandang transit di Balai KSDA Kalbar. Selanjutnya, akan dititiprawatkan di Yayasan IAR Ketapang sebelum dilepasliarkan ke alam.

 

Baca: Mencabut Gigi Kukang Sama Saja Membunuhnya Perlahan

 

Awal Februari, BKSDA Kalbar pun mengevakuasi seekor elang bondol yang terlihat lemah di kawasan Jalan Alianyang, Pontianak. Elang tersebut lepas dari peliharaan, jatuh di atap rumah warga. Saat ini, masih dalam perawatan BKSDA dan segera dilepasliarkan begitu pulih.

Pemeliharaan adalah salah satu faktor yang menyebabkan adanya permintaan satwa liar dilindungi. “Hukuman berat adalah hal mutlak,” tukas Sulhadi, Direktur Yayasan Titian Lestari, pada kegiatan Diskusi Membangun Strategi Konservasi Orangutan Kalimantan Barat dalam memeringati Hari Primata, 30 Januari lalu.

Hasil investigasi Yayasan Titian Lestari terhadap perdagangan satwa dilindungi, dalam hal ini trenggiling, menunjukkan pelaku yang baru bebas, kembali menjadi pemain. “Berdasarkan pemantauan, mereka menjalani profesi sebelumnya yakni pedagang,” imbuhnya.

 

Kukang merupakan satwa dilindungi. Hidupnya di alam bebas, bukan di kandang sebagai satwa peliharaan. Foto: IAR Indonesia

 

Selain menjadi peliharaan, satwa-satwa dilindungi juga menjadi sumber protein bagi warga. Mayoritas karena mitos adanya khasiat dari daging satwa tersebut, sebagai obat atau bahkan afrodisiak. Lainnya, murni karena cita rasanya disukai.

Pintu-pintu masuk ke luar negeri merupakan akses sindikat ini. “Mereka berdalih jualan hasil tani. Tetapi biasanya, satwa atau bagian dari satwa turut disembunyikan,” tukas Sulhani lagi.

“Investigasi ini memakan waktu cukup lama, kesabaran, serta biaya tinggi. Tidak sebanding dengan nilai denda yang ditetapkan hakim,” katanya. Maka Yayasan Titian merekomendasikan untuk melakukan pencegahan dengan penyadartahuan, ketimbang tindakan refresif. Lantaran, operasi penangkapan pun memerlukan biaya tidak sedikit.

Belum lagi, jika satwa yang hendak dijual atau telah dipelihara harus menjalani rehabilitasi, sebelum dilepasliarkan. “Rehabilitasi memakan biaya yang cukup tinggi. Juga, biaya mobilisasi untuk pelepasliaran dan pemantauan,” tambahnya. Smart patrol dengan melibatkan warga setempat, menjadi alternatif yang dapat dilakukan pemerintah untuk pencegahan perdagangan satwa dilindungi.

Hari Novianto, dari Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat menyatakan, banyaknya pemeliharaan satwa dilindungi lantaran ketidaktahuan warga. Namun, pasar internasional juga merupakan salah satu penyebab tingginya perdagangan ini. “Banyak satwa dilindungi di Indonesia yang saat ini ada di China, Malaysia, atau bahkan Timur Tengah,” ujar Hari. Kini, aksi jual beli dipermudah dengan media sosial.

UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya hingga kini belum purna direvisi. Paling krusial adalah batasan maksimum, untuk pelaku hanya dikenakan lima tahun penjara. Sudah saatnya, kejahatan ini digolongkan sebagai kejahatan luar biasa.

 

Kukang bukan satwa peliharaan untuk diperdagangkan. Foto: IAR Indonesia

 

Katakan tidak

Masih dalam rangka peringatan Hari Primata Indonesia, sekitar 150 aktivis mengajak masyarakat melestarikan primata sekaligus menjauhi praktik jual belinya di Bundaran Digulis, Jalan Ahmad Yani Pontianak.

“Cara termudah adalah tidak membeli primata,” kata Maria Theresia, dari WWF Kalimantan Barat. Selain ancaman pidana, warga juga dapat terkena zoonosis dari satwa yang dipeliharanya. Zoonosis merupakan penularan penyakit dari hewan ke manusia seperti TBC, hepatitis, dan herpes. “Tempat hidup primata di habitat alaminya,” katanya kepada media.

Indonesia memiliki 40 jenis primata. Mulai dari kera besar yakni orangutan hingga primata terkecil di dunia, tarsius. Namun, hampir separuhnya terancam akibat alih fungsi lahan, perburuan dan perdagangan. “Semuanya berkaitan,” terangnya.

Budak Animal Lover Pontianak, komunitas yang ikut kampanye melakukan edukasi untuk tidak memelihara satwa dilindungi. “Munculnya komunitas pencinta satwa yang ikut mengedukasi warga merupakan hal menggembirakan. Kedepannya, bisa bersinergi dengan komunitas lain,” tambah Yanti Sudaryanti, dari BKSDA Kalbar.

Koordinator Kampanye & Komunikasi Yayasan Titian Lestari, Muhammad Adi Prasetio menambahkan, kukang adalah satwa yang belakangan kerap dipelihara masyarakat karena ukurannya yang mungil dan gerakannya kalem. “Saat ini kondisinya kritis atau mendekati kepunahan,” katanya.

Uniknya, Titin menggunakan bahasa melayu dalam spanduknya. Pendekatan ini dirasakan penting, agar informasi lebih mudah disampaikan ke masyarakat luas. Jenis primata yang dijadikan maskot adalah orangutan, kukang, klempiau, dan bekantan.

 

 

Tahun 2000, badan konservasi internasional IUCN menerbitkan daftar 25 jenis primata yang paling terancam punah di dunia. Dari 25 jenis tersebut, empat diantaranya asal Indonesia yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii), tarsius siau (Tarsius tumpara), kukang jawa (Nycticebus javanicus), dan simakubo (Simias cocolor).

Dipastikan, hilangnya suatu spesies berdampak buruk bagi ekosistem. Orangutan misalnya, sebagai spesies payung, perannya dalam ekosistem adalah penebar berbagai jenis biji pohon ke penjuru hutan.

Upaya mendesak yang harus dilakukan juga adalah menjaga kawasan lindung, tempat hidup para primata agar tidak tergusur kepentingan bisnis. Para ahli juga menyarankan upaya pengendalian pertumbuhan populasi manusia, guna membatasi perambahan wilayah primata.

Proyeksi pertumbuhan populasi manusia di seluruh dunia, dari 7,3 miliar akan menjadi 9,3 miliar pada 2050. Dampaknya, akan ada tekanan hidup dramatis pada orangutan, kukang, bekantan, dan kelempiau, yang berjuang untuk bertahan hidup. Menyempitnya kawasan hidup, dan menurunnya daya dukung kawasan untuk menyediakan pakan, menyebabkan konflik manusia dengan satwa liar dilindungi rentan terjadi.

 

 

Exit mobile version