Mongabay.co.id

Dibakar! Barang Bukti Kejahatan Satwa Liar Dilindungi di Sumatera Selatan

Puluhan barang bukti hasil kejahatan satwa liar dilindungi, baik berupa sitaan maupun serahan masyarakat kurun waktu 2016-2017, dimusnahkan di halaman Kantor BKSDA Sumatera Selatan, Jalan Kolonel Burlian KM 6 Palembang, Rabu (07/2/2018), pukul 11.30 WIB. Tak terkecuali, awetan harimau sumatera yang juga turut dibakar.

“Harimau sumatera yang dibakar itu serahan warga Palembang yang menetap di Plaju. Dia minta nama dan identitasnya dilindungi atau tidak dipublikasikan,” kata Muhammad Andriansyah, Ketua Kelompok Fungsional Polhut BKSDA Sumsel. Pemusnahan ini juga dihadiri Jaksa Muda Kejagung Ricardo Sitinjak SH, selaku Kepala Satgas SDA-LN, dan sejumlah pejabat dari Kejati Sumatera Selatan.

“Dia sudah lama menyimpan, mengaku sadar setelah mendapatkan informasi. Semoga, sikapnya diikuti warga lain, untuk tidak menyimpan awetan atau memelihara satwa dilindungi.”

 

Hukuman yang diterima para penjahat satwa liar dilindungi dinilai masih rendah, sehingga belum memberikan efek jera. Foto: BKSDA Sumatera Selatan

 

Adapun satwa langka dilindungi serahan sukarela masyarakat yang dimusnahkan, selain awetan harimau, diantaranya adalah satu ekor macan tutul jawa, satu ekor cendrawasih, satu ekor kambing hutan, dua caling gajah, empat ekor penyu sisik, dan enam kepala rusa sambar.

“Warga yang sukarela menyerahkan ini tiga dari Palembang, satu dari Lubuklinggau, Muaraenim, dan Lahat. Total, enam orang,” kata Andriansyah.

Sementara satwa-satwa awetan hasil sitaan atau pelakunya sudah mendapatkan hukuman penjara, antara lain satu ekor kucing hutan, satu taring beruang madu, salu lembar kulit kucing emas, dua trenggiling mati tanpa sisik, tiga lembar kulit harimau sumatera, tujuh kepala kambing hutan, dan delapan lembar kulit kijang.

“Ini semua, barang bukti atau sitaan dari para tersangka sebanyak enam orang, yang tertangkap di Palembang dan Lahat. Seluruh pelaku sudah dihukum 1-2 tahun penjara,” jelas Andriansyah.

Ricardo Sitinjak, SH, Jaksa Muda Kejagung RI, kepada wartawan mengatakan, pemusnahan ini merupakan bentuk kepedulian kita melestarikan alam. “Satwa itu dilindungi dan masyarakat harus mengetahuinya,” tuturnya.

 

Seluruh barang bukti kejahatan satwa liar ini, termasuk awetan harimau sumatera, dimusnahkan dengan cara dibakar. Foto: BKSDA Sumatera Selatan

 

 

Revisi

Terkait ringannya hukuman para pelaku kejahatan satwa liar dilindungi, Edi Sopian, Komandan Brigade SPORC (Satuan Polhut Reaksi Cepat) Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Wilayah Sumatera, Seksi Wilayah III Palembang, mengatakan seharusnya seorang penjahat dihukum penjara minimal 5 tahun dan denda minimal Rp1 miliar.

“Kami kerja sekitar tujuh bulan melakukan pengintaian, penangkapan, hingga proses hukuman. Ratusan juta rupiah uang negara dihabiskan untuk menangkap si penjahat. Tapi, hukuman yang diberikan belum maksimal. Belum hilang rasa lelah kami memburunya, dia sudah bebas,” ujar Edi memberikan contoh.

Dijelaskan Edi, hukuman ringan yang diterima para penjahat satwa langka dilindungi ini berdasarkan sanksi UU No 5 Tahun 1990. Ini tercermin dari Pasal 21 ayat 2 Jo Pasal 40 ayat 2. Beberapa kelemahan dari pasal tersebut tidak disebutkan hukuman minimal. Hanya ada, hukuman maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta.

Para petugas KLHK, dalam hal ini SPORC, juga tidak dapat melakukan penahanan terhadap tersangka meskipun tertangkap tangan atau cukup bukti. “Penahanan hanya dapat dilakukan atas bantuan kepolisian.”

 

Seluruh barang bukti kejahatan satwa liar dilindungi periode 2016-2017, dibakar di halaman Kantor BKSDA Sumatera Selatan. Foto: BKSDA Sumsel

 

Kelemahan lainnya, tidak ada batasan antara mereka yang dijerat hukum karena tidak paham dengan mereka yang sengaja mencari keuntungan. Misalnya, memiliki satu sisik trenggiling sanksi hukumnya sama dengan memiliki 10 ekor trenggiling.

Juga, tidak ada perlakuan khusus terhadap satwa unik yang kian terancam seperti harimau sumatera, gajah, dan badak. “Mereka yang membunuh badak dan mengambil culanya, hukumannya mungkin sama seperti mereka yang menangkap atau menjual seekor trenggiling. Harus ada pasal khusus mengenai sanksi terkait satwa khas ini,” kata Edi.

Dengan beberapa kelemahan tersebut, Edi berharap, pemerintah segera merevisi UU No 5 Tahun 1990, yang semangatnya memberikan sanksi hukum seberatnya kepada penjahat satwa langka dilindungi tersebut.

 

 

Exit mobile version