Mongabay.co.id

Serukan Warga Tak Nonton Sirkus Lumba-lumba, Koalisi: Itu Eksploitasi Satwa Berkedok Edukasi

 

“Stop Sirkus Lumba-lumba.” “Bisnis dan Penyiksaan Bukanlah Pendidikan.” Begitu antara lain bunyi spanduk hitam yang dibentang koalisi pecinta satwa dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Animal Friends Jogja (AFJ) dan Koalisi Peduli Satwa Solo.

Hujan gerimis tak menyurutkan langkah puluhan pecinta satwa aksi di Perempatan Gading, Alun-Alun Selatan, Kota Solo, Jawa Tengah, pagi 25 Januari lalu. Mereka berjarak sekitar 100-an meter dari lokasi sirkus.

Mereka juga memberikan brosur berisi tentang kekejaman sirkus satwa dan menyerukan kepada publik agar tak menonton sirkus.

Sebulan lebih sirkus keliling diselenggarakan Diana Ria Enterprise, mitra Taman Impian Jaya Ancol, tertunda, karena protes koalisi peduli satwa Solo. Meski begitu, akhirnya sirkus tetap jalan.

Amank Raga dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN) kepada Mongabay mengatakan, pertunjukan lumba-lumba bukanlah edukasi yang baik. Sirkus itu, katanya, hanya eksploitasi satwa demi kepentingan bisnis atas nama konservasi.

Salah satu penolakan JAAN dan para peduli satwa atas sirkus, adalah soal kesejahteraan satwa. Dalam setiap pertunjukan, katanya, ada kekerasan terhadap lumba-lumba.“Lumba-lumba diangkut, dihimpit handuk di kelilingi besi keras, kulit kering. Terkadang kulit diberi margarin agar tetap basah. Ini pelanggaran, lumba-lumba dipaksa keluar dari habitatnya,” katanya.

Banyak negara di dunia, katanya,  sudah melarang sirkus keliling lumba-lumba, hanya di Indonesia masih ada. “India dan Meksiko sudah mengakhiri sejak tiga tahun lalu.”

Seharusnya, kata Amank, Indonesia menutup dan melarang pentas keliling lumba-lumba dan aneka satwa serta mengganti dengan model edukasi sehat yang memperhatikan kesejahteraan satwa.

Pemerintah, katanya,  harus mengkaji ulang aturan menteri tentang peragaan satwa. “Kami ingin segala bentuk peragaan satwa apapun dihapuskan,” katanya.

Menurut Amank, UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman hayati dan ekosistem jelas melindungi lumba-lumba.

Berdasarkan data-data yang dihimpun JAAN, katanya, lumba-lumba satwa sepenuhnya aquatic, tak bisa hidup di luar lautan. Jika dipaksa keluar habitat, tak akan bisa bertahan dan mati. Kulit lumba-lumba tak boleh kering, harus sepenuhnya berada di air laut. “Pengangkutan lumba-lumba sudah melanggar ini,” kata Amank.

Lumba-lumba,  katanya, berkomunikasi dengan klik dan siulan halus, serta sangat peka suara. Di lautan,  suara klik dan siulan terdengar hingga sejauh 125 kilometer. “Bagaimana di kolam kedalaman 2,5 dan diameter 10 meter?”

Di dalam lautan, laju rambat suara empat kali lebih cepat dibanding di udara. Kerapatan cepat rambat udara, katanya, menyebabkan lumba-lumba sangat peka dengan suara sangat kecil.

“Tepukan riuh penonton bikin lumba kehilangan orientasi, stres dan depresi. Jika biasa lumba-lumba hidup di alam liar usia rata-rata bisa 30-40 tahun. Untuk sirkus usia berkisar lima sampai delapan tahun. Lumba-lumba,  memiliki sistem komunikasi sonar. Di laut, sonar bisa mencapai 220 kilometer. Ia digunakan berkomunikasi, mencari makan, melihat medan perjalanan, dan orientasi. Sonar, katanya,  keluar dari kepala lumba-luma dan memantul ke kepala kembali, seperti gelombang radio.

 

Protes sirkus lumba-lumba dari para peduli satwa di Solo. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Kalau lumba dibatasi dinding kolam, secara tak sengaja sonar keluar dari kepala dan memantul dari dinding dan masuk ke kepala lagi.

Di kolam diameter 10 meter, katanya, sonar sangat cepat memantul hingga membuat kepala pusing dan kehilangan orientasi.

Fakta lain, katanya, terkait kualitas air. Banyak air kolam sirkus pakai air PDAM dan diberi klorin. Klorin, katanya, membuat kulit lumba terbakar dan menyebabkan kebutaan. Kualitas air menggenang alias tak mengalir juga membuat lumba-lumba buang air besar dan pipis di tempat yang sama.

“Ini menyebabkan timbul berbagai bakteri yang akan menimbulkan berbagai penyakit.”

Sirkus juga tak pernah memperhatikan jam istirahat pada lumba-lumba. Mereka bekerja dari pukul 9.00- 21.00, tanpa henti. “Bisa dikroscek dijadwal pentas,” ucap Amank.

Dari poster yang Mongabay temukan di beberapa ruas jalan di Solo, jadwal pentas lumba-lumba dan beberapa satwa seperti anjing laut, setiap hari lima kali pementasan, Senin-Jumat. Pada Sabtu dan Minggu, satwa-satwa ini pentas enam kali. Poster juga menawarkan jasa foto bersama lumba-lumba dan satwa langka.

Selain itu, kata Amank, lumba-luma dan paus merupakan satwa mengagumkan. Lumba disebut sebagai manusia lautan, mereka memiliki kecerdasan, kehidupan sosial, dan berkomunikasi sangat mirip manusia. Lumba-luma hamil 15 bulan, manusia sembilan bulan. Mereka menyusui selama 1,5 tahun, setelah tiga tahun, baru bisa hamil lagi.

Fredy Irawan, Pegiat Koalisi Peduli Satwa Solo, prihatin, tak ada ketegasan Pemerintah Solo terhadap sirkus yang mengeksploitasi satwa dilindungi.

“Apa yang dipertontonkan sirkus memberikan gambaran salah tentang lumba-lumba. Apa yang dilihat dalam sirkus bukanlah perilaku alami lumba-lumba, tidak ada nilai edukatif dalam pertunjukan itu,” katanya.

Mongabay mengkonfirmasi Diana Ria.  Penyelenggara sirkus ini menilai protes sirkus lumba-lumba sudah hal biasa. Protes menolak pertunjukan lumba-lumba selalu mereka terima saat sirkus digelar di berbagai kota, bukan hanya Solo.

Menurut penyelenggara, mereka sudah sesuai prosedur, termasuk dalam hal perizinan dan dari lembaga konservasi.

Winarko, Wakil Manager Diana Ria Enterprise, mengatakan, wajar jika ada sekelompok masyarakat tak mendukung pertunjukan lumba-lumba. “Biasa saja, mereka selalu melecehkan pertunjukan kami,” katanya.

Diana Ria,  selaku mitra Taman Impian Jaya Ancol telah mengantongi izin sirkus keliling, mulai izin pengangkutan dan pentas dari lembaga konservasi, dalam hal ini Ancol.

“Ancol itu milik negara. Kami memberikan tembusan kepada seluruh instansi terkait di Solo, dan Pak Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo juga mengizinkan,” kata Winarko.

Soal kesehatan, Winarko mengklaim, lumba-lumba sudah didampingi tim medis dan pelatih dari Ancol. Dia yakin, aksi protes tak akan berpengaruh terhadap antusiasme warga Solo menonton atraksi lumba-lumba. “Kalau tak hujan, sehari 400 orang datang menonton,” katanya.

Mongabay  juga konfirmasi kepada Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Jawa Tengah, namun tak ada respon. Begitu juga konfirmasi kepada Walikota Solo, tak berbalas.

 

Keterangan foto utama: Sirkus lumba-lumba di Sidoarjo. Foto: Petrus Riski/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version