Mongabay.co.id

Cerita dari Auki: Pulau Kecil, Mitigasi Bencana dan Tantangan Kelola Alam

Pandangan Frans Wandosa menerawang, mencoba mengingat-ingat kejadian lebih duapuluh tahun silam. Dia Kepala Kampung Auki, -sebuah desa (di Papua disebut dengan istilah kampung) yang namanya sama dengan nama pulau tempat dia tinggal. Belum ada setahun dia menjabat sebagai Kepala Kampung.

“Di sini dulu bekas rumah-rumah panggung. Waktu tsunami 1996 hancur semua,” jelasnya.

Frans, keluarga dan warga kampung lainnya di Auki, -pulau atol kecil di gugus kepulauan Padaido di timur Biak, terpaksa merelakan aset yang mereka miliki, termasuk rumah yang mereka huni. “Untungnya tidak ada korban jiwa. Hanya kehilangan harta benda.” Rumah baru Frans sekarang bergeser sekitar 50 meter dari garis surut air laut.

Menjorok ke arah pantai masih terdapat bekas dermaga yang menjadi saksi peristiwa tsunami. Sekarang hanya pancang-pancang kayu  tertinggal yang menunjukkan bahwa ia dulunya dermaga. Di belakangnya telah ditumbuhi vegetasi pantai.

 

Bekas dermaga. Salah satu kerusakan yang diakibatkan tsunami tahun 1996 di pantai Auki. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Jika membandingkan kondisi bencana dengan kondisi hari ini, sulit dibayangkan bagaimana pulau kecil yang indah dan tenteram di bibir Pasifik ini, pernah mengalami kejadian bencana seperti terjangan gelombang tsunami.

Baca juga: Padaido, Negeri Indah yang Terhampar di Bibir Pasifik

Pada tanggal 17 Februari 1996, pukul 14.59 WIT Biak dan pulau-pulau sekitarnya mengalami gempa dengan kekuatan mencapai 8,2 mw. Gempa dari dasar laut itu disusul tsunami 15 menit kemudian. Tercatat puncak gelombang tsunami berketinggian 7 meter, yang terjadi di Pulau Yapen.

Hasil analisa pakar   menyebut gempa bumi terjadi karena aktivitas subduksi yang berada di perairan utara Papua. Lokasi yang merupakan pertemuan dua lempeng, Lempeng Indo-Australia yang berada di selatan dengan Lempeng Caroline-Pasifik yang ada di sebelah utara.

 

Pusat gempa tahun 1996 di utara Biak. Bagian utara Pulau Papua, Yapen, Biak dan Kepulauan Padaido merupakan area utama yang terdampak tsunami dan gempa. Sumber peta: https://earthquake.usgs.gov

 

Jika ditarik garis lurus arah timur laut, Pulau Auki berada kurang dari 100 km dari pusat gempa. Beruntungnya kampung-kampung seperti Auki, Sandidori dan Kanai yang ada di pulau ini, berada di wilayah sebaliknya, -menghadap selatan. Berlawanan dari pusat tsunami berasal.

“Akibat gempa dan tsunami sebabkan abrasi, garis pantai berubah, bahkan muncul pulau baru,” jelas Matheus Rumbraibab menunjuk karang-karang yang lepas dari pulau induknya. Pulau-pulau karang bak jamur berada di depan perairan Auki.

Matheus adalah Ketua Lembaga Masyarakat Adat di Pulau Auki. Dia termasuk saksi mata kejadian tsunami. Kerja sehari-harinya nelayan pencari ikan. Di balik atributnya sebagai ketua adat, dia seorang yang ramah. Sesekali senang menggoda lawan bicaranya.

“Saya akhirnya bangun rumah baru di bukit,” terang Matheus menjelaskan strategi mitigasinya. Istilah ‘bukit’ yang Matheus sebut sebenarnya jauh berbeda dengan terminologi konvensional yang umum dikenal. Istilah Matheus merujuk pada sebidang tanah berkarang yang tingginya sekitar 5 meter dari permukaan laut. Rumahnya agak menjauh dari garis pantai.

***

Total terdapat sekitar 40-an pulau-pulau kecil yang membentuk Kepulauan Padaido. Auki dengan beberapa pulau di sekitarnya seperti Pai, Wundi dan Nusi masuk dalam wilayah Distrik Padaido. Sedangkan Mangguandi, Mbromsi dan Padaidori masuk wilayah Distrik Aimando.

Auki merupakan sebuah pulau kecil yang secara kasar jika ditarik garis lurus, panjangnya sekitar tiga kilometer arah barat daya-timur laut, dengan lebar rata-rata sekitar satu kilometer. Ditengah-tengah pulau ini, -bagaikan tulang punggung, terdapat perbukitan karang yang masih lebat vegetasinya. Di bagian selatan pulau terbentang semacam teluk laut dangkal yang dipenuhi padang lamun.

 

Frans Wandosa, Kepala Kampung Auki. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Salah satu tantangan dinamika pengelolaan alam di ekosistem yang rapuh seperti pulau Auki adalah antisipasi terhadap bencana. Sesuatu yang harus sigap dihadapi para penghuninya.

“Di sini suka terjadi gempa,” ucap Matheus.

Gempa dan tsunami tidak hanya mengoyak keseimbangan ekonomi dan sosial masyarakat, tapi juga keseimbangan alam. Menurut Frans dan Matheus, sejak kejadian tsunami beragam jenis ikan dan bia (sebutan lokal untuk kerang) banyak yang hilang.

“Dulu banyak sekali anadara (sejenis kerang dari jenis anadara sp.), tapi sejak tsunami hasil menurun. Terumbu karang rusak, jadi banyak ikan yang hilang,” imbuh Matheus. “Dulu banyak sagu, tapi setelah tsunami pohonnya banyak yang mati.”

Matinya pohon-pohon sagu dan hilangnya sebagian besar hasil laut, mendorong masyarakat mencari akal untuk tetap bertahan. Tak ada pilihan bagi warga pulau kecil, laut merupakan pilihan rasional dengan hasil lautnya seperti kerang dan ikan. Sesekali ditambah hasil darat, seperti memanen kelapa untuk dijadikan kopra.

Itu pula yang mendorong mereka bersepakat mengatur pola pemanfaatan sumberdaya alam, lewat Peraturan Adat Meos (pulau) Auki Nomor 1/2006 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Darat, Pesisir dan Laut, yang diikat dalam sebuah peraturan antar kampung yang disahkan bersama oleh tiga kampung yang ada di Pulau Auki.

Peraturan Adat ini juga meliputi berbagai aturan untuk melindungi kawasan sumber mata air di wilayah pesisir, kawasan berpasir, hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang.

 

Padang lamun di pesisir pantai Auki. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Dalam penyusunan zonasi laut, masyarakat dibantu oleh sebuah lembaga nirlaba, ILMMA (Indonesia Locally Managed Marine Area). Ditentukan bersama mana zonasi inti yang tidak boleh diganggu gugat, zona pemanfaatan terbatas dan zona pemanfaatan terbuka. Dalam penentuannya mereka dibantu oleh para ahli dari perguruan tinggi yang didatangkan ILMMA.

“Kami inginnya bia, kima dan ikan-ikan karang bisa pulih jumlahnya. Untuk itu pengambilannya perlu aturan. Caranya dibuat Daerah Perlindungan Laut (DPL). Ada zona yang terlarang diambil, ada yang diperbolehkan ambil. Juga ada aturan ukuran ikan mana yang boleh diambil,” jelas Frans.

Di mata masyarakat kekayaan alam adalah hak milik komunal, -milik semua marga. Jadi pengambilannya harus diatur. Secara tradisional pengaturan alam sudah ada pranatanya, yaitu lewat sasisen, yang dipraktekkan antar generasi. Yang berbeda di Auki, pendekatan tradisional ini dipadukan dengan identifikasi sumberdaya alam secara ilmiah, lewat perhitungan dan pengolahan data secara saintifik.

Baca juga: Cara Orang Auki Kelola dan Jaga Laut, Silangkan Adat dengan Sains

“Mama-mama monitor anadara setahun dua kali untuk buat data, mereka hafal nama-namanya,” jelas Frans. “Kalau bapak-bapak yang hitung malah kacau, bapak-bapak taunya hanya makan bia,” lanjutnya berseloroh.

Meskipun demikian, argumentasi kebenaran ada dalam penuturannya. Hal itu terkait dengan pembagian peran gender. Karena profesi pekerjaan, perempuan lebih familiar dengan aktivitas mengumpulkan kerang, sebaliknya lelaki lebih paham berbagai jenis-jenis ikan.

Data yang warga ambil dari lapangan, lalu direkapitulasi dalam tabulasi jumlah biota yang ditangkap. Hingga saat ini, mereka memiliki time series data selama limabelas tahun tanpa putus ragam biota laut yang ada di perairan Auki.

Fungsi data ini adalah untuk mengetahui jumlah tangkapan, sekaligus warning jika dijumpai kecenderungan penurunan biota tangkapan dibandingkan tahun sebelumnya. Semuanya dibahas dan dievaluasi. Semua proses ini dilakukan karena kesadaraan dan swadaya. Meski sekarang peluang dukungan jauh lebih terbuka.

 

Banner Anggaran Dana Desa yang dipasang di depan Balai Kampung. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

“Saya sudah masukkan dalam anggaran Dana Desa (DD) untuk program konservasi,” jelas Frans.

Sejak Pemerintah menetapkan aturan pengelolaan Dana Desa, pemerintah kampung dapat lebih leluasa mengatur alokasi penggunaan dana. Di Kampung Auki, dari total DD 736-an juta rupiah setahun, anggaran untuk konservasi laut sebesar 5 juta rupiah.

Frans pun menyebut pembangunan infrastruktur kampung seperti genset dan instalasi listrik, serta pembangunan/rehab rumah warga dan MCK masih jadi prioritasnya. Sengaja papan anggaran DD dia pasang di depan Kantor Kampung. “Biar seluruh warga masyarakat bisa lihat dan baca.”

***

Kening Frans sedikit berkerut ketika saya bertanya, apakah dia masih yakin Pulau Auki masih ada dalam limapuluh tahun ke depan. Saya mengutip sedikit fenomena pemanasan global yang diprediksi akan menaikan muka air laut, dan akan merendam sebagian wilayah pantai. Dia pun menjawab.

“Sebagian wilayah pantai di Auki saya rasa ke depan bakal tenggelam. Untuk itu kami punya program untuk memindahkan rumah-rumah, terutama yang di pantai ke tempat yang lebih tinggi. Pemda juga dorong.”

Lewat DD, -meski terbatas, Frans coba wujudkan itu. Pelan-pelan infrastruktur dan perumahan warga mulai dipindahkan, menjauh dari pantai. Menurutnya, masyarakat tidak terlalu sulit untuk diberitahu, karena memori kolektif tentang tsunami masih melekat di benak sebagian besar masyarakat.

Tidak kalah pentingnya adalah membangun proteksi terhadap garis pantai yang ada. Meski kejadian bencana tidak selalu dapat dielakkan, tapi setidaknya vegetasi pantai yang kokoh diharap akan mampu mengurangi dampak bencana yang terjadi. Ekosistem alam yang baik pun akan memberi dukungan bagi ekosistem yang sehat, yang pada akhirnya menyokong keberlanjutan hidup masyarakat pulau kecil, seperti Auki.

 

Karang yang terpisah dari pulau induk akibat fenomena gerakan alam di pesisir Pulau Auki. Bentuknya ibarat jamur akibat proses abrasi. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Di perairan Auki terdapat tiga jenis ekosistem yang mendukung hidupnya biota. Pertama mangrove, lalu padang lamun dan terumbu karang. Dari penampakan, kondisinya baik karena dijaga oleh pranata sosial. Meski tidak ada jaminan semuanya akan tetap baik, jika terjadi eskalasi gerakan alam besar seperti gempa dan tsunami dahsyat.

“Kita batasi penebangan kayu, potong kayu harus lapor dan ada aturannya. Kalau mangrove itu jelas dilarang potong,” ujar Frans.

Namun demikian dia pun tidak menutup mata jika masih saja ada oknum dan warga masyarakat yang belum paham pentingnya menjaga keutuhan lingkungan dan melanggar aturan yang dibuat. “Aparat kampung, pemuka adat dan lewat khotbah dari mimbar gereja terus ingatkan masyarakat. Itu tantangan.”

Belajar dari tsunami yang terjadi 22 tahun yang lalu, masyarakat terus mencoba hidup berdampingan dengan alam. Mengenal, menganalisa gejala alam, serta bernalar untuk mengantisipasi bencana, tampaknya menjadi kunci bertahan hidup di pulau kecil seperti Auki.

 

Foto tampak muka: Teluk Auki terlihat dari ketinggian. Dok: ILMMA

Exit mobile version