Mongabay.co.id

Seruan Setop Topeng Monyet di Jogja, Beragam Penyakit Ini Bisa Menular ke Manusia…

Aksi mendesak pemda hentikan topeng monyet agar warga Jogja terbebas dari penyakit menular dari primata. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Topeng monyet marak di Jogja. Setelah Jakarta dan Jawa Barat, dilarang, tampaknya, aktraksi ini beralih ke Jogja. Masyarakat mesti waspada. Beberapa penyakit kemungkinan bisa tertular dari monyet ke manusia. Ada rabies, hepatitis sampai TBC. 

 

Suara klakson kendaraan bermotor bersahutan melintas di parkiran Abu Bakar Ali, Kota Yogyakarta, Selasa siang, (30/1/18). Hari itu, hujan deras bercampur angin, memaksa puluhan relawan tergabung dalam aksi Stop Topeng Monyet di Yogyakarta,  menunda aksi longmarch mereka menuju Kantor Gubernur Yogyakarta.

Di Abu Bakar Ali, mereka berpakaian serba hitam, membawa spanduk dan poster bertuliskan “Jogja Tolak Topeng Monyet.” “Indonesia Bebas Rabies 2020.”

Kala hujan reda, mereka memulai aksi teatrikal. Memakai beraneka topeng, bermain tetabuhan, harmonika dan lonceng kecil. Mereka mengibaratkan sebagai monyet yang dipaksa beratraksi di depan publik.

Aksi ini berhasil memancing perhatian masyarakat, terutama keluarga yang sedang berlibur, bersama anak-anaknya.

Oddysey Sanco, akrab disapa Bandizt, pemain bass grup band Shaggydog juga ikut. Dia membagikan selembaran kertas berisi kekajaman aksi topeng monyet dan bahaya penyakit menular dari hewan primata itu ke manusia.

Bandizt, mengatakan, tak ada nilai edukasi dari menonton topeng monyet. Kekejaman, katanya, yang sebenarnya terjadi di balik latihan-latihan monyet.

Monyet ekor panjang, katanya,  merupakan satwa liar. Kalau ingin melihat mereka bisa datang ke habitatnya, seperti di Kaliurang, atau Turi di Sleman.

“Jika ingin lihat monyet datang ke habitat di hutan. Di sana tak ada monyet bermain motor, atau bermain egrang,” katanya.

Muryati, warga Kabupaten Sragen, Jawa Tengah yang sedang berlibur ke Jogja bersama anak dan suami, melihat aksi itu.

Dia tak pernah tahu ada kekejaman di balik aksi topeng monyet. Melihat aksi itu, dia akan melarang anaknya melihat pertunjukan topeng monyet.

“Tentu akan saya larang menonton aksi topeng monyet keliling,” kata Muryati.

Angelina Pane, Manajer Program Animal Friends Jogja (AFJ), kepada Mongabay mengatakan, aksi ini bertepatan Hari Primata Indonesia. AFJ bersama Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mendesak Gubernur Yogyakarta mengeluarkan peraturan pelarangan topeng monyet.

Temuan AFJ di lapangan, selama 2017, 70 kasus eksploitasi monyet. Sebagian besar monyet di Yogyakarta, dari luar daerah, seperti Jawa Barat, hingga Jakarta.

“Monyet banyak dari Jawa Barat dan Jakarta. Pelarangan topeng monyet di dua daerah itu, membuat berpindah ke Yogyakarta.”

Jawa Barat,  katanya, belum bebas rabies, jadi kesehatan monyet patut dipertanyakan.

 

Aksi para relawan di Depan Kantor Gubernur Yogyakarta mendesak Gubernur menerbitkan aturan pelarangan topeng monyet. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Yogyakarta, katanya, wajib mengantisipasi monyet dari Jabar. Tahun 2015, Gubernur Jabar sudah mengeluarkan surat edaran tentang kewaspadaan terhadap penyakit rabies dan zoonosis lain.

Yogyakarta, katanya,  yang sudah bebas rabies, bisa terdampak dengan masuk monyet dari Jabat.

Tak hanya rabies, dia khawatir TBC dan hepatitis juga menular ke manusia. Apalagi,  topeng monyet mentarget anak-anak untuk menonton.

Topeng monyet  dilarang di Jakarta sejak 2014. Hasil investigasi AFJ,  aksi topeng monyet sebagian besar beroperasi di Jogja dan di Sleman dan Bantul, sedangkan Kulonprogo dan Gunungkidul masih belum ada.

Investigasi AFJ mendapati, monyet ekor panjang diperjualbelikan di Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (Pasty), Mantrijeron. Pengakuan pedagang, kata Ina, monyet dapat dari Bali.

Kondisi ini, katanya, berbanding terbalik dengan target Indonesia Bebas Rabies 2020.

Amank Raga dari JAAN kepada Mongabay mengatakan, aksi setop topeng monyet di Jogja, mendorong Indonesia bebas topeng monyet. Setelah Jakarta dan Jabar, Jawa Timur,  dalam proses pelarangan penuh topeng monyet. Dia berharap, Yogyakarta dan Jawa Tengah, ikut melarang juga.

Menurut Amank, topeng monyet melanggar kesejahteraan satwa. Seluruh proses merupakan eksploitasi satwa liar. Bayi monyet ditangkap dari hutan lalu pindah ke berbagai daerah.

Dalam proses itu, induk monyet terbunuh dan anggota keluarga lain seringkali mati saat mereka saling melindungi satu sama lain.

Monyet ekor panjang, katanya,  merupakan makhluk sosial yang hidup berkelompok. Ketika mereka diambil dari habitat, mereka terpaksa hidup individual hingga menyebabkan penyimpangan perilaku alami.

“Penempatan mereka oleh pawang selalu dalam kondisi memprihatinkan dan tak mendapatkan makan dan minuman yang layak,” kata Amank.

Perjuangan JAAN di Jakarta, berhasil pada 2014. Monyet eks topeng monyet yang diselamatkan JAAN, katanya,  menderita infeksi cacingan dan radang gusi kronis karena pencabutan gigi secara paksa.

Hasil pemeriksaan laboratorium tim medis JAAN terhadap seluruh monyet eks topeng monyet Jakarta, katanya, menunjukkan, sebanyak 11,31% positif menderita penyakit TBC.

Selain resiko zoonosis, kata Amank, aktivitas topeng monyet juga melanggar lima prinsip kesejahteraan hewan.

Hasil investigasi mereka, monyet dilatih kurang lebih tiga hingga enam bulan. Tahapan pelatihan monyet sangat kejam.

Pertama, monyet harus bisa berdiri tegak. Monyet merupakan hewan yang tak dapat berdiri tegak. Monyet dipaksa berdiri tegak.

Durasi pelatihan kurang lebih selama tiga minggu. Leher monyet biasa diikat rantai dengan posisi berdiri tegak. Setiap hari, katanya, monyet digantung dalam posisi seperti ini selama 6-8 jam.

 

Penyerahan dokumen dan data investigasi AFJ dan JAAN terkait stop topeng monyet di Jogja. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Tahap kedua, pengenalan alat. Dalam tahap ini,  biasa memakan waktu dua minggu hingga satu bulan. Monyet sering dipukul dan diikat dengan rantai sebagai isyarat atau tanda mengikuti instruksi pawang.

Tahap ketiga, salto atau lompat. Tujuannya,  agar monyet dapat melompat atau melompati lingkaran. Tahap ini, katanya,  leher monyet diikat rantai, kemudian kedua tangan diikat, lalu digantung di tembok. Proses ini, sekitar 10 hari sampai tiga bulan.

“Terakhir saat pertunjukan topeng monyet di jalanan. Monyet dipaksa beratraksi tidak mengenal cuaca dan batasan waktu,” kata Amank.

Sugeng Rahardjo, Kepala Biro Perekonomian Setda DIY, kepada Mongabay mengatakan, kalau memahami kepedulian pelarangan topeng monyet ini. Yogyakarta, katanya, telah menerbitkan surat edaran (SE) mengenai kewaspadaan terhadap penyakit rabies pada 2009.

Hal ini, katanya, sejalan dengan permintaan pelarangan topeng monyet selain alasan kekejaman terhadap hewan. Namun, kata Sugeng, perlu waktu untuk kajian atas regulasi ini. Sejumlah dokumen dan laporan dari AFJ dan JAAN, akan memudahkan mereka melakukan kajian.

“Kami prinsipnya setuju tak ada topeng monyet di Jogja. Kita ingin aman dan terus bebas rabies. Kami juga ingin perlakuan yang baik bagi hewan-hewan ini,” katanya.

Sementara itu, Woro Sulistyaningsih, Kepala Bidang Penataan dan Perlindungan Hutan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta setuju topeng monyet dilarang. Dia bilang, monyet ini banyak dan mereka belum memiliki data pasti.

Tugas mereka, kata Woro, pelestarian flora dan fauna, sosialisasi menjaga ekosistem hutan dan non hutan di Yogyakarta terjaga baik.

 

Foto utama: Aksi mendesak pemda hentikan topeng monyet agar warga Jogja terbebas dari penyakit menular dari primata. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version