Mongabay.co.id

Jejak Kearifan Lingkungan dalam Tradisi Kelenteng

Sebelum memasuki tahun baru Imlek, umat Tri Dharma di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah memandikan para suci di Kelenteng Boen Tek Bio di Kecamatan Banyumas. Pada saat memandikan para suci yang diejawantahkan dalam patung-patung tersebut dilaksanakan pada saat para dewa telah naik ke langit.

Karena setiap setahun sekali, para dewa naik ke langit bertemu dengan Thian (Tuhan) untuk melaporkan tugasnya semasa di bumi. Pada saat para dewa naik ke langit itulah, kemudian patung-patungnya dimandikan atau istilahnya dijamasi.

Apakah air untuk jamasan itu air biasa? Iya, air untuk jamasan adalah air biasa. Namun, air tersebut diambilkan dari lima sumber mata air yang ada di Banyumas, Banjarnegara dan Tegal. Dari mana saja? Ada lima sumber mata air yang diambil airnya untuk jamasan.

“Berdasarkan petunjuk dari Ho Tek Cheng Sin (Nabi Kong Co) ada lima sumber mata air yang diambil. Dua di antaranya cukup jauh yakni hulu Sungai Serayu bernama Tapak Bima di dataran tinggi Dieng, perbatasan Banjarnegara-Wonosobo serta Sendang Ayom di daerah Guci, Tegal. Sedangkan ketiga lainnya berasal dari sumur di sebelah selatan Kelenteng Boen Tek, kemudian air sumur dari Kalibening, Banyumas serta sumur mas di Pendopo Duplikat Si Panji Kecamatan Banyumas. Air dari lima sumber mata air itukah yang dipakai untuk jamasan patung para suci,” jelas juru bicara Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas Sobitananda yang ditemui Mongabay Indonesia pada Jumat (09/2/2018).

 

Seorang umat menunjukkan sumur yang berada di Kelenteng Boen Tek Bio di Kecamatan Banyumas, Jateng. Salah satu ritual Kelenteng yakni jamasan, menggunakan air dari lima sumber mata air. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ia mengungkapkan bahwa tradisi Kelenteng menyatakan bahwa air adalah sumber kehidupan. Sehingga sumber-sumber air harus terus dijaga. Bahkan, secara filosofis, tradisi Kelenteng sama dengan Kejawen, kalau sumur yang digali untuk mendapatkan air bermakna sebagai “sumbering umur” atau sumber kehidupan.

“Makna sumur adalah “sumbering umur” atau sumber kehidupan. Dengan adanya air maka kita bisa hidup. Karena itulah, sumber-sumber air harus tetap dijaga, karena merupakan sumber kehidupan bagi manusia,” jelasnya.

Makanya, dalam jamasan untuk para suci tersebut, air yang digunakan merupakan campuran dari lima sumber air berbeda-beda. Air tersebut dicampur dengan berbagai macam bunga kenanga, mawar merah dan putih. Sebagai sumber kehidupan, air yang telah dicampur dengan berbagai macam kembang itu dipakai untuk menjamasi sejumlah para suci.

Di Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas, ada patung Thu Niong Niong atau penguasa bumi, Tjin Siok Po dan Oet Ti Kiong, keduanya Dewa Penjaga Pintu kemudian Ho Tek Tjeng Sin atau Khong Ci biasa disebut juga Dewa Amorva Bumi, Bu Sen atau Dewa Macan, Lung Sen atau Dewa Naga, Lok Sik Kung atau Dewa Kebahagiaan, Siu Sing Kun atau Dewa Panjang Umur.

Yang menarik lagi, di Kelenteng setempat juga ada Keris Mbah Kuntjung. Keris tersebut juga dijamasi pada saat menjelang Imlek.

Penjamasan dengan air dari berbagai sumber mata air tersebut juga mengingatkan kepada umat untuk senantiasa menjaga sumber-sumber air. “Sekali lagi saya katakan kalau air merupakan sumber kehidupan. Maka dari itu, sumber-sumbernya harus dijaga secara nyata,” ungkapnya.

 

Pohon bodhi (Ficus religiosa) yang merupakan simbol pohon kehidupan ditanam di Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pada bagian lain, Kelenteng tersebut juga mempertahankan pohon bodhi (Ficus religiosa) yang terletak di utara bangunan Kelenteng serta tanaman air. “Pohon merupakan simbol umum yang menggambarkan alam karena menyediakan naungan dan perlindungan bagi manusia serta binatang. Sedangkan pohon bodhi merupakan tempat ketika Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Pohon bodhi ini dilambangkan sebagai pohon kehidupan. Hingga kini, Kelenteng masih dan akan mempertahankan pohon ini sampai kapan pun,” kata Sobitananda.

Pada bagian lain, Sobitananda mengatakan jika dalam ajaran tradisi Kelenteng, umat diminta untuk menghormati alam sama seperti berbakti kepada kepada orang tua. “Pesan ini sangat penting, menghormati kepada alam. Artinya bentuk penghormatan tentu tidak merusak alam dan terus menjaganya. Kita memang tidak bisa lepas dari alam, karena merupakan bagian dari alam itu sendiri.”

Sobitananda juga merujuk pada filosofi Tionghoa yakni Yin Yang. Dalam pemahamannya, Yin Yang adalah sebuah keseimbangan. Tidak bisa hanya alam panas semata, melainkan juga ada alam dingin. “Keseimbangan semacam ini juga berlaku di alam. Artinya umat harus menjaga keseimbangan lingkungan alam di mana mereka ada dan tinggal,”ujarnya.

 

Sejumlah umat tengah membersihkan Kelenteng Boen Tek Bio di Kecamatan Banyumas, Jateng. Salah satu yang dilakukan adalah jamasan kepada patung para suci dengan menggunakan air yang berasal dari lima sumber mata air. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dalam tradisi Kelenteng, ada juga sedekah bumi. Sedekah bumi adalah sebuah peringatan mengenai penghormatan atas bumi yang telah memberikan kesuburan sehingga tidak kekurangan pangan.

“Pada tradisi tersebut, Kelenteng berbagai. Masing-masing umat membawa hasil pangan. Umumnya adalah beras. Ada yang hanya beberapa kilogram (kg), tetapi ada pula yang sampai ratusan kg. Sumbangan beras ke Kelenteng tersebut mengandung maksud agar anak cucu mereka tidak akan kekurangan pangan. Beras yang telah disumbangkan, oleh Kelenteng dibagi-bagikan kepada warga sekitar meski berbeda agama atau kepercayaan. Intinya, Kelenteng ingin berbagi untuk sesama, tanpa maksud apapun,” tandasnya.

Tak hanya itu, sesungguhnya Kelenteng Boen Tek Bio juga menaburkan kebersamaan dengan umat agama atau kepercayaan lainnya. Karena Kelenteng jangan hanya sebagai tempat berdoa saja, melainkan juga menjadi lembaga sosial yang merenda kebersamaan dengan warga lainnya. Termasuk saat ada kegiatan yang menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan seperti penghijauan.

 

Exit mobile version