Mongabay.co.id

Susi : Cantrang Itu, Sekali Tangkap Bisa Buang Banyak Sumber Daya Ikan

Kapal ikan Indonesia yang menggunakan alat tangkap cantrang sebagai alat menangkap ikan di laut, dinilai merusak ekosistem, karena metode penangkapannya yang tidak ramah lingkungan. Sekali menangkap, alat penangkapan ikan (API) yang dikategorikan terlarang itu, bisa membuang minimal 1 kuintal ikan hingga 1 ton ikan dan biota laut lain.

Penilaian tersebut diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat memantau pendataan ulang, verifikasi, dan validasi kapal-kapal cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, awal pekan ini.

Menurut Susi, dengan kebiasaan seperti itu, laut Indonesia, terutama di kawasan yang banyak didatangi kapal pengguna cantrang, akan cepat mengalami kerusakan. Dia menyebut, contoh fenomenal yang hingga kini masih terus dikenang, adalah kerusakan yang dialami perairan di sekitar Bagan Siapi-api, Riau akibat banyaknya kapal menggunakan cantrang.

“Tak perlu menunggu ada kota lain untuk rusak dan hancur ekonominya lagi. Dari sekarang harus dijaga sebaik mungkin. Untuk itu, kesadaran dari nelayan menjadi yang utama,” ucap dia.

baca : Peralihan Cantrang, Pilih Mengganti atau Berhenti Melaut?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) bertemu dengan para nelayan saat meninjau pendataan ulang, verifikasi, dan validasi kapal-kapal cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Atas pertimbangan seperti itu, Susi meminta semua nelayan cantrang, termasuk di Rembang, untuk bisa ikut menjaga keberlanjutan usaha perikanan dan ketersediaan sumber daya ikan bagi generasi yang akan datang. Caranya, adalah dengan menghentikan penggunaan cantrang sebagai alat tangkap untuk menangkap ikan lagi di laut.

Susi mencontohkan, jika di Rembang terdapat kapal berukuran besar seperti 70 gross tonnage (GT) atau 100 GT, maka kapal tersebut akan membuang sumber daya ikan yang banyak setiap kali menggunakan cantrang untuk melakukan penangkapan ikan di laut. Kata dia, dengan ukuran seperti itu, sumber daya ikan yang harus dibuang bisa mencapai 1 ton lebih.

“Kalau Rembang saja ada lebih dari 200 kapal dikali dengan 200 kilogram saja, satu kali kapal buang, satu hari itu sudah 40 ton ikan rucah yang dibuang,” tegas dia.

baca : Nelayan Pantura Masih Ada yang Tolak Pergantian Cantrang

Melihat dampak negatif yang ditimbulkan tidak sedikit, Susi meminta semua nelayan pengguna cantrang untuk segera mengalihkan alat tangkapnya ke alat tangkap yang ramah lingkungan seperti jaring. Dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, maka hasil tangkapan juga akan lebih efisien, sesuai harapan, dan dengan ukuran yang tepat.

“Lebih baik jika ikan tersebut ditangkap dengan alat yang tepat, pada ukuran yang tepat, dan dengan nilai yang tinggi. Dengan demikian, tak hanya pemilik kapal cantrang, nelayan kecil dan tradisional pun dapat menikmati keuntungan yang lebih baik,” papar dia.

baca : Nelayan Ajukan Jaminan untuk Proses Pergantian Cantrang, Apa Saja?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) bertemu dengan para nelayan saat meninjau pendataan ulang, verifikasi, dan validasi kapal-kapal cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Pemalsuan Ukuran

Selain di Kota Tegal, penemuan kapal yang melakukan pemalsuan ukuran lebih kecil dari ukuran sebenarnya (mark down), juga terjadi di Rembang. Bahkan, menurut Susi, dari hasil pendataan yang dilakukan Tim Khusus Peralihan Alat Tangkap yang Dilarang, hampir semua kapal cantrang di Rembang sudah melakukan mark down ukuran kapal dari ukuran asli kapal yang rerata di atas 30 GT.

“Pemerintah sudah baik, memutihkan, bukan memidanakan (tindakan markdown). Hukumannya itu sebetulnya pidana,” kata dia.

Untuk itu, agar ketertiban tercipta, Susi menghimbau kepada semua nelayan untuk tidak lagi melakukan pemalsuan ukuran ataupun bentuk kecurangan lain. Dia berharap, para nelayan bisa mematuhi aturan yang sudah dibuat dan diterapkan, serta menaati kesepakatan yang sudah ada selama proses peralihan cantrang berlangsung.

Adapun, kesepakatan yang dimaksud Susi, adalah penggunaan wilayah tangkapan ikan yang dikhususkan bagi nelayan pengguna cantrang. Untuk mereka, wilayah tangkap sudah disepakati ada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI 712 yang meliputi semua kawasan perairan Laut Jawa dengan rentang 4 hingga 12 mil.

“Jika ada nelayan yang menangkap hingga ke atas (peta) sampai Kalimantan, orang Kalimantan (nanti) marah. Nanti ditangkap lagi di sana,” tegas dia memberikan peringatan.

 

Sejumlah kapal di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal selesai dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Di Rembang sendiri, kapal yang sudah didata, verifikasi, dan validasi, menurut Tim Khusus Peralihan Alat Tangkap yang Dilarang, hingga Selasa (13/2/2018) jumlahnya sudah terdaftar 262 unit kapal dengan 137 pemilik. Dari jumlah tersebut, sebanyak 229 kapal dari 117 pemilik diketahui sudah selesai didata.

Sedangkan, sebanyak 117 pemilik sudah melakukan wawancara dan sebanyak 74 unit kapal sudah melakukan cek fisik. Secara keseluruhan, dari semua kapal yang terdaftar, diketahui hanya 13 unit kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan. Sementara, sisanya adalah kapal-kapal yang harus melengkap persyaratan yang ditetapkan.

“Angka ini dipastikan masih akan terus bergerak seiring dengan pendataan yang terus berjalan,” tegas dia.

Dalam kesempatan di Rembang, Susi juga kembali menjanjikan kepada nelayan yang bersedia mengganti alat tangkap cantrang akan diberikan bantuan berupa jaminan asuransi kapal. Bantuan tersebut akan melibatkan Pemerintah RI dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti perusahaan asuransi Jasido.

Nantinya, sambung Susi, Jasindo akan mengasuransikan kapal milik nelayan, termasuk juga asuransi untuk anak buah kapal (ABK). Dengan demikian, jika terjadi kecelakaan kerja, perbankan akan mendapatkan ganti rugi dari pihak asuransi.

“Pemilik kapal tidak kehilangan kapalnya karena diasuransikan, dijaminkan. Kami akan dampingi. Misalnya nilainya (kapal) Rp1 miliar, utangnya Rp700 juta, berarti bank aman, pemilik kapal aman,” urai ia.

Tak hanya itu, Susi juga berjanji, Pemerintah akan memberikan pendampingan restrukturisasi kredit jika terjadi kredit macet dalam jangka waktu 1 hingga 2 tahun. Pendampingan itu sudah disepakati dengan beberapa lembaga perbankan seperti Bank BRI, BNI, Bank Mandiri, BTN, dan Bank Jateng.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (17/01/2018) ketika menemui massa nelayan yang menolak pelarangan alat tangkap ikan cantrang. Foto : Biro Pers Kepresidenan

 

Bebas Melaut

Sebelumnya, Ketua Tim Khusus Peralihan Alat Tangkap yang Dilarang Widodo menjelaskan, tim khusus bekerja untuk memantau sejauh mana kapal-kapal yang diperbolehkan kembali beroperasi oleh Presiden RI Joko Widodo. Kapal-kapal tersebut, tetap boleh beroperasi tetapi harus melaksanakan proses pergantian alat tangkap ke yang ramah lingkungan.

“Jadi, selama masa peralihan alat tangkap menjadi ramah lingkungan, kapal cantrang masih diperbolehkan untuk beroperasi,” ungkap dia saat di Tegal, akhir pekan lalu.

Saat melakukan pendataan di lapangan, Widodo mengungkapkan, pihaknya menemukan ratusan kapal yang diduga kuat melakukan mark down atau ukuran kapal yang asli lebih besar dari ukuran yang tertulis resmi dalam surat. Aksi kecurangan tersebut, harus ditiadakan karena merugikan banyak pihak, termasuk nelayan lain dan Negara.

“Jadi di dalam surat tertera 30 GT (gros ton), padahal aslinya ada yang 50. Ada yang 100 GT bahkan 155 GT,” sebut dia.

Menurut Widodo, kapala-kapal yang melakukan mark down tersebut bisa mengacaukan pengawasan yang dilakukan Pemerintah. Hal itu, karena Pemerintah menerapkan regulasi untuk setiap ukuran kapal. Salah satu contohnya, adalah regulasi izin untuk kapal berukuran lebih dari 30 GT yang seharusnya dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

“Tetapi, karena melakukan mark down, kapal yang seharusnya ukuran lebih dari 30 GT, kemudian menjadi di bawah 30 GT. Akibatnya, izin kemudian dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah,” tegas dia.

Mengingat pentingnya pendataan kapal, Widodo meminta kepada semua pemilik kapal untuk mendaftarkan diri ikut proses pendataan dengan cara mendatangi langsung lokasi pendataan. Kehadiran pemilik, sangat dinantikan karena itu bisa memastikan akurasi data yang dibutuhkan.

“Jadi pendaftarannya ini, pemiliknya yang kita harapkan datang langsung. Tatkala bukan pemiliknya , kami minta harus ada. Karena kita ingin data-data yang akurat dari kepemilikan kapal ini,” tegas dia.

 

Sebuah kapal penangkap ikan dengan jaring pukat hela (trawl). Foto : awionline.org

 

Lebih jauh Widodo menegaskan, pendataan ulang kapal menjadi bentuk komitmen KKP dalam menjalankan perintah Presiden RI Joko Widodo pada 17 Januari 2018 lalu. Setelah dilakukan pendataan, KKP baru akan memberikan rekomendasi untuk berlayar atau tidak. Cara tersebut sesuai dengan arahan Presiden yang meminta agar nelayan cantrang tetap bisa melaut selama proses pergantian alat tangkap.

Selain di Kota Tegal, Widodo menyebutkan, pendataan ulang, verifikasi, dan validasi kapal cantrang juga dilakukan di Batang, Pati, Rembang, Lamongan, dan Pekalongan. Proses yang sedang berlangsung tersebut sudah dimulai sejak Kamis (1/2/2018) lalu.

 

Exit mobile version