Mongabay.co.id

Atraksi Lumba-lumba, Pertunjukan yang Kental Eksploitasi Ketimbang Edukasi

Medio 2013, warga Kota Yogyakarta tidak bisa lagi menikmati atraksi lumba-lumba. Sebuah Surat Edaran dari Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, menegaskan bahwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) tidak boleh mengeluarkan surat angkut bagi mamalia air tersebut. Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATSDN) merupakan ‘dokumen’ agar penyelenggara atraksi bisa mengangkut satwa lintas daerah.

Surat itu keluar, setelah muncul protes berbagai pihak terhadap atraksi tersebut, mulai masyarakat, komunitas, hingga pegiat lingkungan hidup. Hingga saat ini, Indonesia adalah satu-satunya negara yang masih memperbolehkan pentas lumba-lumba diadakan. Sesungguhnya, atraksi ini sudah ditentang hampir di seluruh dunia. Alasannya, atraksi tersebut bertentangan dengan perilaku mamalia tersebut di habitat aslinya. Lumba-lumba diyakini mengalami tekanan dan ketidaknyamanan, secara psikis dan fisik akibat atraksi.

Jika aksi warga Kota Yogyakarta berhasil menghentikan atraksi lumba-lumba di luar kawasan konservasi, aksi serupa digalang di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Ocean Dream Samudera, Taman Impian Jaya Ancol menghelat atraksi lumba-lumba dari 15 Februari 2018 hingga 18 Maret 2018. Sebuah tempat rekreasi air terbesar di Kalimantan Barat, Paradis-Q Water Park, menyewakan lokasi untuk atraksi itu untuk sebulan lebih.

“Secara legal formal atraksi ini tidak bermasalah, yang jadi masalah adalah animal welfare. Ini sangat bertentangan,” tukas Sulhani, Direktur Yayasan Titian Lestari, baru-baru ini.

Reaksi Titian mendapat dukungan banyak pihak. Ada jurnalis, pegiat konservasi, dokter hewan, dan para aktivis sosial kemasyarakatan. Sebuah koalisi terbentuk dengan nama Koalisi Khatulistiwa Biru. Surat terbuka pun dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo, DPR RI, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Kalimantan Barat, Bupati Kubu Raya, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam, hingga ke organisasi profesi wartawan.

Baca: Serukan Warga Tak Nonton Sirkus Lumba-lumba, Koalisi: Itu Eksploitasi Satwa Berkedok Edukasi

 

Bottlenose dolphin, jenis lumba-lumba yang banyak digunakan untuk pertunjukan di Indonesia. Foto: Wikimedia Commons/NASA/Public Domain

 

Dalam surat diungkapkan agar penyelenggaraan sirkus keliling segera dihentikan dengan beberapa pertimbangan. Secara alami, lumba-lumba merupakan hewan bermigrasi namun dalam peragaan ini untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, lumba-lumba harus diangkut menggunakan transportasi darat dan udara.

Mamalia laut ini diletakkan di bagasi pesawat, bukan di kabin yang memiliki tingkat kebisingan tinggi. Posisi lumba-lumba dekat mesin. Kondisi tersebut berpotensi terhadap pecahnya paru-paru/kantong-kantong udara (monkey lips) dan organ dalam telinga yang disebabkan perbedaan tekanan atmosfer di habitat alami (di bawah air) dengan atmosfer di ketinggian jelajah udara.

Selama perjalanan, lumba-lumba diletakkan di bagasi tanpa menggunakan media air yang menjadi habitat seharusnya. Lumba-lumba dalam siklus hidupnya tidak pernah berada di luar air dalam jangka waktu lama. Dengan demikian, aktivitas pengangkutan lumba-lumba dapat menimbulkan berbagai potensi abnormalitas, kerusakan organ, stres, bahkan kematian.

Setelah berada di lokasi atraksi, lumba-lumba diletakkan dalam kolam sempit dan dangkal. Air kolam umumnya mengandung klorin dan sodium yang ditujukan membasmi mikroba atau membuatnya terlihat jernih. Padahal, dampak jangka panjang senyawa tersebut berdampak pada kesehatan lumba-lumba, seperti berkurangnya indera penglihatan hingga mengakibatkan kebutaan. Dengan demikian, perlakuan yang ada telah melanggar asas kesejahteraan hewan (animal walfare) yaitu bebas dari penyakit.

Baca juga: Resahnya Aktivis Lingkungan pada Pertunjukan Sirkus Lumba-lumba

 

Film dokumenter berjudul Blackfish besutan Gabriela Cowperthwaite ini, menceritakan kehidupan tilikum yang dijadikan objek pertunjukan sirkus mewah.

 

“Selama ini kita tidak mengetahui terjadi pergantian individu lumba-lumba, namun terlihat dengan jumlah yang sama,” tambah Dwi Suprapti, Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia.

Sirkus lumba-lumba keliling ini lebih mencerminkan penganiayaan keji terhadap satwa. “Tidak ada sama sekali nilai edukasinya. Malah ini upaya pembodohan yang didesain sedemikian rupa. Kesannya, seakan bermanfaat bagi dunia pendidikan dan konservasi,” tambahnya.

Lumba-lumba adalah makhluk sosial yang hidup berkelompok dan memiliki kerentanan psikologis tinggi dan stres. Secara ilmiah, menurut penelitian K.Noda et.al 2007, dengan judul “Relationship Between Transpotation Stress and Polymorphonuclear Cell Functions of Bottlenose Dolphine” dinyatakan bahwa transportasi pemindahan satwa dapat menyebabkan tingkat stres cukup tinggi. Efeknya, daya tahan tubuh lumba-lumba menurun sementara risiko infeksi penyakit serta kemungkinan kematian setiap kali mereka dipindahkan dari satu tempat ketempat lain meningkat.

Stres juga bisa bersumber dari rasa takut, kegelisahan, frustrasi, penangkapan, kebosanan, dan pengasingan. Kondisi tersebut akan mengakibatkan perubahan psikologi dan fisik yang dapat berujung pada sakit berkepanjangan, bahkan kematian. Umur lumba-lumba di alam cenderung lebih lama dibandingkan di kolam.

 

Bottlenose dolphin, hidupnya memang di laut bukan di kolam untuk dijadikan pertunjukan. Foto: Wikimedia Commons/Peter Asprey/ Attribution-Share Alike 3.0 Unported

 

Aturan main

Di Indonesia, ada tiga penyelenggara sirkus lumba-lumba; Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), Wersut Seguni Indonesia, dan Taman Safari Indonesia. Sampai saat ini, belum pernah dilakukan pendataan dan penandaan individu lumba-lumba yang dipelihara di TIJA, baik tagging, RFID/microchip, atau uji genetik yang terverifikasi dan terpublikasi.  Akibatnya, tidak dapat dibedakan antar individu satu dengan lainnya dan tidak dapat diketahui rentang waktu hidup (umur) di kolam.

“Kami sangat memerhatikan aturan yang berlaku. Di hari kerja empat kali pertunjukan, sedang akhir pekan lima kali show,” kata Tatang Sanjaya, penyelenggara pertunjukan yang ditunjuk pihak Ancol yang membawa dua lumba-lumba, satu singa laut, dan beberapa berang-berang. Masing-masing, akan beratraksi 15 menit, sesuai aturan pemerintah.

Tatang mengatakan, keberadaan sirkus lumba-lumba memberi pengaruh besar untuk masyarakat Kalimantan Barat. Ada nelayan yang memasok ikan kembung untuk pakan satwa yang akan beratraksi, pengelolaan even untuk anak-anak menggambar dan mewarnai, pembuat venue, serta penyedia air. “Hanya Ancol grade A yang punya lumba-lumba,” tukasnya.

Pakan yang didatangkan merupakan ikan segar, pelatih yang memastikan. Tak jarang, pelatih yang mencicipi terlebih dahulu kualitas ikannya. Tatang menyatakan venue pertunjukan pun sudah sesuai strandar, tinggi kolam mencapai 2,5 meter dengan diameter 10 centimeter.

Tak hanya itu, air yang digunakan untuk satwa beraksi dibuat sedemikian rupa sehingga mirip air laut. Selain itu, minimal empat poster akan dipasang di seluruh penjuru. Isinya, larangan pegunjung agar tidak melemparkan barang-barang atau makanan ke dalam kolam.

Dia juga membantah, adanya penyiksaan saat melatih mamalia air tersebut. Pelatih akan membangun hubungan emosional dengan satwa yang dilatih. Bahkan, dugaan melaparkan satwa agar mau menuruti perintah pun ditentang keras. “Kalau lapar mana bisa lincah,” ujarnya. Dalam satu hari, lumba-lumba dan singa laut menghabiskan 10 kilogram ikan segar. Sedangkan seekor berang-berang menghabiskan lima kilogram per harinya.

Sebagai EO yang sejak 2003 bekerja sama dengan TIJA, Tatang sudah hafal luar kepala bisnis ini. Termasuk, menghadapi aksi penolakan. Masalah sound system pun tak lepas dari perhatian. Untuk menghindari kerusakan fungsi otak dan syaraf, pengelola acara tidak menggunakan suara yang keras. Termasuk penggunaan peluit, yang dijadikan sarana untuk berkomunikasi. “Pertunjukan tidak lebih dari 15 menit per harinya,” jelasnya.

“Batasan 15 menit atraksi dari Dirjen KSDAE tetap saja ini eksploitasi. Jika alasannya edukasi silahkan mengedukasi warga, tetapi tidak dengan melibatkan satwa,” tukas Darmawan Liswanto, dari Yayasan Titian Lestari.

Pertunjukkan lumba-lumba ini, apapun bentuknya merupakan eksploitasi satwa. Di alam aslinya, kata Darmawan, semua atraksi yang dilakukan lumba-lumba memiliki kegunaan tersendiri bagi mamalia tersebut. “Kalau alasan edukasi, silahkan lakukan saja (edukasi) tetapi jangan melibatkan satwa,” ujarnya. Darmawan menegaskan, regulasi yang mengizinkan adanya atraksi satwa di luar lembaga konservasi, harus segera dicabut.

Albert Tjiu Manajer Program Kalimantan Barat, WWF-Indonesia menambahkan, cetacean itu jalur migrasinya sangat jauh. Jika tempat terbatas, itu bisa menyiksa hidupnya,” tukasnya. Pertemuan dengan BKSDA dan pihak penyelenggara, bukan merupakan pertemuan untuk kesepakatan. Lantaran, secara regulasi tentunya pihak penyelenggara sudah mengantongi izin. “Namun, kampanye untuk menentang atraksi dengan menggunakan satwa adalah hal yang mutlak dilakukan,” terangnya.

Dalam habitatnya, mereka akan berkenalan dengan lumba lumba lain, mencari makan bersama, dan gotong-royong untuk tetap hidup. Memang ada fase berkelana dan membuat lumba-lumba itu memisahkan diri. Namun, ini sebagai proses masuk ke komunitas baru. Satwa ini juga dikenal sebagai penjelajah samudra handal. “Hidup alaminya akan terpasung saat dijadikan satwa pentas,” tambah Maulid Dio Suhendro, dokter hewan spesialis di Indonesia Aquatic Megafauna (IAM) Flying Vet.

Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Noor mengatakan pihaknya bukan satu-satunya yang mengeluarkan izin untuk pertunjukan satwa. “Persyaratan lain-lain sudah dipenuhi. Jadi bukan hanya izin BKSDA Kalbar saja,” katanya. Terkait penggunaan satwa-satwa dilindungi sebagai aktor utama dalam sirkus pun mensyaratkan hal yang cukup banyak. “Pesyaratan ini lah, yang didesak koalisi untuk segera dicabut,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version