Mongabay.co.id

Merintis Pengelolaan Ekosistem Gunung dan Laut Pasca Letusan Gunung Agung. Seperti Apa?

Aktivitas vulkanologi Gunung Agung telah turun dengan dinyatakan dari status awas (level IV) ke siaga (level III) pada 10 Februari lalu dengan radius kawasan rawan bencana 4 km dari puncak.

Pasca letusannya meninggalkan kondisi lahan dan tanah garapan warga yang rusak. Setelah beberapa bulan mengungsi, warga memerlukan dukungan untuk kembali semangat mengelola tanah garapan atau kembali menghijaukan kaki gunung.

baca : Melihat Suksesi Alam Pasca Letusan Gunung Agung Bali

 

Gunung Agung, Bali, erupsi sejak dinyatakan status tertinggi Awas pada 22 September 2017. Foto : PVMBG/Mongabay Indonesia

 

Salah satu semangat yang disuntikkan datang dari Conservation International (CI) Indonesia, lembaga konservasi yang bekerja di Karangasem melakukan pemberdayaan masyarakat gunung dan laut. Hal itu sesuai dengan filosofi Nyegara Gunung, satu kesatuan ekosistem yang saling terkait antara hulu dan hilir.

CI Indonesia merintis program reforestasi bentang alam Gunung Agung sejak 2017 dengan target luasan 100 hektar daerah tangkapan air di Kecamatan Kubu. Serangkaian kegiatan dilakukan untuk mendorong warga menghijaukan lahan desanya agar memberi dampak ekonomi sekaligus mencegah erosi.

Kondisi saat ini, jika hujan lebat lumpur dan bebatuan mudah lepas dan menuju perairan konservasi dan obyek wisata selam Tulamben. Ada dua desa yang berada pada jalur ini, yakni Desa Tulamben dan Dukuh. Sekitar 7-9 km dari puncak Gunung Agung. Dukuh berada di hulu, kaki Gunung Agung, sementara Tulamben di pinggir pantai dengan spot selam Liberty Wreck di hilirnya. Pada 2017, perairan Tulamben masuk sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Karangasem seluas 5.856 hektar dengan 9 desa penyangganya. Kawasan laut akan mudah rusak jika daratan dan ekosistemnya rapuh.

baca : Pengungsi Menambang Material Erupsi Gunung Agung

 

Gede Wisnu dan bapaknya menanam bibit Cendana dalam rangkaian program reforestasi di Kabupaten Karangasem, kaki Gunung Agung, Bali pada Rabu (14/2/2018). Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kegiatan terakhir yang dilakukan adalah pembagian sebanyak 500 buah Cendana ke dua kelompok tani dan ternak di Desa Dukuh dan Tulamben memanfaatkan semangat Hari Valentine 14 Februari sebagai bentuk kasih pada alam. Bibit Cendana ini bantuan BPDASHL Unda Anyar, yang disemai dari biji dari NTT.

Tumbuhan berumur panjang yang banyak digunakan sebagai obat dan kerajinan di Bali ini umumnya tumbuh di habitat dengan iklim kering dan tanah berpasir, cocok ditanam di dua desa ini. Ekstrak minyak Cendana juga bisa dipanen karena bernilai tinggi.

I Nengah Arka, Ketua Kelompok Tani dan Ternak di Banjar Behel, Desa Dukuh pun belajar cara membibitkan Cendana di Kupang. Ia diminta mengajarkan bagaimana cara menanam Cendana, tidak seperti pohon kayu pada umumnya, tumbuhan ini memerlukan inang untuk menyerap nutrisi tambahan dari tanah.

“Cendana seperti bayi, dia perlu pengasuh yang memberi susu. Harus ditanam bersamaan dengan tumbuhan lain,” jelas Arka menerangkan dengan baik pada rekannya dalam sesi dialog.

Cendana harus dirawat karena rentan penyakit jamur putih, daun rusak dan batang menghitam. “Jangan putus asa, tanam lagi karena harganya luar biasa. Walau yang tanam tak menikmati, tapi pasti anak dan cucu nanti,” jelasnya. Arka mengaku sudah berhasil membibitkan dari biji, dan pernah menjual satu pohon muda sekitar Rp10 juta.

baca : Bagaimana Nasib Hewan yang Terdampak Awas Gunung Agung?

 

Bibit pohon Cendana dipilih sebagai tanaman reforestasi lahan di Karangasem, Bali karena bernilai ekonomi dan ekologi tinggi. Namun saat pembibitan harus ditanam bersama inangnya, seperti krokot. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dari status konservasi, Cendana masuk kategori rentan (vulnerable) dalam daftar IUCN Red List of Threatened Species, sehingga penanamannya akan melestarikan dan menambah populasinya.

Selain pembagian bibit Cendana, dilaksanakan pula Sosialisasi Perhutanan Sosial oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Timur di Desa Dukuh, langkah awal integrasi program reforestasi dengan Program Perhutanan sosial yang akan diajukan Desa Dukuh yang berbatasan dengan hutan lindung di lereng Gunung Agung.

Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan di kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraanya. Desa Dukuh terletak bersebelahan dengan hutan lindung, dan potensial untuk mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Desa melalui program Perhutanan Sosial.

I Wayan Arimbawa dari KPH Bali Timur menyebut banyak model Perhutanan Sosial. Misalnya Hak Pengelolaan Hutan Desa bisa dikelola desa dengan menyusun rencana tahunan dan jangka panjang. Berlangsung 35 tahun, evaluasi tiap 5 tahun. Syaratnya tak bisa diwariskan, dipindahtangankan pengelolaannya, dan tidak boleh tanam sawit.

Dari pengalamannya, muncul masalah saat warga mendatangkan investor kelola hutan desa. Padahal ini kesempatan langka, ketika investasi masuk, mereka yang lebih banyak menikmati bukan warga yang mendapat hak untuk kelola hutan. Pengelolaan hutan bisa dikombinasikan wisata lingkungan seperti agrowisata lebah madu.

Menjelajahi desa Dukuh seperti memasuki hutan dengan rapatan aneka tanaman kayu diselangi kebun tanaman pangan seperti jagung dan kacang. Jarak antar rumah warga cukup jauh. Warga membuat cubing menampung air hujan sebagai persediaan musim kemarau. Tahun ini musim hujan lebih panjang, dan hampir semua cubang terlihat penuh air.

Sedangkan Kepala Desa Tulamben berharap bibit yang diberikan tak ditumpuk karena kondisi desa mudah erosi memerlukan banyak pohon mengikat tanah. “Termasuk lahan kritis, tanah tipis mudah hanyut,” katanya.

 

Suasana Desa Dukuh, Karangasem, Bali. Desa Dukuh dan Tulamben merupakan dua desa yang berada dalam jalur hulu-hilir, gunung dan laut (Nyegara Gunung) sehingga penting dilakukan reforestasi lahan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Nyoman Bagiastra, warga Desa Tulamben menyebut kehidupan di gunung makin berat karena kesulitan air bersih untuk memasak dan minum. Air cubang tak aman karena mengandung abu. Jadi digunakan untuk mencuci dan ternak saja. “Kami beli air tangki mahal Rp200 ribu untuk minum,” katanya. Jumlah yang dibeli tergantung anggota keluarga.

I Made Iwan Dewantama dari CI Indonesia menyebut pihaknya bekerjasama dengan pemerintah dan banyak pihak, termasuk perusahaan otomotif Nissan yang menyediakan pendanaan dan mobil operasional.

Bekerjasama dengan peneliti sejumlah kampus, akan membuat baseline data run off dan tingkat sedimentasi di terumbu karang Tulamben. Tujuannya mengurangi tutupan sedimentasi agar terumbu bisa hidup dan spot wisata bawah laut bisa terus memberikan manfaat seperti saat ini.

Warga Tulamben dan sekitarnya masih terpukul dampak sebagai kawasan rawan bencana aktivitas vulkanologi Gunung Agung. Selama beberapa bulan, hotel dan restoran tutup dan sebagian warga mengungsi. Sejumlah ruas sungai jalur lumpur material dari beberapa kali erupsi piroklastik terlihat menuju ke lahan perkebunan dan pemukiman warga.

 

Exit mobile version