Mongabay.co.id

Perambahan, Ancaman Serius yang Terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu dari tiga taman nasional di Sumatera yang terdaftar sebagai situs warisan dunia atau Tropical Rainforest Heritage of Sumatra.

Dalam SK Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997, tercantum luas kawasan TNGL yang berada di Aceh dan Sumatera Utara ini mencapai 1.094.692 hektar. Dalam perkembangannya, luasan taman nasional ini berkurang menjadi 838.872 hektar, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.6589/Menhut-VII/KUH/2014. Di Aceh, luas Leuser sesuai SK MenLHK No. 103/MenLHK-II/2015 mencapai 625,115 hektar.

Berdasarkan data Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) 2017, tutupan hutan di TNGL saat ini adalah 592.454 hektar. Atau rusak sekitar 32.661 hektar.

“Di Kabupaten Gayo Lues, dari luasannya sekitar 201.672 hektar rusak sebesar 9.622 hektar. Sementara di Kabupaten Aceh Selatan, dari luasan TNGL 78.385 hektar, rusak seluas 1.880 hektar,” terang Manager GIS Yayasan HaKA, Agung Dwinurcahya, baru-baru ini.

Paling parah, terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara, lanjut Agung. “Dari luasan 281.845 hektar, kerusakannya mencapai 19.554 hektar.”

Baca: Catatan Akhir Tahun: Nasib Situs Warisan Dunia Berstatus Bahaya, Ada di Tangan Kita

 

Kondisi TNGL yang dilihat dari Gayo Lues, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Temuan lapangan Forum Konservasi Leuser 2017 pun menunjukkan, ada 245 kasus perambahan, 196 pembalakan hutan, dan 3 pertambangan ilegal yang terjadi di TNGL. Sedangkan pembangunan jalan di TNGL mencapai 24 kasus dengan panjang sekitar 67 Kilometer.

“Perburuan satwa juga terjadi yang jumlahnya lebih 100 kasus dengan jumlah jerat lebih 200 unit,” sebut Manager Database FKL, Ibnu Hasyim.

Direktur Forum Konservasi Leuser (FKL) Rudi Putra mengatakan, hingga saat ini berbagai kegiatan ilegal di TNGL masih terjadi. Mulai perambahan untuk lahan perkebunan, pembalakan liar, hingga perburuan satwa. “Upaya penegakan hukum yang minim, menyebabkan tidak adanya efek jera pelaku,” jelasnya.

Rudi menyebutkan, selama ini yang dilakukan adalah, ketika ada perambah maka cara-cara persuasif didahulukan seperti membuat pernyataan pelaku tidak akan melakukan perbuatan itu lagi. “Restorasi hutan TNGL yang telah dirambah untuk perkebunan juga masih terus dilakukan, termasuk oleh Forum Konservasi Leuser. Kami menargetkan merestorasi sekitar 2.000 hektar.”

Baca juga: Ancaman Pembukaan Lahan di Taman Nasional Gunung Leuser Itu Memang Ada

 

Ancaman pembukaan lahan di wilayah TNGL untuk dijadikan kebun jagung memang ada. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Misran menyebutkan, kegiatan ilegal di TNGL dibagi dua, masa lalu dan mendatang. “TNGL masuk dalam status berbahaya menurut Komite Warisan Dunia, untuk mengeluarkannya, kedepan, siapapun yang merambah, merusak, dan memburu satwa akan ditindak tegas.”

Permasalahan masa lalu, seperti masyarakat yang berada dalam kawasan, baik itu pemukiman maupun perkebunan, akan diselesaikan dengan aturan yang ada. “Bersama masyarakat kita dorong fungsi konservasi, dan kesejahteraan akan disinergikan. Salah satunya dengan program-program kemitraan,” terangnya.

 

Ranger atau penjaga hutan merupakan ujung tombak penyelamat hutan dan satwa liar di Leuser yang terus bergerak menjaga kawasan tersebut dari ancaman perburuan dan pembalakan liar. Tampak Ranger sedang melepaskan jerat harimau yang dipasang pemburu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Siapapun bisa pantau hutan

Dengan berkembangnya teknologi, pemantauan tutupan hutan saat ini dapat diketahui lebih cepat. Bahkan, semua orang dapat memantau hutan dengan mengakses data peringatan kehilangan tutupan dimana saja.

Salah satu program yang dapat dipakai adalah Global Forest Watch (GFW) dan aplikasi Forest Watcher. Aplikasi berbasis web dan smart phone ini memungkinkan pengguna mengetahui hilangnya tutupan pohon dengan cepat.

Guna memaksimalkan penggunaan aplikasi tersebut, Yayasan HaKA bersama World Resource Institute (WRI) Indonesia telah melatih personil Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, BKSDA Aceh, dan BBTNG.

“Kita berharap, pemerintah sebagai pengelola kawasan hutan dapat mengetahui dan memanfaatkan data kehilangan tutupan pohon terkini yang tersedia gratis,” sebut Agung.

 

Orangutan sumatera yang hidup di hutan TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perwakilan WRI Indonesia, Ummi Purnamasari menjelaskan, GFW mempunyai data bernama Global Land Analysis and Discovery (GLAD) yang bisa mengestimasi kehilangan pohon pada kawasan hutan. GLAD merupakan sebuah sensor berbasis satelit Landsat 7 dan Landsat 8 yang dapat mendeteksi kehilangan pohon setiap delapan hari sekali.

“Akurasi dari sensor ini mencapai 30 x 30 meter. Dengan sistem Near Real Time (NRT), peringatan GLAD dapat mencapai ke pengguna seketika. Hampir bersamaan dengan kehilangan tutupan pohon yang terdeteksi,” sebutnya.

Peringatan GLAD membantu pengguna melihat kehilangan tutupan pohon di lapangan dengan bantuan Forest Watcher. Peringatan GLAD yang ada di GFW juga tersedia di aplikasi berbasis seluler. Fungsi aplikasi ini membantu navigasi patroli hutan yang dapat digunakan tanpa membutuhkan sambungan internet. “Pengguna dapat memeriksa wilayah-wilayah yang terdeteksi peringatan GLAD, dan mengecek apakah kehilangan pohon benar-benar terjadi atau tidak,” tambah Agung.

Dengan menggunakan ponsel, aplikasi Forest Watcher dapat diunduh gratis. Kawasan hutan dapat dipantau meski tanpa sinyal internet. “Jika deforestasi diketahui dengan cepat, harapannya adalah laju deforestasi dapat ditekan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version