Mongabay.co.id

Studi: Kalimantan Kehilangan Hampir 150 Ribu Orangutan Dalam 16 Tahun Terakhir

Dunia kehilangan hampir 150.000 individu orangutan dari Pulau Kalimantan dalam 16 tahun terakhir akibat hilangnya habitat dan pembunuhan. Berikutnya, diperkirakan, kita akan kembali kehilangan 45.000 individu lainnya pada 2050, berdasarkan studi di Jurnal Current Biology.

Penelitian yang dipublikasikan 15 Februari 2018 ini, mengamati 36.555 sarang orangutan di seluruh Kalimantan -sebuah pulau yang dimiliki Indonesia, Malaysia, dan Brunei- dari 1999 hingga 2015. Selama periode tersebut, para peneliti melaporkan penurunan tajam jumlah sarang yang mereka temui di sepanjang wilayah yang diteliti: dijumpai lebih dari separuh dari 22,5 sarang per kilometer (sekitar 36 per mil) sampai 10,1 sarang per kilometer. Penurunan tersebut, menurut perhitungan, merupakan perkiraan kehilangan 148.500 individu orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).

Data tersebut juga menunjukkan bahwa hanya 38 dari 64 kelompok orangutan yang dipisahkan secara spasial, yang dikenal sebagai metapopulasi, sekarang mencakup lebih dari 100 individu. Ini merupakan batas minimal yang dapat diterima untuk dianggap normal.

“Mereka menghilang lebih cepat dari yang diperkirakan para peneliti,” kata Maria Voigt, peneliti di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Jerman dan penulis utama studi ini.

“Penyebab utamanya adalah degradasi dan kehilangan habitat sebagai respon terhadap permintaan sumber daya alam lokal dan global. Termasuk, produk kayu dan pertanian, namun sangat mungkin juga karena pembunuhan langsung,” tulis Voigt.

 

Hutan dan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Foto: Dokumentasi. Dr. Marc Ancrenaz

 

Sekitar 288.500 orangutan diyakini tinggal di Kalimantan tahun 1973, ketika tiga perempat pulau itu masih ditutupi hutan. Pada 2012, jumlahnya turun menjadi sekitar 104.700 individu, menurut IUCN.

Dalam rentang hampir empat dekade itu, lebih dari sepertiga hutan hujan Kalimantan hancur karena kebakaran, penebangan, pertambangan, dan pengembangan perkebunan, terutama sawit. Skala deforestasi berdampak parah pada populasi orangutan di pulau ini, hewan arboreal terbesar.

“Penurunan kepadatan penduduk paling parah terjadi di daerah yang digunduli atau ditransformasikan untuk pertanian industri, karena orangutan berjuang untuk tinggal di luar kawasan hutan,” kata Voigt.

Studi tersebut menemukan tingkat penurunan orangutan paling tinggi – 63 sampai 75 persen – di daerah-daerah yang mengalami deforestasi atau dikonversi menjadi perkebunan di Kalimantan, bagian Indonesia dari pulau ini, dan negara bagian Sabah di Malaysia. Sebaliknya, hampir tidak ada hutan tanaman industri dan kawasan penggundulan hutan di wilayah orangutan di Sarawak.

“Namun, yang mengkhawatirkan adalah, jumlah orangutan terbesar hilang dari daerah yang tetap memiliki hutan selama masa studi tersebut,” kata Voigt.

Hilangnya orangutan di hutan-hutan yang tidak tersentuh, atau “primer,” dan diseleksi secara selektif, di mana mayoritas orangutan tinggal, menyumbang 67 persen dari total perkiraan kerugian di Kalimantan antara 1999 dan 2015. Voigt menyatakan “peran besar pembunuhan” sebagai penyebab utama penurunan populasi di daerah ini, terutama karena tidak adanya penjelasan alternatif yang masuk akal, seperti jenis penyakit menular yang terjadi di antara kera di Afrika.

Agustus lalu, Pemerintah Indonesia melaporkan bahwa empat per lima dari 57.350 orangutan liar di Kalimantan tinggal di luar taman nasional dan kawasan lindung lainnya, sehingga membiarkan mereka terkena perburuan dan konflik dengan manusia.

“Orang membunuh orangutan untuk daging mereka, seperti mereka berburu spesies lain yang dapat dimakan,” kata Voigt. “Orangutan juga terbunuh saat anak-anak mereka ditangkap untuk perdagangan hewan sebagai peliharaan.”

Tetapi, beberapa pembunuhan ini juga terkait dengan deforestasi dan penebangan kayu, Voigt mencatat.

“Orang-orang di Kalimantan membunuh orangutan karena situasi konflik, saat hewan didorong memasuki taman atau perkebunan karena habitat mereka telah hancur,” katanya.

“Dengan meningkatnya pembangunan dan deforestasi dan konversi yang dihasilkan, tatap muka antara satwa dan manusia meningkat, jumlah manusia meningkat dan habitat yang tersisa untuk orangutan menurun,” tambahnya.

Voigt mengatakan, studi tersebut hanya memberikan sedikit gambaran tentang interaksi orangutan dan manusia di Kalimantan.

Dua orangutan dilaporkan terbunuh tahun ini di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Indonesia juga menjadi pemberitaan dunia pada 2011 ketika setidaknya 20 orangutan dibantai oleh pekerja perkebunan di Kalimantan Timur dengan kedok “pengendalian hama.”

 

Orangutan kalimantan betina dengan anaknya. Foto: Dokumentasi Dr. Marc Ancrenaz

 

Studi yang dilakukan Voigt memproyeksikan, kematian 45.000 orangutan pada 2050, hanya berdasarkan konsekuensi langsung atas hilangnya habitat.

Jika tingkat deforestasi saat ini terus berlanjut, sekitar 215.000 kilometer persegi (83.000 mil persegi) hutan di Kalimantan akan hilang antara 2007 dan 2020, mengurangi wilayah hutan yang tersisa menjadi 24 persen. Prediksi ini berdasarkan penelitian WWF di 2012.

Voigt mengatakan, temuan timnya menyoroti perlunya perubahan dalam upaya melindungi orangutan di Kalimantan, termasuk konservasi habitat dan tindakan untuk memerangi pembunuhan ilegal tersebut.

“Ini adalah sesuatu yang bisa kami konfirmasikan. Bahkan meskipun jika ada hutan, orangutan akan lenyap dan diperlukan lebih banyak tindakan konservasi, seperti peningkatan kesadaran, pendidikan, dukungan dalam situasi konflik bagi masyarakat lokal, juga penegakan hukum,” katanya.

“Dengan sebagian besar orangutan yang tinggal di luar kawasan lindung, berarti kita perlu menjangkau orang-orang yang mengelola kawasan ini, yaitu masyarakat dan perusahaan.”

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Forest Stewardship Council (FSC) adalah contoh skema sertifikasi yang memberi insentif pada kemitraan ini, dengan memungkinkan konsumen untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam bertanggung jawab.

Pemerintah Indonesia pada 2016 mendeklarasikan moratorium lima tahun lisensi baru untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit di seluruh nusantara. Kebijakan tersebut juga mencabut izin pembebasan hutan untuk periode 2015-2016.

“Temuan kami mengkhawatirkan,” kata Voigt. “Untuk mencegah penurunan lebih lanjut dan melanjutkan kepunahan orangutan, manusia harus bertindak sekarang: konservasi keanekaragaman hayati perlu diserap ke dalam semua sektor politik. Masyarakat harus menjadi prinsip utama dalam wacana publik dan proses pengambilan keputusan politik.”

 

Penerjemah: Akita Arum Verselita. Artikel berbahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.

 

Exit mobile version